Opini  

Keadilan untuk Perempuan: Antara Mitos Feminisme dan Solusi Islam

Zahra Riyanti.

Oleh: Zahra Riyanti
Pemerhati Muslimah dan Generasi

_______________

PEREMPUAN di Indonesia saat ini menghadapi masalah serius yang belum terselesaikan. Data Komnas Perempuan dalam Catatan Tahunan (CATAHU) 2024 mencatat sebanyak 330.097 kasus kekerasan berbasis gender terjadi sepanjang 2023, naik sekitar 14% dari tahun sebelumnya. Jika digabungkan dengan data lembaga lain, totalnya mencapai 445.502 kasus. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati pada Januari 2024 menyebut situasi ini sebagai “fase darurat” karena hanya dalam 1,5 bulan, laporan kasus melonjak dari sekitar 11 ribu menjadi lebih dari 17 ribu (Kompas.com, 2024). Survei nasional yang dilakukan Kementerian PPPA dan BPS pada 2021 juga mengungkap 1 dari 10 perempuan pernah mengalami kekerasan fisik atau seksual oleh pasangan sepanjang hidupnya, dan 1 dari 4 perempuan usia 15–64 tahun pernah menjadi korban kekerasan (BPS & KemenPPPA, 2021).

Di tengah problem yang kronis ini, feminisme hadir sebagai gerakan yang mengklaim membawa solusi, dengan janji membebaskan perempuan dari penindasan patriarki dan memperjuangkan kesetaraan hak. Namun, dalam praktiknya, banyak solusi yang ditawarkan bersifat simbolis. Contohnya kuota 30% kursi parlemen untuk perempuan yang diatur dalam Undang-Undang Pemilu (UU No. 7/2017), meski meningkatkan keterwakilan perempuan, tidak otomatis membuat kebijakan yang berpihak pada perempuan di tingkat akar rumput. Kampanye “women empowerment” yang banyak diadopsi perusahaan juga kerap menjadi alat pemasaran, memanfaatkan narasi pemberdayaan untuk menjual produk (Banet-Weiser, 2018).

Secara historis, feminisme lahir di Barat. Gelombang pertama (abad ke-18–19) memperjuangkan hak politik seperti hak pilih. Gelombang kedua (1960–1980) fokus pada kesetaraan sosial dan ekonomi. Gelombang ketiga dan keempat membawa isu identitas, interseksionalitas, dan kebebasan seksual (Tong, 2009). Di Indonesia, feminisme berkembang lewat aktivisme akademis dan LSM sejak 1980-an, tetapi sering berhadapan dengan nilai sosial dan budaya yang berbeda.

Meski telah berjalan ratusan tahun di tingkat global, feminisme belum mampu menghentikan problem mendasar perempuan. Laporan UN Women (2023) menunjukkan kesenjangan upah global antara laki-laki dan perempuan masih di angka 20%. Kasus kekerasan seksual tetap tinggi meski banyak negara telah mengesahkan UU perlindungan. Di Indonesia, beban kerja domestik masih dominan di pundak perempuan (BPS, 2022). Pendekatan feminisme yang bertumpu pada regulasi manusia membuatnya reaktif terhadap kasus, bukan preventif dari akar persoalan.

Islam kaffah memandang perempuan sebagai makhluk mulia yang setara dengan laki-laki dalam kemuliaan dan tanggung jawab di hadapan Allah, sebagaimana dalam QS. Al-Hujurat (49): 13. Kesetaraan di sini bukan berarti identik peran, melainkan adil sesuai fitrah. Islam menjamin hak perempuan atas pendidikan, kesehatan, perlindungan, dan partisipasi publik, tanpa membebani mereka dengan kewajiban nafkah atau tugas fisik berat. Dalam sejarah peradaban Islam, mulai dari masa Rasulullah Saw hingga era Utsmaniyah, perempuan berperan aktif dalam pendidikan, ilmu pengetahuan, dan perdagangan, namun tetap terlindungi dari eksploitasi dan pelecehan.

Oleh karena itu, feminisme yang berakar pada ideologi sekular-liberal tidak memberikan solusi menyeluruh. Gerakan ini sering terjebak dalam simbolisme dan arus kapitalisme global. Sementara Islam menawarkan solusi struktural dan preventif yang bersumber dari wahyu, sehingga bersifat tetap dan menyeluruh. Perempuan seharusnya membuang ilusi feminisme dan kembali kepada Islam kaffah, yang secara historis dan sistemik telah terbukti menjaga martabat, kehormatan, dan keamanan perempuan di setiap lini kehidupan. (*)