Opini  

Rejuvenasi Literasi Budaya Berbasis Kearifan Lokal Maluku Utara

Oleh: Subhan Hi Ali Dodego
Praktisi Pendidikan

________________

Modernisasi adalah rasionalisasi bukan westernisasi” (Nurcholish Madjid, 1993).

Kutipan yang tertera dalam mukadimah di atas menjadi dalil bahwa modernisasi atau era digitalisasi saat ini merupakan rasionalisasi bagi orang-orang yang berpikir dan bukan sebaliknya yaitu westernisasi. Cak Nur sapaan akrab Nurcholish Madjid sejak tahun 1970-an sudah memberikan pemikiran konstruktif dan progresifnya tentang masa depan bangsa Indonesia agar dapat survive dengan kondisi zaman yang semakin berubah ke arah kemajuan informasi dan teknologi. Menurut Cak Nur, modernisasi berarti perubahan pola pemikiran dan tata kerja yang lama yang tidak akliah menjadi pemikiran yang akliah atau yang mengedepankan pemikiran yang rasional. Sementara westernisasi berarti mengikuti pola hidup dan pemikiran orang Barat yang gersang nilai spiritualitas.

Di era saat ini kehadiran informasi dan teknologi adalah keniscayaan. Menanggapi persoalan ini banyak sekali para ahli terkemuka memberikan gagasannya untuk memberikan solusi. Seorang pakar Futurologi Alvin Toffler menulis buku berjudul “Future Shock” atau “Kejutan Masa Depan” pada tahun 1970-an yang menggambarkan tentang potret manusia yang akan memasuki dan berhadapan dengan dunia baru bernama modernisasi dan teknologi. Dimana Toffler membahas tentang dampak psikologis dan sosial atas perubahan teknologi dan budaya yang sangat cepat. Era ini akan membuat manusia menjadi cemas dan stres bagi yang tidak memiliki kemampuan dan kecakapan beradaptasi (Toffler, 1970).

Hal senada juga disampaikan Sosiolog Pierre Bourdieu tentang terbentunya “Habitus Digital” yaitu kehadiran teknologi atau media sosial secara tidak langsung dapat membentuk selera dan perhatian para pengguna internet. Informasi yang diterima dan menjadi bahan konsumi tidak lagi mencerminkan realitas, tetapi hasil dari dominasi yang tersistem dapat mengabaikan nilai-nilai kearifan lokal (Ristić & Kišjuhas, 2023).

Lebih jauh lagi, Tom Nichols (2018) dalam bukunya “The Death of Expertise” atau “Matinya Kepakaran”, Nichols menjelaskan tentang fenomena menurunnya nilai-nilai keahlian dan kepakaran dalam masyarakat modern khususnya di era media sosial dan internet. Ia mengatakan bahwa semakin banyak orang tidak lagi menghormati bahkan menentang keahlian orang lain, padahal mereka tidak memiliki pengetahuan yang mendalam tentang sebuah topik yang mereka bahas.

Dampak dari kehadiran era modernisasi dan digitalisasi pun dirasakan oleh masyarakat baik di daerah perkotaan maupun di pedesaan. Berdasarkan data dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) mengumumkan jumlah pengguna internet Indonesia tahun 2024 mencapai 221.563.479 jiwa dari total populasi 278.696.200 jiwa penduduk Indonesia tahun 2023. Dari hasil survei penetrasi internet Indonesia 2024 yang dirilis APJII, maka tingkat penetrasi internet Indonesia menyentuh angka 79,5%. Dibandingkan dengan periode sebelumnya, maka ada peningkatan 1,4%.

Data tersebut menunjukkan bahwa setiap tahun jumlah pengguna media sosial di Indonesia semakin bertambah. Namun sayangnya, jumlah antara pengguna media sosial dan minat membaca masyarakat tidak berbanding lurus. Justru sebaliknya tingkat literasi kita nyaris mengalami penurunan. Dalam konteks Maluku Utara sebagaimana dilansir dari (databoks.katadata.co.id,2022) menungungkapkan bahwa skor paling rendah dalam Indeks Literasi Digital di Indonesia adalah Maluku Utara dengan skor 3,18.

