Oleh: Adhy Aphoor
________________________
DI sudut selatan Halmahera, tersembunyi gugusan pulau yang kaya budaya, sejarah, dan semangat juang: Makian Kayoa. Masyarakat di wilayah ini menyebutnya sebagai tanah leluhur, negeri adat, dan rumah masa depan. Kini, suara-suara dari negeri kecil itu makin nyaring terdengar, mereka ingin berdikari berdiri di atas kaki sendiri melalui status sebagai Daerah Otonomi Baru (DOB).
Wacana pemekaran Makian Kayoa dari Kabupaten Halmahera Selatan bukanlah isu baru. Ia sudah mengendap cukup lama dalam kesadaran kolektif masyarakat. Kebutuhan akan pemerataan pembangunan, akses pelayanan publik yang memadai, serta pengakuan terhadap identitas kultural menjadi dorongan utama. Negeri kecil ini merasa terlalu jauh dari pusat kekuasaan, baik secara geografis maupun perhatian birokratis.
Berdikari, tentu, bukan sekadar memisahkan diri. Ia adalah simbol kemandirian. Masyarakat Makian Kayoa ingin mengelola potensi laut, pertanian, dan sumber daya manusia mereka tanpa harus selalu “menunggu keputusan dari Labuha”. Mereka ingin sekolah yang layak, puskesmas yang terjangkau, jalan yang menghubungkan desa, serta ruang partisipasi yang setara.
Namun, seperti halnya perjuangan daerah-daerah lain yang memekarkan diri, Makian Kayoa juga menghadapi ujian. Apakah negeri kecil ini sudah cukup siap secara administratif, ekonomi, dan politik? Apakah pemekaran ini benar-benar suara dari bawah, atau hanya dibungkus oleh ambisi segelintir elite?
Pertanyaan ini penting, bukan untuk melemahkan semangat, tetapi untuk menjaga cita-cita tetap dalam rel yang benar. Karena berdikari sejatinya bukan hanya soal status, melainkan kemampuan untuk bertanggung jawab atas nasib sendiri.
Makian Kayoa mungkin kecil dalam peta, tapi besar dalam semangat. Harapannya bukan untuk memisahkan, melainkan mempercepat pelayanan, menyeimbangkan pembangunan, dan menjaga warisan budaya dari hilang ditelan pusat. Negeri kecil ini tidak minta dimanja, hanya ingin dipercaya untuk berdikari di bumi sendiri. (*)