Opini  

Mengonstruksi Ekosistem Pendidikan Kita

Oleh: Agus SB

Pengajar Antropologi IAIN Ternate

_______________

LOMBA menulis essay yang dilakukan oleh Nuansa Media Grup dalam rangka merayakan Milad tahun ke-4 cukup mengusik pikiran saya. Pikiran yang terusik ini memuncak pada malam diskusi yang dilakukan panitia Milad ini di Aula Jati Hotel, 5 Juli 2025 kemarin. Diskusi itu menghadirkan pembicara tunggal, Basri Amin, dengan tema “Maluku Utara dan Kelahiran Geosains Indonesia”. Dua kegiatan itu, secara implisit, berkaitan dengan “pendidikan” dalam artian luas. “Luas” dalam arti tidak semata menyangkut kurikulum pendidikan formal.

Kedua kegiatan yang terpisah dalam satu rangkaian perayaan Milad ini bertemu atau ditautkan oleh satu aspek inti yang sama dalam pendidikan: “ilmu pengetahuan”. Pembacaan saya terhadap kedua kegiatan dan tema diskusi itu menyentak ingatan saya kepada fakta Maluku Utara berada pada “peringkat bawah” secara nasional dalam hal Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Maluku Utara, khususnya bidang pendidikan. Salah satu indikator pendidikan adalah kemampuan literasi baca, tulis dan berhitung”. Ketiga aspek ini berkelindan membentuk kapasitas manusia untuk dapat mengerti dan menguasai ilmu pengetahuan.

Kemampuan membaca, menulis dan berhitung bukanlah kemampuan terberi (given). Sebaliknya, ketiga kemampuan itu harus ditumbuh-kembangkan dalam lingkungan dan suasana yang dapat mendukung upaya sadar, terencana dan terukur ke arah tersebut. Kata lain dari “lingkungan dan suasana” ini adalah ekosistem, yakni ekosistem pendidikan. Dengan ekosistem pendidikan saya tidak maksudkan hanya sekolah dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi, juga bukan hanya rumahtangga dan keluarga, tetapi mencakup juga institusi sosial lain seperti media massa dan komunitas-komunitas masyarakat sipil lainnya.

Sebelum melanjutkan konsep “ekosistem pendidikan”, perlu diterangkan sehingga memberi pijakan konseptual yang memadai. Konsep “ekosistem”, seperti konsep “ekonomi” memiliki akar kata yang sama; “oikos”, rumahtangga. Dalam bukunya “The Ancient Economy” (1999:18-19), M.I. Finley yang menelusuri muasal kata “ekonomi” melalui karya Francis Hutcheson (1742), profesor filsafat, guru dari Adam Smith, kemudian mengatakan bahwa, kata “ekonomi” yang berasal dari bahasa Yunani, merupakan gabungan kata “oikos”, rumah tangga, dan akar kata yang kompleks secara semantik, “nem”-, yang berarti “mengatur, mengelola, menata ” (“regulate, administer, organize“). Menurutnya, ketiga kata ini merupakan penjelasan tepat mengenai rumahtangga petani yakni, pimpinan mengelola dan mengendalikan personel dan pemilikan kelompok, tanpa pembedaan (distinction) perilaku ekonomi, pribadi atau sosial. Sumber rujukan Hutcheson, menurutnya, adalah Oikonomikos yang ditulis oleh Xenophon Athena sebelum pertengahan abad keempat SM, pada dasarnya sebuah karya mengenai etika. Sebuah panduan bagi pria pemilik tanah, pengenalan tentang kehidupan yang baik, penggunaan kekayaan yang benar, tentang kebajikan dan kualitas kepemimpinan yang diperlukan bagi rumahtangga, mengenai pelatihan dan pengelolaan budaknya, tentang kebajikan dan pelatihan bagi isteri, dan tentang mengelola kebun (agronomi) (p.18).

Berdasarkan kajian Finley di atas, saya akan menggunakan konsep ekosistem sebagaimana dipahami sama dengan konsep “ekonomi” dengan menimbang bahwa, bidang pendidikan yang dibahas di sini menyangkut manusia, bukan pendidikan untuk hewan atau untuk jenis spesies non-human lainnya. Ketika saya mengatakan “ekosistem pendidikan”, karena itu, adalah “rumahtangga manusia” (bukan “rumahtangga alam” sebagaimana arti dari “ekologi”) dalam pengertian sebagai institusi sosial yang dapat diharapkan memainkan peran sebagai lembaga yang dapat berkontribusi secara fungsional terhadap bidang pendidikan formal. Dengan demikian, ekosistem pendidikan tidak lain adalah semua institusi sosial yang berperan secara langsung sebagai tugas pokoknya dalam bidang pendidikan (seperti sekolah hingga perguruan tinggi maupun rumahtangga manusia), dan institusi sosial lain, yang meskipun tidak memiliki tugas pokok dalam bidang pendidikan, namun diharapkan dapat berperan dengan caranya masing-masing secara fungsional menopang dan menyumbang pada “pembentukan kapasitas literasi ilmu pengetahuan manusia Maluku Utara”. Secara ringkas, dapat dikatakan, “ekosistem pendidikan” merupakan relasi timbal balik secara fungsional antar institusi-institusi sosial pendidikan dan non-pendidikan” untuk meningkatkan dan memelihara keberlanjutan kualitas manusia Maluku Utara dalam bidang pendidikan. Dinas pendidikan kota/kabupaten dan provinsi (saya abaikan institusi tingkat kementerian, pendidikan maupun kementerian agama), sekolah tingkat usia dini hingga perguruan tinggi sebagai institusi utama penyelenggara pendidikan formal. Institusi rumahtangga manusia, dan institusi sosial seperti media massa online dan media massa cetak, maupun komunitas-komunitas literasi yang tumbuh dari masyarakat sipil, merupakan institusi-institusi yang dapat terlibat secara partisipatif dan berinteraksi timbal balik secara fungsional untuk mencapai tujuan pendidikan.

