Opini  

Mba Tiwi, Mata Air Keteladanan yang Telah Pergi

Oleh: Rusmin Hasan

__________________

DARI tanah Kota Magelang, Provinsi Jawa Tengah, perempuan lembut, penyayang dan sholeha itu memulai hari-harinya sejak kecil. Karya Listianty Pertiwi atau kerap disapa Tiwi. Bapaknya menginginkan agar dia kelak bisa memberikan pencerahan di kampung halamannya dan di tempat ia mengabdi di Kabupaten Halmahera Timur, Provinsi Maluku Utara. Rupanya dia melampaui semua harapan itu. Ia laksana mata air yang memberi semerbak wewangi bagi Halmahera Timur tempat dimana ia mengabdi sebagai pegawai teladan statistika Haltim. Kepergiannya menyangatkan hati masyarakat kota Maba khususnya, dan Halmahera Timur secara umum pun bersedih dan merindukan sosoknya.

Ibunya, adalah matahari yang tak henti menyinari hidupnya. Mencintai anaknya, jauh melebihi kecintaan pada diri sendiri. Mba Tiwi menjadi sosok paling dirindukannya hingga kini. Perempuan gemar membaca itu, memiliki mimpi besar untuk masa depan Halmahera Timur. Ia ingin membangun sebuah bangunan perpustakaan gratis. Di tengah banyak orang tak memikirkan hal itu. Namun miris, kematiannya begitu menyangatkan hati.

“Dia mengabdikan dirinya tulus dan ikhlas untuk Kabupaten Halmahera Timur,” ucap adiknya, Karya Setya Mahendra ketika penulis berkomunikasi dengannya lewat Instagram.

Hari itu, kehebohan pun terjadi, Tiwi terakhir terlihat pada pertengahan Juli 2025. Ia mengambil cuti dari tanggal 21 hingga 25 Juli 2025. Setelah itu, hening. Tidak ada kabar. Tidak ada jejak. Rekan-rekan kantornya mulai gelisah, namun tetap berharap. Mungkin sinyal susah atau mungkin ia memperpanjang cuti. Tapi waktu terus berjalan.

Hingga akhirnya pada Kamis, 31 Juli, kekhawatiran itu menemukan jawaban paling mengerikan.

Rumah dinas BPS Kabupaten Halmahera Timur yang ia tinggali di Desa Soagimalaha, kota Maba, dikunjungi beberapa pegawai dan satpam atas izin pimpinan dan keluarga. Rumah terkunci rapat. Tak ada suara. Jendela dibuka paksa. Dan seketika, bau busuk menyengat menyambut mereka. Di dalam kamar, tubuh Mba Tiwi ditemukan membusuk, terbujur telentang di atas kasur. Dunia runtuh bagi mereka yang mengenalnya. Tiwi sudah tiada. Tapi lebih dari itu, ia dibunuh. Dan bukan oleh orang asing, melainkan teman sekantornya AH alias Hanafi.

Polisi bergerak cepat. Investigasi dilakukan. Satu nama muncul: AH alias Hanafi. Pria itu sempat menghilang selama beberapa hari. Namun pada malam 4 Agustus 2025, ia menyerahkan diri ke Polda Maluku Utara. Ia mengaku resah. Tapi siapa yang tahu pasti? Seorang yang bisa menyimpan mayat dan tetap menikah dengan gadis pujaannya delapan hari setelah membunuh, barangkali bukan sekadar resah. Namun, ia hanya sedang kehabisan cara untuk berbohong lagi.

Tiwi, si A (perempuan yang telah dinikahi Hanafi), dan Hanafi sama-sama bekerja di kantor yang sama. Tiwi dan A menempati satu atap rumah dinas yang berbeda kamar, sementara Hanafi tinggal di tempat lain. Satu institusi mempertemukan mereka setiap jam kerja, tapi tak pernah ada yang menduga bahwa di balik hubungan profesional itu, Hanafi sedang menyalakan bara kejahatan yang kelak merenggut nyawa Tiwi.

