Oleh: Ayu Hamzah
______________________
SEBUAH tanda tanya besar bagi Pemimpin Arab dan negeri muslim lainnya terkait langkah mereka dalam menyikapi polemik Palestina dan zionis Yahudi. Keberadaan kekuatan tentara yang mereka miliki, tidak turut serta menengahi konflik hingga menimbulkan korban jiwa pada negara terjajah sebanyak 136.000 jiwa. Jika kita amati, keleluasaan zionis dalam menggencarkan genosida pada rakyat Palestina tidak selalu berarti menandakan kemenangan di tangan mereka, sebagaimana kebatilan yang tidak akan pernah lama berkuasa, kekejaman zionis justru menyingkap tabir baru bahwasannya bangkitnya Khilafah sebagai tanda kebenaran akan segera lahir. Ketakutan akan tegaknya Khilafah jelas nampak pada wajah dan pernyataan musuh-musuh Islam sebagaimana yang telah mereka tunjukan pada dunia bahwa barisan mereka mulai melemah dan kehancuran di depan mata. Lantas, bagaimana dan seperti apa Islam menyikapi fenomena ini?.
Dikutip dari berita yang dimuat Al-Jazeera (04/05/2025). Perdana menteri Israel Benjamin Netanyahu berjanji untuk melanjutkan perang meskipun ada seruan dari dalam Israel untuk mencapai kesepakatan yang akan membawa pulang sandera Israel dan mengakhiri perang. Langkah selanjutnya disampaikan oleh Kepala Staf Militer Israel, Eyal Zamir berkaitan dengan komitmen mereka untuk memperluas serangan darat di Gaza dengan mengeluarkan puluhan ribu tentara cadangan mereka.
Gagasan Netanyahu menunjukan langkah optimisnya untuk melanjutkan peperangan melawan tentara Hamas. Bahkan disebut oleh kepala staf militernya sendiri mengenai sasaran mereka pada pemusnahan seluruh infrastuktur milik Hamas baik di atas tanah dan di bawah tanah sebagai bentuk pemaksaan pembebasan sandera mereka dan mengungguli peperangan. Jejak kebijakan Netanyahu yang kian bertentangan dengan rakyat Israel menjadi indikator tingginya ego dan kebiadaban tindak zionis dalam pembantaian. Pada faktanya, penjajahan dan pembunuhan yang terjadi tidak sedikit menyasar pada rakyat sipil seperti wanita, anak-anak dan lansia bahkan penyisiran paksa hingga ke infrastruktur umum milik rakyat Palestina.
Jalur yang ditempuh baik zionis Yahudi maupun negara pendukung di belakangnya merupakan jalur bunuh diri. Perlakuan zionis Yahudi pada rakyat Palestina secara nyata menggambarkan ketakutan mereka akan dominasi dukungan dunia pada Palestina sekaligus menyudahi perang dengan kemenangan mereka atas wilayah Syam tersebut. Berbagai keputusan yang dikehendaki Israel nampak jelas mengisyaratkan ketakutan mereka terhadap munculnya kekuatan baru yang mendominasi, baik dari ekonomi hingga militer yang kuat. Kekuatan tersebut hanya ada dan senantiasa berjuang demi kebenaran sampai hilangnya penduduk zionis laknatullah dari tanah para nabi Palestina.
Untuk mengamati situasi yang terjadi saat ini, diperlukan pemahaman lebih dalam mengenai asal muasal munculnya bangsa Yahudi dan korelasinya terhadap penjajahan yang terjadi hingga saat ini pada wilayah Gaza dan sekitarnya. Pantaskah tanah dan darah rakyat Palestina dimiliki sepenuhnya bagi Yahudi? Atau dengan solusi two nation state yang diserukan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) akan relevan?.
Singkatnya, bangsa Yahudi merupakan sebutan yang disematkan bagi Bani Israil, Israil diambil dari nama lain Nabi Yakub a.s sehingga sebutan Yahudi secara garis besar merupakan keturunan Nabi Yakub a.s. Nabi Yakub a.s bermukim di Kana’an (Palestina) bersama istri-istri dan anak-anaknya. Sampai kemudian, diceritakan bahwa keturunan Nabi Yakub a.s yang berjumlah 12 orang anak termasuk Nabi Yusuf a.s bermukim di Mesir setelah melalui jalan panjang dimana Nabi Yusuf dibuang saudaranya di sumur hingga akhirnya ditemukan dan dijual. Lalu berkat kecerdasannya, Nabi Yusuf diangkat menjadi pembesar di Mesir, di sanalah Nabi Yusuf dengan kemuliaannya membawa saudara-saudaranya tinggal di sana.