Selanjutnya dalam potret budaya literasi masyarakat Indonesia memiliki disparitas yang berbeda sesuai dengan wilayahnya masing-masing. Provinsi DKI Jakarta memiliki nilai budaya literasi paling tinggi (68,64), Provinsi Papua memiliki nilai budaya literasi paling rendah yaitu (29,13), sedangkan Maluku Utara memiliki skor budaya literasi (55,20). (Kemendikbud, 2021-2022). Berdasarkan data dari Kemendikbud tahun 2021-2022 tersebut menunjukkan Maluku Utara menempati urutan ke-25 dari 35 Provinsi di Indonesia.

Berbagai macam pemikiran secara teoritis dan sejumlah data dan fakta problem mendasar yang berkaitan dengan dampak digitalisasi terhadap literasi budaya di Indonesia dan secara khusus di Maluku Utara patut menjadi perhatian kita semua sebagai masyarakat Maluku Utara apakah itu akademisi, praktisi, aktivis, guru, dosen, dan sebagainya harus berpikir bagaimana caranya agar literasi budaya Maluku Utara dapat dihidupkan dan dilestarikan sehingga nilai-nilai budaya lokal dapat hidup, tumbuh dan berkembang di tengah ekspansi modernisasi dan digitalisasi.

Secara konseptual literasi budaya merupakan sebuah konsep tentang kemampuan dalam memahami dan bersikap terhadap budaya Indonesia yang menjadi identitas bangsa. Spirit literasi budaya dapat menyelamatkan terpinggirnya budaya nasional dan juga membangun identitas Indonesia di era modern. Literasi budaya keberadaannya sangat diperlukan dalam kehidupan manusia. Adanya perbedaan fisik, agama, bahasa, adat, dan lain sebagainya mengharuskan setiap individu saling menerima atau memahami (Risma Irwan, dkk, 2023).

Lebih jauh dalam penelitian (Mochammad Fahmi Iskandar, dkk, 2024) mengungkapkan bahwa literasi budaya mencakup pemahaman, apresiasi, dan keterlibatan dalam berbagai aspek kebudayaan yang ada di lingkungan masyarakat. Literasi budaya bukan hanya sebatas kemampuan membaca dan menulis, tetapi juga mencakup kemampuan untuk menginterpretasikan, menganalisis, dan merespon berbagai bentuk ekspresi budaya. Hal ini mencakup pemahaman terhadap nilai-nilai, norma, kepercayaan, dan praktik-praktik yang membentuk suatu kelompok masyarakat. Literasi budaya juga melibatkan kemampuan untuk mengenali dan menghargai berbagai bentuk ekspresi budaya, seperti seni, musik, tarian, dan bahasa.

Berangkat dari gagasan tersebut maka orang yang mengalami krisis budaya literasi akan mudah kehilangan jati dirinya. Dia akan mudah kehilangan arah dalam kehidupannya. Karena dia tidak lagi memiliki pengetahuan tentang nilai-nilai sejarah para leluhurnya. Yang tentu nilai-nilai sejarah ini berkait kelindan dengan nilai-nilai kearifan lokal yang di dalamnya terkristalisasi nilai-nilai kebaikan, kebenaran, kearifan dan kebijaksanaan. Pendeknya adalah orang yang memiliki kesadaran budaya literasi akan memiliki tanggung jawab sosial, bergotong royong, menjaga alam dan lingkungan, memiliki toleransi untuk hidup berdampingan dan paling penting adalah merasa bangga dengan budaya yang dimilikinya.