Pengakuan Hanafi menjadi pintu pembuka pada malam paling gelap dalam hidup Tiwi. Ia mengaku terlilit utang akibat kecanduan judi online. Pada 16 Juli 2025, ia muncul tiba-tiba di Maba, memalsukan cerita kepada tunangannya bahwa ia kecelakaan dan dirawat di puskesmas. Kepada A, ia minta datang ke Maba, namun dengan maksud yang tidak dijelaskan.

Hari itu juga, ia bertemu Tiwi di jalan. Ia memohon pinjaman uang Rp 30 juta. Tiwi menolak dengan sopan. Tapi bagi Hanafi, penolakan itu adalah hukuman yang tak bisa ia terima.

Sejak 17 Juli 2025, ia menyusup masuk ke rumah dinas. Ia sembunyi di kamar calon istrinya, tanpa sepengetahuan siapa pun. Ia mengintai. Ia memperhatikan setiap rutinitas Tiwi. Lalu pada 19 Juli, saat pagi masih buta, ia menyerang.

Aksi itu bukan sekadar pembunuhan. Itu penyiksaan. Ia membekap Tiwi, mengikat tangannya, memaksa melakukan oral seks. Ia kemudian memaksa korban membuka ponsel dan aplikasi Jenius miliknya. Di dalamnya, ada tabungan Rp 38 juta. Uang itu ditransfer ke Gopay, lalu ke rekening Hanafi. Uang itu digunakan untuk membayar utang. Tapi belum cukup. Ia masih butuh lebih.

Setelah itu, ia membungkam mulut korban dengan lakban, lalu menekan wajahnya dengan bantal dan lutut. Tiwi melawan. Ia kejang. Tapi Hanafi bertahan. Ia tunggu sampai tubuh itu lemas. Ia lalu mengakses Google, mencari tahu tanda-tanda orang yang baru saja mati. Dan setelah memastikan kematian itu nyata, ia duduk di dalam kamar, bersama mayat, hingga magrib. Ia menyempatkan diri bermain judi online lagi.

Pada 25 Juli 2025, ia menggunakan Hp korban untuk mengajukan pinjaman online sebesar Rp 50 juta. Ia juga mengambil uang tunai Rp 400 ribu dari kamar, serta dua unit ponsel. Total uang yang ia ambil dari korban sebesar Rp 89 juta. Setelah pergi ke Ternate, ia membuang dua Hp korban di Ngade, kepala charger di laut, dan kabelnya di dekat Masjid Al-Munawwar. Lalu, pada 27 Juli 2025, ia berdiri di pelaminan. Senyum mengembang. Baju baru. Pengantin baru. Tapi menyimpang hati iblis.

Rekonstruksi digelar pada 8 Agustus 2025. Sebanyak 33 adegan diperagakan Hanafi, disaksikan ratusan warga yang sudah menyimpan kemarahan. Teriakan terdengar dari pagar rumah. Beberapa melempar batu. Polisi sempat kesulitan mengevakuasi pelaku. Butuh dukungan Brimob untuk membawanya pergi dari rumah yang kini telah menjadi monumen kematian.

Adegan ke-21 hingga ke-23 adalah yang paling menyayat. Di sana, Hanafi memperagakan bagaimana ia menekan wajah Tiwi dengan bantal, menggunakan lututnya. Saat penyidik menyampaikan bahwa tengkorak korban ditemukan retak, Hanafi bersikeras menyangkal. “Saya cuma tekan pakai lutut, sumpah, Pak,” katanya. Tapi tidak ada sumpah yang bisa menghapus kekejian seperti itu.