Di antara kemungkinan banyak contoh lain yaitu media massa yang tugas pokoknya adalah “memediasi” pemerintah dan masyarakat sipil dalam produksi informasi dan pengetahuan. Seperti dikemukakan di atas, dalam rangka merayakan milad empat tahunnya, Nuansa Media Grup menggelar lomba penulisan essay dengan kategori pesertanya: pelajar, mahasiswa dan umum. Jauh sebelum ini, media Posko Malut juga pernah menggelar kegiatan serupa dengan kategori peserta yang kurang lebih sama. Kegiatan serupa juga pernah dilakukan oleh Majelis KAHMI Wil. Maluku Utara tahun 2024 lalu, dengan kategori peserta yang dibatasi hanya pelajar SMA. Entah institusi sosial apa lagi yang telah melakukan kegiatan serupa. Belum pernah saya melihat (mungkin luput dari pengalaman saya) adanya kerja sama institusi sosial pelaksana lomba penulisan essay di atas dengan dinas pendidikan provinsi, kabupaten maupun kota. Sepintas, kegiatan literasi yang dilakukan institusi-institusi sosial non-pendidikan formal ini barangkali tampak sepele. Meskipun harus ditakar secara tertanggungjawabkan, namun dampak positif yang dapat diduga adalah kegiatan tersebut dapat menumbuhkan minat dan gairah menulis, dan, dengan demikian, berarti pula gairah membaca dan berhitung di kalangan siswa dan mahasiswa, bahkan mereka yang telah menamatkan sekolah atau perguruan tinggi dan unsur masyarakat lainnya.

Jika niat bangsa ini memang benar membentuk manusianya untuk melek ilmu pengetahuan, maka sudah patut bagi pemerintah daerah melalui dinas pendidikan provinsi, kabupaten dan kota untuk berkolaborasi dengan institusi-institusi sosial lain yang dapat bekerja sama membangun “suasana pendidikan umumnya dan literasi khususnya” sebagai peran bersama sebagaimana pendidikan adalah tanggung jawab bersama. “Bersama” dalam arti semua kita bertanggung jawab untuk generasi berikut kita, dan karena itu, pendidikan adalah kewajiban moral dan akademik semua kita di hari ini. Inisiatif kolaborasi atau kerja sama harus dimulai atau diawali oleh dinas pendidikan sebagai penanggungjawab utama pendidikan formal, kerja sama yang tidak perlu “terikat secara ketat”. Selain dengan institusi sosial seperti media massa, tingkat terendah dari kelurahan/desa seperti RW atau dusun di desa, diwajibkan melaksanakan pendidikan anak pada usia dini.

Direngkuhnya berbagai institusi sosial yang “mungkin” ke dalam kerja sama dan interaksi fungsional, dengan demikian, akan menciptakan apa yang di atas dinamakan “ekosistem pendidikan”. Dengan terbentuknya relasi dan interaksi fungsional antara dinas pendidikan dan institusi sosial lain di dalam masyarakat sipil maka dapat dibayangkan terciptanya “suasana pendidikan” di dalam sebuah lingkungan yang wujud sebagai ekosistem pendidikan. Jika ekosistem pendidikan itu telah wujud, dan di dalamnya menghasilkan kegiatan secara berkala seperti kegiatan literasi ilmu pengetahuan melalui membaca, berhitung dan menulis, atau, dalam bentuk lain, atau dirangkai dengan bentuk lain seperti Kemah Komunitas Literasi yang digelar setiap tahun, menyerupai sebuah festival besar, maka saya dan atau anda, kemudian, dapat membayangkan bagaimana atau apa hasil dari dampak kegiatan-kegiatan terencana dengan tujuan jelas seperti itu terhadap “peserta didik dari sekolah PAUD hingga perguruan tinggi. Bahkan dampaknya terhadap masyarakat luas.

Dengan cara itu, istilah yang dikenal dalam bidang pendidikan sebagai “tingkat partisipasi masyarakat” dapat diterjemahkan lebih luas dari sekadar “prosentase warga yang duduk di bangku sekolah hingga perguruan tinggi”. Pemahaman “partisipasi masyarakat” dalam bidang pendidikan formal yang terbatas seperti itu hanya mengkerangkeng dinas pendidikan sebagai “penguasa dan penanggungjawab tunggal” dosa atau pahala dari bidang pendidikan, dan menyulitkan partisipasi luas masyarakat sipil dalam bidang pendidikan. Peningkatan atau stagnasi tingkat IPM Maluku Utara dalam bidang pendidikan, karena itu, hanya akan menjadi tanggung jawab dinas pendidikan di provinsi, kabupaten dan kota di Maluku Utara. Dan kita hanya mengeluh karena merasa malu secara nasional! (*)