Meskipun, bani Israil awalnya bermukim cukup lama di Palestina atau Kana’an saat itu, tidak merepresentasikan merekalah pemilih tanah Palestina, sebab wilayah tersebut sudah didahului oleh beberapa suku-suku dari Arab, seperti kabilah Finiqiyyin sejak 3000 SM, kabilah Kan’anyyun 2500 SM dan kabilah Falestine sejak 1200 SM. Bani Israil yang bermukim di Mesir akhirnya terpecah menjadi 12 suku di antaranya suku Imran dan suku Yehuda. Dikisahkan Nabi Musa a.s sebagai pemukim Mesir yang datang dari suku Imran. Nabi Musa a.s dirawat istri Fir’aun hingga dewasa kemudian membawa risalah Islam pada penduduk Mesir kala itu yang dikuasai kerajaan Fir’aun. Pergolakan yang luar biasa setelah peristiwa membelah lautan untuk menyelamatkan kaumnya, Nabi Musa a.s dikhianati kaumnya sendiri dalam upaya kembali pada tanah nenek moyang mereka di Kan’an atau Palestina. Kisah tersebut dipaparkan langsung dalam Al-Qur’an tentang bagaimana keangkuhan kaum Nabi Musa a.s hingga beliau memanjatkan doa pada Allah SWT, akhirnya hukuman hidup terlunta-lunta ditimpakan pada kaum bani Israil dalam waktu yang cukup lama.
Meskipun begitu, pada akhirnya penduduk bani Israil berhasil masuk dan menetap di Palestina hingga masa Nabi Sulaiman mereka mendapatkan masa kejayaannya. Itulah mengapa kita lihat ambisi kaum kaum Yahudi atau untuk kembali menguasai Palestina begitu kuat untuk mendirikan kerajaan Solomon di tempat Masjid Al-Aqsa sekarang.
Masa kejayaan Nabi Sulaiman berputar pada tangan Yunani selama 160 tahun berpindah di tangan Romawi sekitar 387 tahun berkuasa. Selama pergantian kekuasaan inilah bani Israil atau kaum Yahudi ini dilempar kesana kemari karena ditindas, oleh sebabnya kependudukan kaum Yahudi menjadi pontang-panting di seluruh penjuru dunia. Itulah sejarah singkat kehidupan bani Israil yang kita kenal sekarang kaum Yahudi. Keaslian identitas mereka sebagai keturunan Nabi Yakub a.s masih dipertanyakan sebab berpencarnya mereka sejak masa Nabi Musa a.s.
Disamping itu, kisah bagaimana Nabi Muhammad SAW sebagai penguasa negara Islam yang telah berdiri saat itu di Madinah menjalankan kewajiban menyiarkan Islam di seluruh penjuru dunia termasuk di antaranya wilayah Syam yang kini masuk Palestina di dalamnya. Pada saat itu Syam berada di bawah imperium Romawi, hingga pada masa Khalifah Umar bin Khathab barulah kunci Baitul Maqdis diserahkan oleh pendeta Sophronius. Beberapa waktu berlalu, wilayah Al-Aqsa direbut kembali oleh pasukan salib dan memerintah cukup lama, lalu kekuasaan tersebut direbut kembali oleh Salahuddin Al-Ayyubi dan tanah Syam menjadi milik kaum muslim kembali.
Penjajahan di tanah Palestina dalam upaya merebutkan Al-Quds ditandai setelah runtuhnya Kekhilafahan Islam di Turki. Bapak zionis Yahudi Theodor Hertzl berhasil menggapai impiannya setelah Negara Islam itu runtuh. Sejak tahun 1948, bangsa Yahudi berhasil menguasai 77 % tanah rakyat Palestina yang dulunya haram disentuh semasa eksisnya Kekhilafahan di Turki. Hingga kini, tanah itu dijajah dan dicuri secara paksa oleh bangsa Yahudi dengan dukungan negara adidaya saat ini Amerika, Inggris dan sekutunya.
Hubungan istimewa Israel dan Amerika sudah berlangsung cukup lama yakni diawali pada terjadinya perang dunia I. Singkatnya, Amerika mendeklarasikan dirinya untuk bergabung bersama Inggris, bangsa Yahudi diizinkan menempati Amerika sebagai rumah mereka dari hasil perebutan nasib kaum Yahudi, tentu saja hal tersebut tidak dilakukan tanpa maksud apa-apa. Dengan bergabungnya Israel atau kaum Yahudi dengan Amerika pada saat itu, kekuatan penyebaran ideologi mereka kian realistis, bukti asas manfaat oleh Amerika yang menganut paham kapitalis sudah mendarah daging sejak dulu. Belum lagi, negara Arab dengan gampangnya tunduk dan berserah pada Amerika dan Israel dalam mengabulkan impian mereka memiliki Palestina secara utuh. Alangkah hinanya pemimpin saat ini, dikukung nafsu dan syahwat cinta dunia yang amat mematikan menjadikan mereka diam membisu menikmati tumpahan darah nyawa tak bersalah.
