Opini  

Menuju Hijrah

Oleh: Herman Oesman

Dosen Sosiologi FISIP UMMU

____________________

“Muharram menjadi momentum menggerakkan hijrah sosial…”

Tahun baru Islam, 1 Muharram 1447 Hijriyah, bertepatan 27 Juni 2025 Miladiyah, kembali hadir di tengah dinamika masyarakat dunia. Muharram bukan hanya awal kalender hijriyah, tetapi juga bulan penuh makna spiritual, sejarah, dan sosial. Sebagai salah satu dari empat bulan suci (asyhurul hurum), Muharram menjadi waktu reflektif bagi umat Islam untuk merenungi perjalanan hijrah Nabi Muhammad SAW dan mengartikulasikannya dalam konteks kekinian.

Tahun 1447 H ini mengundang pertanyaan sekaligus harapan : hijrah macam apa yang dibutuhkan umat Islam hari ini?

Di tengah dunia yang dilanda krisis moral, lingkungan, dan kemanusiaan, Muharram bukan sekadar peringatan seremonial, melainkan sebuah panggilan transformasi menuju peradaban baru yang lebih adil, bermartabat, dan berkelanjutan.

Muharram berasal dari akar kata ḥa-ra-ma, yang berarti “dilarang” atau “diharamkan”. Ini menunjukkan bahwa pada bulan ini, peperangan dilarang dan perdamaian dijunjung tinggi (QS. At-Taubah: 36).

Muharram menjadi saksi dari peristiwa monumental dalam sejarah Islam: Hijrah Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah pada tahun 622 M, yang kemudian dijadikan penanda awal kalender Islam atas usulan Khalifah Umar bin Khattab (As-Suyuthi, 2016 : 53).

Hijrah bukan semata pindah tempat, tetapi lompatan peradaban. Hijrah menandai transformasi masyarakat jahiliyah menuju masyarakat madani yang berbasis keadilan, ukhuwah, dan tauhid. Di Madinah, Nabi memprakarsai Piagam Madinah yang menjadi fondasi negara multikultural dan egaliter. Maka, Muharram dan hijrah selalu mengandung pesan pembaruan sosial, politik, dan spiritual.

Tahun 1447 H hadir di tengah dunia yang masih bergulat dengan persoalan serius : perubahan iklim, kemiskinan ekstrem, perang, hingga krisis identitas. Di Indonesia, umat Muslim masih menghadapi tantangan penguatan akhlak publik, moderasi beragama, dan pembangunan yang berorientasi pada keadilan sosial.

Dalam konteks ini, hijrah dapat dimaknai sebagai proses peralihan dari ketidakadilan menuju keadilan, dari kerusakan menuju perbaikan, dari individualisme menuju kolektivitas. Seperti ditegaskan oleh Prof. Quraish Shihab, hijrah adalah “upaya untuk berpindah dari keadaan yang buruk menuju keadaan yang lebih baik, baik secara individu maupun sosial” (Shihab, 2005 : 198).

Maka, Muharram 1447 H dapat menjadi momentum menggerakkan hijrah sosial: hijrah dari budaya korupsi menuju transparansi, dari ketimpangan menuju keadilan distributif, dari kekerasan menuju perdamaian, dan dari eksploitasi lingkungan menuju ekoteologi Islam yang rahmatan lilalamin.

Muharram juga dikenal sebagai bulan ibadah. Salah satu amalan utama adalah puasa Asyura pada 10 Muharram. Dalam hadis sahih riwayat Muslim, Nabi bersabda: “Puasa pada hari Asyura menghapus dosa setahun yang lalu.” (HR. Muslim No. 1162).

Namun, ibadah di bulan Muharram tidak berhenti pada ritual semata, melainkan harus menggerakkan perubahan moral dan sosial. Seperti yang diajarkan Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin, bahwa “ibadah yang tidak membekas dalam akhlak dan tindakan sosial adalah ibadah yang hampa” (Al-Ghazali,2003 : 207).

Dengan demikian, Muharram bukan hanya soal menambah amal pribadi, tetapi juga memperkuat solidaritas sosial: berbagi dengan kaum miskin, mendukung pendidikan yatim, serta membangun komunitas yang saling peduli dan membebaskan.

Perlu disadari bahwa Muharram juga menyimpan tragedi: peristiwa Karbala, di mana cucu Nabi, Husain bin Ali, gugur demi mempertahankan nilai keadilan melawan tirani Yazid. Peristiwa ini memberi pelajaran penting: bahwa membela kebenaran seringkali membutuhkan pengorbanan.

Karbala mengajarkan bahwa agama harus menjadi alat pembebasan, bukan legitimasi kekuasaan yang menindas. Dalam konteks hari ini, Muharram mengundang umat untuk kritis terhadap ketidakadilan, berani menyuarakan suara korban, serta berkomitmen pada prinsip Islam yang membela yang lemah dan tertindas (mustadh’afin).

Sebagaimana ditulis oleh Ali Shariati: “Ashura bukan sekadar kesedihan, tetapi panggilan untuk perlawanan dan keberpihakan kepada keadilan” (Shariati, 2003 : 55).

Muharram 1447 H adalah momen strategis untuk membumikan semangat hijrah dalam dunia yang sedang berubah. Hijrah hari ini tidak lagi dimaknai secara fisik, tetapi secara etis dan spiritual: hijrah dari budaya destruktif menuju konstruksi sosial baru.

Umat Islam perlu merefleksikan hijrah sebagai proses membangun peradaban berbasis nilai Qur’ani: keadilan, kasih sayang, kebijaksanaan, dan tanggung jawab ekologis. Seperti kata Fazlur Rahman, “Islam adalah agama moral yang mendorong manusia untuk mengubah kondisi sosial melalui etika yang transenden” (Rahman, 1982 : 145).

Jadikan Muharram bukan hanya penanggalan, tetapi pengingat dan pemicu bagi gerakan hijrah kolektif menuju masyarakat madani yang berkeadaban. Sebab, hijrah adalah jalan menuju pembebasan manusia dan dunia, sebagaimana Nabi Muhammad SAW memulainya lebih dari 1.400 tahun lalu. (*)

Exit mobile version