Oleh: Mochdar Soleman, S.IP., M.Si
Sekjen GP Nuku
Pengamat Politik Lingkungan, Universitas Nasional
_____________________
EKSPANSI tambang nikel di Maluku Utara, khususnya di Pulau Halmahera, menguak wajah buram pembangunan nasional. Di balik jargon hilirisasi dan transisi energi, berlangsung perampasan ruang hidup, kerusakan lingkungan, dan peminggiran masyarakat lokal. Ini bukan sekadar krisis lingkungan, tetapi krisis politik—di mana kekuasaan digunakan untuk mengatur, menekan, dan mendistribusikan sumber daya secara timpang.
Pendekatan ekologi politik mengajarkan bahwa krisis ekologis bukan semata akibat teknis, melainkan hasil dari struktur relasi kuasa. Negara dan korporasi, sebagai aktor dominan, memutuskan arah pembangunan dan siapa yang berhak mendapatkan manfaat atau menanggung beban. Dalam kasus Halmahera, deforestasi, pencemaran sungai, hingga kriminalisasi warga yang menolak tambang adalah konsekuensi logis dari kebijakan politik-ekonomi yang berpihak pada modal.
Untuk memahami bagaimana negara mengambil kebijakan seperti ini, hemat penulis relative autonomy dari ilmuwan politik R. William Liddle relevan digunakan. Dalam artikelnya The Relative Autonomy of the Third World Politician (1991), Liddle menunjukkan bahwa pemimpin negara berkembang memiliki ruang untuk membuat pilihan politik—meski dalam kondisi terstruktur oleh tekanan internasional, krisis ekonomi, atau budaya dominan. Studi Liddle tentang Soeharto menunjukkan bahwa liberalisasi ekonomi bukanlah hasil paksaan eksternal, melainkan pilihan sadar untuk menjaga stabilitas kekuasaan.
Logika serupa tampak dalam kebijakan hilirisasi tambang saat ini. Pemerintah pusat secara aktif mendorong eksploitasi nikel demi proyek transisi energi global, dengan mengesampingkan suara masyarakat lokal. Penolakan warga Halmahera Timur terhadap PT Position, misalnya, dibalas dengan penangkapan. Negara tampil bukan sebagai pelindung rakyat, melainkan sebagai pengaman investasi. Di sinilah letak bahaya dari otonomi kekuasaan yang tidak dikontrol secara demokratis “ia bisa digunakan untuk mempertahankan stabilitas jangka pendek, sambil mengabaikan hak-hak dasar warga”.
Kalkulasi semacam ini sesuai dengan tesis Liddle bahwa “pemimpin memilih kebijakan yang dianggap paling efektif menjaga legitimasi dan dukungan elite strategis—entah militer, birokrasi, atau pemodal.” Namun, pendekatan ekologi politik mengingatkan kita bahwa setiap pilihan seperti ini menciptakan korban yakni komunitas adat, petani, nelayan, dan ekosistem yang dihancurkan. Maka pertanyaannya bukan hanya soal efektivitas, tapi juga soal keadilan.
Pembangunan yang berkelanjutan tidak bisa lahir dari pola eksklusi dan represi. Transisi energi tidak boleh menjadi topeng kolonialisme sumber daya baru. Negara harus berhenti menjadikan investasi sebagai dalih untuk membungkam perlawanan dan merampas ruang hidup. Sebaliknya, masyarakat lokal harus menjadi subjek utama dalam proses pengambilan keputusan atas tanah dan masa depan mereka.
Jika mengikuti kerangka Liddle, para pemegang kekuasaan memiliki otonomi untuk memilih. Artinya, ketika negara memutuskan berpihak pada modal dan menindas warganya, itu bukan takdir struktural—melainkan pilihan politik. Dan seperti semua pilihan politik, ia bisa digugat, dilawan, dan diarahkan ulang. Menuju pembangunan yang adil secara sosial, ekologis, dan demokratis. (*)