Jembatan keadilan amat sukar ditemui dalam penanganan masalah politik dunia di sistem sekarang ini. Banyak suara kebenaran dibungkam dengan sengaja untuk menenggelamkan fakta sebenarnya. Seperti halnya informasi di atas yang jelas menggambarkan perampasan wilayah oleh zionis Yahudi. Tahun berganti tahun, penjajah atas tanah Palestina tidak pernah menemui titik penyelesaian, anggaplah kaum muslim yang punya jumlah massa terbanyak di dunia, nyatanya tak cukup untuk menggerakkan pasukan militer masing-masing, setidaknya hanya atas nama kemanusiaan.
Hilangnya perisai umat menjadi indikator pertama ketiadaan militer untuk melawan penindasan pada rakyat Palestina. Bagaimana rasanya tidur tanpa alas, mengisi perut dengan tanaman liar, hidup penuh dengan tekanan dan ketakutan atas bahaya dan banyak penderitaan yang dirasakan rakyat Palestina selama puluhan tahun. Semua ini terjadi karena ketiadaan Pemimpin yang menyerukan persatuan, ketiadaan pemimpin dalam menyatukan umat dengan perasaan, peraturan dan pemikiran yang satu. Pemimpin itu bisa dijemput dengan perjuangan mengadakan negara bersistem Islam, yang implementasinya menerapkan Islam secara menyeluruh. Hingga benar apa yang dikatakan Rasulullah SAW dalam sebuah hadits.
“Barangsiapa mati dalam keadaan tidak memiliki bai’at di pundaknya (tidak mengakui pemimpin), maka ia mati dalam keadaan jahiliyah ” (HR. Muslim, no 1851).
Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menjelaskan bahwa hadis ini adalah dalil wajibnya mengangkat seorang pemimpin (imam/Khalifah) bagi umat Islam agar keamanan, hukum dan persatuan tetap terjaga.
Relevansi dengan keadaan umat saat ini, hadits ini harusnya menjadi peringatan bagi para tokoh dan ulama agar menyerukan kembali penerapan hukum Islam sama seperti yang dijalankan Rasulullah SAW pertama kali di Madinah. Keamanan dan kesejahteraan rakyat dalam Daulah Islam bisa kita temui dalam buku sejarah peradaban Islam. Cara kembali pada masa itu, tidak hanya dengan duduk dan menunggu meskipun janji akan datangnya Kekhilafahan sesuai Manhaj Kenabian adalah sebuah keniscayaan. Masyarakat Islam perlu mendalami ilmu Islam yang sebenarnya dimana pengetahuan yang didapat bukan lagi pada masalah ibadah mahdhoh saja, namun mencakup politik negara dan juga ekonomi yang diatur Islam.
Peperangan pemikiran menjadi tantangan utama umat saat ini. Doktrin dan pencapaian palsu kafir barat dengan penerapan sistem kapitalis sebagai ideologi, dengan asas pemisahan agama dari kehidupan menjadi faktor utama umat muslim juga wajib memiliki pemikiran Islam yang dapat terpancar. Begitu pun dalam menangani persoalan di Palestina, Islam sudah memiliki seperangkat aturan yang bisa menjamin pembebasan dan kemerdekaan yang hakiki bukan hanya pada rakyat Palestina namun seluruh umat manusia yang dilindungi. Islam mengedepankan pengambilan aturan yang berasal dari sang Pencipta Allah SWT berbentuk Al-Qur’an dan Hadits. Inilah perbedaan sesungguhnya negara dengan penerapan Islam dan negara yang tidak menerapkannya. Dalam negara Islam, pelaksanaan syariat Islam termasuk di dalamnya seruan jihad wajib gerakan ketika ancaman musuh secara nyata mengancam keamanan masyarakat di dalam daulah, oleh karenanya selain gentingnya kebutuhan jihad harus dibuktikan dengan penerapan Islam Kaffah terlebih dahulu.
Gelar kemuliaan juga sepantasnya bisa disematkan pada mereka yang berjuang menyuarakan kebenaran, kebenaran yang dimaksud yakni menyiarkan agama Islam bagi seluruh umat manusia, menyuarakan kebatilan yang terjadi di muka bumi. Perlu diingat bahwa kezaliman yang terjadi saat ini tidak lepas dari peran arus pemikiran ideologi asing yang sudah menjamur. Semestinya umat muslim mulai menghentikan kerusakan yang diakibatkan sistem ini dengan mengambil peran menjadi penyeru kebenaran.
Semoga Allah SWT mencatat amal tiap perbuatan kita yang senantiasa berjuang demi membela agama-Nya. Sebab tiada kewajiban lain yang paling utama selain kewajiban menerapkan seluruh aturan Allah dalam kehidupan umat manusia di muka bumi. Wallahu a’lam bishawab. (*)