Opini  

Merdeka di Tengah Arogansi Kekuasaan

Oleh: Herman Oesman

Dosen Sosiologi FISIP UMMU

__________________

Kemerdekaan bukan untuk memerintah sesuka hati, tetapi untuk mengatur kehidupan bersama dengan adil.” (Mohammad Hatta, 1979)

Kata merdeka di negeri ini, Indonesia yang kita cintai, selalu bergema dengan makna yang menggetarkan. Ia bukan sekadar kata sifat, tetapi hasil perjuangan panjang yang diwarnai darah, air mata, dan pengorbanan. Proklamasi 17 Agustus 1945 menjadi tonggak bahwa bangsa ini berhak menentukan nasib sendiri, bebas dari belenggu kolonialisme. Namun, perjalanan kemerdekaan acapkali terguncang oleh wajah lain dari kekuasaan : arogansi.

Benedict Anderson mengingatkan, bahwa negara pascakolonial tidak otomatis menjadi tanah yang dijanjikan bagi rakyatnya. Negara dapat saja mewarisi—bahkan melipatgandakan—sifat otoriter kolonial yang dahulu diperangi (Anderson, 2006: 145).

Dalam banyak kasus, penguasa justru menempatkan diri sebagai pusat, mengatur dari atas tanpa membuka ruang dialog dengan rakyat yang menjadi sumber kedaulatan.

Kasus demo masyarakat Kabupaten Pati atas perilaku arogansi bupatinya dengan menaikkan PBB 250% dapat dibaca dalam konteks ini.

***

Kemerdekaan seharusnya berarti kebebasan kolektif untuk mewujudkan cita-cita bersama. Bung Hatta, dalam pidatonya pada 1946, menyebut kemerdekaan bukanlah “pintu gerbang emas” menuju kemakmuran, tetapi kesempatan untuk membangun masyarakat adil dan makmur (Hatta, 1979: 52). Ironisnya, kesempatan ini kerap disalahgunakan. Kekuasaan yang mestinya menjadi amanah berubah menjadi alat mempertahankan privilese kelompok tertentu.

Di era demokrasi elektoral, bentuk arogansi kekuasaan tidak selalu hadir lewat senjata dan represi terang-terangan, tetapi lewat kebijakan yang mengabaikan suara rakyat. Contoh paling kentara adalah menaikkan pajak demikian besar yang menimbulkan resistensi publik namun tetap dipaksakan. Dalam logika kekuasaan seperti ini, suara rakyat hanya ornamen demokrasi, bukan substansi.

Arogansi kekuasaan tumbuh ketika penguasa merasa memiliki legitimasi absolut. Hannah Arendt membedakan power sebagai hasil kesepakatan kolektif, dengan violence sebagai pemaksaan kehendak (Arendt, 1970: 41).

Ketika penguasa mengabaikan partisipasi publik, ia sesungguhnya telah menggeser makna kekuasaan dari power menjadi violence dalam bentuk kebijakan. Demokrasi pun kehilangan roh deliberatifnya.

Fenomena ini terlihat pada banyak daerah di Indonesia. Termasuk kebijakan pembangunan yang menyingkirkan masyarakat adat dari tanahnya demi kepentingan investasi. Kebijakan tersebut kerap dibungkus narasi “demi pertumbuhan ekonomi” atau “kepentingan nasional,” padahal yang diuntungkan segelintir elite politik dan ekonomi (Li, 2014: 23).

Kemerdekaan sejati menempatkan rakyat sebagai subjek pembangunan, bukan objek yang hanya menerima keputusan. Amartya Sen dalam Development as Freedom menegaskan bahwa kebebasan politik, akses informasi, dan partisipasi publik merupakan inti dari pembangunan. Tanpa itu, kemerdekaan hanya menjadi slogan yang hampa (Sen, 1999: 36).

Arogansi kekuasaan terjadi ketika kebijakan disusun tanpa konsultasi yang bermakna. Misalnya, ketika proyek infrastruktur raksasa membongkar pemukiman warga tanpa kompensasi adil, atau ketika izin tambang dikeluarkan di wilayah yang selama berabad-abad menjadi ruang hidup masyarakat lokal, atau menaikkan pajak, dan sebagainya. Praktik semacam ini bukan hanya mengabaikan hak asasi, tetapi juga mencederai semangat kemerdekaan.

Arogansi kekuasaan memiliki akar yang kompleks. Salah satunya adalah warisan politik kolonial yang menempatkan penguasa sebagai “tuan” dan rakyat sebagai “bawahan.” Warisan ini masih terlihat dalam birokrasi yang hierarkis dan lamban. Selain itu, kultur politik patronase membuat kekuasaan kerap dipahami sebagai kesempatan menguntungkan kelompok sendiri, bukan sebagai amanah publik (Hadiz & Robison, 2010: 89).

Media massa dan ruang publik yang seharusnya menjadi arena pengawasan acapkali dilemahkan. Kritik dibungkam dengan stigma “anti- pembangunan” atau “provokator.” Di sinilah arogansi kekuasaan menjadi ancaman laten bagi demokrasi, karena ia mengikis kontrol sosial yang seharusnya mengimbangi kekuasaan.

Mengatasi arogansi kekuasaan memerlukan dua hal: kesadaran kritis rakyat dan mekanisme akuntabilitas yang kuat. Paulo Freire menyebut kesadaran kritis (conscientizacao) sebagai prasyarat pembebasan (Freire, 2005: 72). Rakyat perlu memahami bahwa kemerdekaan bukan hadiah dari penguasa, tetapi hak yang harus terus dipertahankan.

Di sisi lain, negara harus memperkuat lembaga-lembaga yang mampu membatasi kekuasaan, seperti peradilan independen, pers bebas, dan parlemen yang representatif. Tanpa itu, kemerdekaan bisa terperosok menjadi sekadar ritual tahunan tanpa makna substantif.

Kemerdekaan yang kita rayakan setiap Agustus merupakan hasil perjuangan kolektif melawan kekuasaan yang sewenang- wenang. Ironisnya, sejarah bisa berulang ketika arogansi kekuasaan tumbuh di tubuh negara merdeka. Jika kemerdekaan hanya dimaknai sebagai pergantian penguasa tanpa perubahan struktur kekuasaan yang menempatkan rakyat sebagai pusat, maka ia tidak lebih dari kemerdekaan semu.

Merdeka sejati adalah tatkala kekuasaan dijalankan dengan rendah hati, transparan, dan berorientasi pada kesejahteraan rakyat. Sebab, sebagaimana diingatkan oleh Bung Hatta, “Kemerdekaan bukan untuk memerintah sesuka hati, tetapi untuk mengatur kehidupan bersama dengan adil.” (Hatta, 1979: 54). Merdeka…!! (*)