Dalam konteks Maluku Utara hari ini dapat dilihat bahwa generasi muda kita selain malas membaca dan menulis juga kemampuan dalam literasi budaya sangat lemah. Misalnya jika ditanya tentang istilah-istilah kearifan lokal (local wisdom) hampir generasi muda saat ini sudah tidak memahami lagi. Padahal tradisi atau budaya lokal di Maluku Utara inilah yang menjadi identitas masyarakat sejak zaman dahulu. Sehingga generasi muda harus kembali mempelajari, menghidupkan dan melestarikannya, seperti di Ternate terdapat adat Jou Se Ngofa Ngare, Adat Seatorang, Galep Selakudi, Cing Se Cingare, Baso Se Rasai, Duka Se Cinta, dan Baso Se Hormat. Di Tobelo ada filosofi Hibua Lamo “Ngone O Ria Dodoto” yang mengandung nilai-nilai perekat atau pemersatu berbagai suku dan agama. Di Halmahera Tengah dan Halmahera Timur ada istilah Fagogoru dan praktik adat Cokaiba. Di Tidore ada istilah Cofa, Saihu, Jere dan berbagai kearifan lokal lainnya seperti: Babari, Lilian, Rorio, Saro-saro di Maluku Utara.

Berbeda dengan zaman dahulu, budaya dan kearifan lokal kita pada zaman sekarang nyaris hilang akibat dampak dari budaya hedonisme, apatis, individualistik dan terpaan badai dunia digital dan modernisasi. Akhirnya generasi muda saat ini kerap kali mulai meninggalkan budayanya sendiri. Padahal pada zaman dahulu, orang tua-tua kita walaupun hidup dalam kondisi sederhana, tidak ada namanya internet dan digital tetapi mereka sangat menghargai dan menjunjung tinggi nilai-nilai kearifan lokal. Mereka tidak sekadar memahami budaya lokal secara teori semata tetapi dapat diinternalisasikan dan diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu contoh praktik budaya di Ternate kalau ada yang melihat orang yang lebih tua di jalan mereka menegur dengan mengucapkan salam “Suba Jou” yang berarti penghormatan bagi orang yang lebih tua, lalu orang yang mendengar salam membalas dengan perkataan “Jou Suba” yang memiliki arti menyambut tamu atau ucapan selamat datang kepada orang yang memberi salam. Ini adalah praktik budaya lokal yang memiliki nilai filosofi yang sangat dalam dan tinggi.

Oleh karena itu, agar budaya dan kearifan lokal di Maluku Utara tetap hidup maka perlu dilakukan rejuvenasi atau peremajaan dan pemulihan kembali agar nilai-nilai budaya tetap hidup dan lestari. Berikut ini beberapa solusi yang penulis kemukakan untuk memulihkan dan menghidupkan kembali budaya literasi berwawasan kearifan lokal.

Pertama, literasi budaya dimulai dari lingkungan keluarga. Kesadaran literasi khususnya membaca dan menulis harus dimulai dari pembiasaan. Anak-anak harus ditanamkan gemar membaca buku sejak dini. Dan gemar membaca buku ini harus dimulai dari keluarga. Misalnya ketika anak berulang tahun atau meraih peringkat kelas dan mendapat juara orang tua memberikan hadiah buku. Orang tua juga harus menceritakan kisah-kisah teladan para tokoh-tokoh kharismatik dan hebat lokal kepada anak-anaknya agar mereka dapat mengidolakan tokoh-tokoh lokal sejak dini. Selain itu, orang tua harus menyediakan buku-buku yang sesuai dengan kebutuhan anak di dalam rumah. Sehingga, lingkungan keluarga dibangun atas dasar budaya literasi yang kuat.

Kedua, literasi budaya di lingkungan masyarakat. Literasi harus digerakkan dari dasar atau dari bawah mulai dari kelurahan, desa, dan lingkungan RT/RW. Oleh karena itu butuh regulasi yang jelas untuk dapat mendorong terbentuknya iklim literasi budaya di lingkungan masyarakat. Dan paling terpenting adalah keterlibatan para tokoh masyarakat yang berkompeten untuk berkolaborasi dalam menghidupkan kesadaran membaca, menulis dan memahami nilai-nilai kearifan lokal.

Ketiga, kreativitas dan inovasi perpustakaan. Perpustakaan merupakan gudang ilmu pengetahuan. Selama ini kita lihat perpustakaan tidak memiliki kreativitas dan inovasi dalam meningkatkan minat dan daya baca masyarakat. Perpustakaan hanya menampung buku-buku saja tetapi minim program seperti sosialisasi kesadaran literasi, koleksi buku, menyelenggarakan lomba, membuat pelatihan menulis dan sebagainya. Sehingga, masyarakat malas mendatangi perpustakaan. Pada akhirnya perpustakaan sepi dari pengunjung.

