Oleh: Amirah Lutfiyah
_________________
NEGERI ini seolah tak pernah lepas dari jeratan korupsi. Setiap tahun kita menyaksikan daftar panjang kasus korupsi, namun perubahan mendasar tak kunjung terlihat, inikah hasil dari sistem yang terus dipertahankan?
Lima orang pejabat Pemprov Sumatera Utara, termasuk Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Sumut Topan Obaja Putra Ginting tersandung kasus korupsi proyek jalan di Dinas PUPR Sumut dan Satuan Kerja Pelaksanaan Jalan Nasional (Satke PJN) Wilayah I Sumut (Infobanknews.com, 2025).
Ramai juga kasus korupsi proyek pengadaan mesin Electronic Data Capture (EDC) di PT Bank Rakyat Indonesia (BRI). Nilai proyek mencapai Rp 2,1 triliun dan berlangsung pada 2020-2024. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan lima tersangka (Tempo.com, 2025). Selain itu, yang paling terbaru KPK juga telah menetapkan kasus dugaan korupsi untuk dua orang anggota Komisi XI DPR RI periode 2019-2024 yang terlibat dalam kasus korupsi dana program sosial Bank Indonesi (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan OJK (Tempo.com, 2025).
Penanganan kasus korupsi di negri ini seperti tidak serius, daftar panjang para koruptor justru semakin bertambah, dari menteri hingga pejabat daerah, dari proyek pengadaan hingga tata niaga sumber daya alam. Bahkan di tengah kondisi rakyat yang kian terjepit oleh krisis ekonomi, para elite tak segan-segan menggarong uang negara hingga ratusan triliun rupiah. Ironisnya, mereka tetap bisa tertawa di ruang sidang, dihukum ringan, dan bahkan kembali ke panggung kekuasaan. Semua ini menandakan bahwa kerusakan bukan hanya ada pada pelaku, tapi juga pada sistem yang melingkupi mereka. Sudah saatnya kita bertanya dengan jujur: sampai kapan kita bertahan dengan sistem yang membiarkan kejahatan terjadi berulang kali?
Korupsi Tumbuh Subur Dalam Sistem Demokrasi
Dalam sistem demokrasi siapa saja bisa untuk menjadi pejabat publik asalkan dia memiliki modal dan kendaraan partai politik, sekalipun dia tidak kompeten serta memiliki riwayat korupsi dan pernah melakukan kejahatan lain pun tetap bisa asalkan memenuhi syarat tadi. Akibatnya menciptakan banyak pejabat yang jauh sekali dari profil sebagai pelayan umat melainkan sebagai pelayan korporasi.
Sistem politik demokrasi ini mahal sehingga pasti ada politik transaksional. Sudah menjadi rahasia umum ketika seseorang yang mencalonkan diri untuk masuk ke parlemen akan membutuhkan banyak biaya. Maka lahirlah pemilik modal atau orang-orang yang memberikan dana untuk kemenangan calon tersebut. Jadi wajar setelah mendapatkan kedudukan, para pejabat sibuk mencari modal untuk mengembalikkan uang milik pendukungnya tadi. Akhirnya ia akan melakukan berbagai macam cara termasuk korupsi. Ini membuktikan sistem kehidupan yang sekuler (memisahkan agama dari kehidupan) telah menjadikan manusia hidup tidak berlandaskan pada agama. Akhirnya mereka tidak memiliki kontrol untuk mencegah dirinya melakukan perbuatan dosa.
Hukum yang berlaku pun sangat lemah karena lahir dari akal manusia yang lemah dan terbatas. Aturannya bisa diubah sesuai dengan kepentingan penguasa atau pemilik modal. Sanksi yang diberikan bagi koruptor pun tidak menimbulkan efek jera. Hukuman yang diterima hanya sekadar ditahan beberapa tahun, belum lagi sel tahanan koruptor yang mewah dan ini sangat berbeda dengan sel tahanan rakyat biasa.
Maka dari itu, tidak bisa kita berharap pada sistem demokrasi untuk bisa mengatasi korupsi. Karena pada kenyataannya sistem politik demokrasi telah gagal mewujudkan pemerintahan yang bersih dari tikus-tikus berdasi.
Islam Solusi Tuntas Atasi Korupsi
Dalam sistem politik, Islam hanya akan memilih pejabat-pejabat yang bervisi pelayan umat. Yang ketika menjadi penguasa motivasinya adalah semata untuk mengabdi kepada Allah dengan mengurusi rakyat. Selain itu, sistem politik Islam berbiaya murah dan juga simpel. Tidak ada praktik politik transaksional seperti yang lumrah terjadi pada sistem demokrasi.
Sanksi yang diberikan pun sanksi yang menjerahkan. Sanski bagi pejabat yang korupsi adalah takzir. Bentuk dan kadar sanksinya didasarkan pada ijtihad khalifan atau Qodi. Seperti yang dilakukan khalifah Umar bin Khaththab ra yaitu penyitaan harta, penjara, hingga hukuman mati jika itu menyebabkan dharar bagi umat dan negara. Selain itu yang dilakukan oleh Umar bin Abdul Azis yaitu menetapkan sanksi bagi koruptor yaitu dengan dicambuk dan ditahan dalam waktu yang lama.
Sistem Islam akan menjamin kepastian hukum bagi masyarakat. Siapa pun yang bersalah akan dihukum, meski ia anak khalifah. Hal ini dicontohkan oleh Khalifah Umar bin Khaththab ra. Ia melihat unta milik putranya sangat gemuk, ternyata unta itu dipelihara di tempat khusus untuk unta baitulmal. Khalifah Umar pun segera menyuruh agar unta tersebut dijual dan keuntungannya dimasukkan ke baitulmal. Demikianlah ketegasan Khalifah Umar dalam mencegah korupsi, baik terkait dirinya maupun keluarganya. Dengan penerapan mekanisme Islam ini, Insyaallah seluruh negeri akan terbebas dari korupsi. Wallahualam bissawab. (*)