Penulis mengutip status dari dinding beranda Facebook dari Mas Sabri Habib. Ia menulis bahwa ia bukan ahli forensik, tapi dari begitu banyak film bertema psikopat yang pernah ia nonton, ada pola yang terasa akrab dalam kasus ini, dan itu menyeramkan. Psikopat sejati bukan yang brutal di permukaan, tapi yang tenang, rapi, dan berpikir seperti arsitek kejahatan. Hanafi menunjukkan semua itu. Ia tidak sekadar membunuh, tapi menyusun skenario. Ia merancang potongan-potongan kebohongan seperti menyusun puzzle: menyamar sebagai korban untuk mengajukan cuti, memanipulasi waktu kematian agar tubuh yang ia sembunyikan tak langsung dicari. Semua dilakukan dengan ketenangan yang mengerikan, seperti tokoh-tokoh fiksi paling gelap yang pernah ia saksikan. Bedanya, ini nyata. Dan justru karena nyata, jauh lebih mengerikan. Begitulah sepenggal analisanya Mas Sabri pada kasus Mba Tiwi.

Delapan saksi telah diperiksa. Bukti digital telah dikumpulkan. Pasal yang dikenakan kepada Hanafi adalah 340 KUHP tentang pembunuhan berencana, dengan ancaman hukuman mati. Atau paling ringan: 20 tahun penjara. Tapi bahkan 20 tahun kurungan pun tak akan mampu menebus kehilangan seorang perempuan muda yang merantau untuk bekerja, hanya untuk dijebak dan dibunuh oleh orang yang ia kenal.

Tiwi bukan sekadar korban pembunuhan. Ia korban dari wajah ganda seorang manusia yang tampak biasa dan ia korban dari zaman yang memungkinkan seorang psikopat menyembunyikan kejahatannya di balik kesantunan.

Dan kini, wajah itu terpampang. Hanafi. Di depan publik. Tapi sebelum semua ini menjadi catatan hukum yang dingin, kita perlu mengingatnya sebagai cerita manusia tentang betapa tipisnya jarak antara rekan kerja dan pemangsa, antara rasa percaya dan bahaya yang mematikan.

Penulis tidak mengenal Tiwi secara pribadi. Begitu pula Hanafi, nama yang kini terasa begitu berat untuk diucapkan tanpa amarah. Tidak ada keterlibatan emosional, tidak ada kedekatan personal. Tapi bagaimana mungkin tidak tergerak? Bagaimana mungkin tidak merasa getir saat membaca kronologi yang lebih mirip adegan film horor daripada kenyataan di sebuah rumah biasa?

Yang ada hanya keprihatinan mendalam. Bukan hanya karena seorang perempuan muda yang penuh harapan harus meregang nyawa dengan cara sekeji itu, tapi juga karena pelakunya adalah orang yang dikenalnya, yang hidup bersamanya dalam lingkaran yang sama. Seorang psikopat yang menyusun kejahatannya dengan ketenangan yang dingin, dan itulah yang paling menakutkan.

Untuk kekejian semacam ini, tidak ada alasan. Tidak ada pembenaran. Yang ada hanyalah kebutuhan mendesak untuk memastikan bahwa keadilan benar-benar ditegakkan. Bahwa Hanafi harus dihukum seberat-beratnya, sesuai hukum yang berlaku. Bukan untuk memuaskan amarah semata, tapi demi menjaga batas antara manusia dan iblis yang menyamar.

Karena bila wajah seperti itu bisa lolos tanpa ganjaran, maka kita semua sedang hidup di antara bahaya yang tak kasatmata dan tak ada yang benar-benar aman.

Di akhir penulis, saya mengistilahkan Mba Tiwi sosok ‘Mata Air Keteladanan’ yang akan terus dirindukan.

Mba Tiwi tak hanya sekadar pegawai teladan statistika Haltim. Ia laksana mata air keteladanan yang hilang milik Halmahera Timur.

Sejarah akan mencacat Tiwi sebagai seorang pecinta. Iya, karena ia memiliki impian dan visi besar untuk membuat perpustakaan gratis buat masa depan Halmahera Timur. Jasadnya boleh hilang dan pergi. Namun, ide dan visinya akan selalu hidup, jauh menembus aksara cinta di kemudian hari. Selamat jalan sang mata air keteladanan Mba Tiwi. Semoga Jannah Firdaus tempat keabadianmu. (*)