Keempat, literasi budaya di lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan baik itu Sekolah dan Perguruan Tinggi harus mampu membangun iklim literasi budaya. Sebagai lembaga pendidikan formal yang memiliki aturan yang jelas dalam penyelenggaraan pendidikan maka sudah patut sekolah dan kampus menjadi pionir dan lokomotif dalam membangun literasi budaya. Metode dan kurikulum pembelajaran harus didesain semenarik mungkin agar peserta didik dan mahasiswa memiliki kesadaran dalam membaca, menulis dan melestarikan budayanya.

Kelima, menyusun kurikulum literasi budaya pada setiap Kabupaten atau Kota. Untuk memperkukuh kesadaran literasi maka harus dibuat regulasi pada setiap daerah di Maluku Utara tentang kurikulum literasi budaya berbasis kearifan lokal. Misalnya, setiap daerah di Maluku Utara punya kearifan lokalnya seperti bahasa daerahnya, budaya lokalnya ini harus dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan baik pada level SD, SMP dan SMA agar siswa terbiasa dalam membaca, menulis dan juga melestarikan nilai-nilai kearifan lokalnya.

Keenam, menyelenggarakan festival budaya. Festival atau pertunjukkan kebudayaan harus diadakan minimal enam bulan sekali. Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga pada level Kabupaten atau Kota, Sekolah dan Kampus dapat mengambil peran untuk mengadakan pentas seni dan budaya sebagai ajang untuk mencari bakat dan juga mengkampanyekan nilai-nilai kearifan lokal agar generasi muda tetap memiliki ingatan dan kesadaran dalam budaya literasi. Adapun lomba pada festival seni dan budaya seperti pidato menggunakan bahasa daerah, lomba tarian daerah, lomba drama tentang kisah-kisah tokoh lokal dan lain sebagainya.

Ketujuh, membangun Taman Baca Masyarakat (TBM). Taman baca masyarakat dibangun tidak sekadar menjadi tempat menampung dan memajang buku. Tetapi, harus dibuat program semenarik mungkin untuk mengkampanyekan budaya literasi kepada masyarakat. Orang-orang yang menjadi pengelola TBM harus memiliki passion atau minat dalam dunia literasi. Sehingga mereka bisa menjadi contoh di tengah masyarakat. Maka di sinilah dibutuhkan sinergitas antara pemerintah dan komunitas literasi dalam membangun dan menghidupkan TBM. Pemerintah memberi dukungan dalam aspek regulasi, kebijakan, dan anggaran operasional dalam pengadaan buku, sementara komunitas literasi berperan menggerakkan dan menjalin kolaborasi dengan berbagai pihak seperti sekolah, perguruan tinggi, organisasi masyarakat dan lembaga lainnya.

Kedelapan, literasi budaya di lingkungan Kesultanan. Maluku Utara dikenal sebagai daerah kesultanan dalam bingkai Moloku Kie Raha. Karena terdapat empat kesultanan yang masih aktif hingga hari ini seperti: Kesultanan Ternate, Kesultanan Tidore, Kesultanan Bacan dan Kesultanan Jailolo. Masing-masing Kesultanan yang ada di Maluku Utara memiliki peran yang sangat penting dalam membumikan nilai-nilai kearifan lokal. Seperti kegiatan festival budaya yang terkenal yaitu: Legu Gam, Festival Teluk Jailolo, Festival Tidore, Festival Kora-kora, Festival Popas Lipu, dan Festival Marabose. Selain itu, daerah-daerah lain bisa turut andil dalam membuat kegiatannya masing-masing untuk membangun dan menghidupkan kearifan lokalnya. Salah satu contoh konkret kegiatannya adalah membuat pajangan budaya masing-masing di setiap sekolah, rumah, kantor, jalan raya, gapura, tempat wisata dan lain-lain. Hal ini dapat menjadikan suatu daerah memiliki ciri khasnya masing-masing sehingga dapat bernilai eksotis. (*)