Oleh: Syaiful Bahry
Ketua Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) Wilayah Maluku Utara dan Dosen Psikologi UMMU
_________________
STRES kerja adalah kondisi psikologis yang muncul ketika tuntutan pekerjaan melebihi kemampuan atau sumber daya yang dimiliki seseorang untuk menghadapinya. Dalam dunia kerja modern, stres kerja bukan lagi isu baru, tetapi realitas yang semakin nyata. Di Maluku Utara, fenomena ini memiliki dimensi khas karena dipengaruhi oleh faktor geografis, sosial, budaya, serta karakteristik sektor pekerjaan yang dominan. Dengan kekayaan sumber daya alam seperti tambang nikel, emas, dan hasil laut, Maluku Utara tampak menjanjikan secara ekonomi. Namun, di balik peluang tersebut terdapat tekanan kerja yang tinggi, yang seringkali tidak mendapat perhatian serius.
Dinamika Stres Kerja di Maluku Utara
Pada sektor pertambangan dan industri. Maluku Utara adalah salah satu daerah dengan aktivitas pertambangan terbesar di Indonesia, khususnya nikel. Para pekerja di sektor ini menghadapi jam kerja panjang, risiko kecelakaan tinggi, serta tuntutan produksi yang besar. Banyak dari mereka juga hidup jauh dari keluarga karena ditempatkan di lokasi kerja terpencil. Situasi ini memicu stres kerja yang serius, seperti rasa kesepian, kelelahan kronis, dan tekanan emosional. Beberapa kasus tragis seperti bunuh diri akibat stres kerja di tambang juga menunjukkan betapa rentannya para pekerja. Seperti kasus bunuh diri dengan inisial SA yang aktif bekerja di PT. IWIP Halmahera Tengah, berusia 29 tahun yang diberitakan oleh media Nuansmalut pada tanggal 12 Agustus 2025. Kasus yang sama pun terjadi di Halmahera Tengah pada tanggal 19 Juli 2022, karyawan pada salah satu perusahaan pengembangan kawasan industri berinisial TT alias Taher berusia 29 tahun juga melakukan bunuh diri (tandaseru.com).
Pada sektor Pendidikan, khususnya guru di daerah pedalaman, menghadapi keterbatasan fasilitas belajar, gaji yang tidak selalu sebanding dengan beban kerja, serta tantangan akses transportasi. Mereka tidak hanya berperan sebagai pendidik, tetapi juga sebagai agen sosial di komunitas. Tuntutan ganda ini bisa menjadi sumber stres, terutama ketika dukungan dari pemerintah daerah masih terbatas.
Pada sektor kesehatan, tenaga kesehatan di Maluku Utara seringkali harus bekerja dengan fasilitas yang minim, jumlah tenaga terbatas, dan beban pasien yang tinggi serta tunjangan prestasi pegawai yang terlambat dibayar dapat menambah beban stres. Pandemi COVID-19 semakin menegaskan bahwa stres kerja pada tenaga medis adalah persoalan serius. Tekanan emosional, risiko tertular penyakit, hingga stigma sosial dari masyarakat membuat mereka rentan terhadap burnout (baca; kelelahan secara fisik, emosional, atau mental yang disertai dengan penurunan motivasi, kinerja, dan munculnya sikap negatif terhadap diri sendiri maupun orang lain).
Di sektor pemerintahan dan birokrasi aparatur sipil negara (ASN) di Maluku Utara juga menghadapi tekanan, terutama terkait target kerja, dinamika politik lokal dan juga faktor stres kerja muncul ketika ada ketidakjelasan regulasi, birokrasi yang berbelit, serta ekspektasi masyarakat yang tinggi terhadap pelayanan publik.
Faktor Pendorong Stres Kerja
Beberapa faktor yang memperkuat munculnya stres kerja di Maluku Utara antara lain: Kondisi geografis: Banyak daerah terpencil sulit dijangkau, sehingga pekerja harus menghadapi isolasi sosial. Misalnya, pekerja di sektor pendidikan dan kesehatan yang ditempatkan di daerah-daerah terpencil yang minim fasilitas memicu perasaan terisolasi dan kelelahan. Kurangnya fasilitas kesehatan mental: Layanan konseling dan psikolog masih sangat terbatas, sehingga memberikan edukasi layanan konseling dan psikologi jarang didapatkan oleh pekerja di sektor pertambangan, pendidikan dan kesehatan. Tuntutan ekonomi, seperti tekanan hidup akibat tingginya biaya kebutuhan sehari-hari membuat pekerja sulit menemukan keseimbangan. Begitu juga dengan adanya perubahan sosial, modernisasi membawa gaya hidup baru yang kadang berbenturan dengan nilai budaya lokal.
Dampak Stres Kerja
Jika tidak ditangani, stres kerja akan berdampak serius, baik secara individu maupun sosial. Pada individu, dampaknya berupa kelelahan, gangguan tidur, depresi, hingga penurunan kesehatan fisik. Pada organisasi, stres kerja menurunkan produktivitas, meningkatkan absensi, dan memperburuk iklim kerja. Secara sosial, stres kerja dapat berkontribusi pada meningkatnya konflik internal antara sesama pekerja, kekerasan, hingga kasus bunuh diri.
Solusi Mengatasi Stres Kerja di Maluku Utara
Penguatan dukungan organisasi baik di Perusahaan, sekolah, rumah sakit, dan instansi pemerintah perlu menciptakan budaya kerja yang sehat. Misalnya dengan jam kerja yang manusiawi, menyediakan ruang konsultasi psikologis di setiap organisasi, serta mekanisme penghargaan yang adil. Memberikan penghargaan kepada pekerja yang berprestasi dapat menambah semangat dan motivasi kerja. Selain itu, peningkatan layanan kesehatan mental perlu dibijaki dan direalisasikan oleh pemerintah daerah, dengan memperluas akses psikolog dan konselor ke daerah-daerah. Program pelatihan manajemen stres juga perlu diberikan ke para pekerja, baik di perusahaan maupun komunitas.
Pemberdayaan kearifan lokal, seperti budaya gotong royong dan solidaritas sosial di Maluku Utara bisa menjadi basis dukungan psikososial. Komunitas adat, tokoh agama, dan keluarga dapat dilibatkan untuk membantu pekerja menghadapi tekanan kerja. Selanjutnya, masyarakat perlu dibekali pengetahuan tentang pentingnya kesehatan mental. Guru, tenaga medis, dan ASN dapat menjadi agen penyebar literasi ini. Pengetahuan tentang kesehatan mental dapat disiapkan dan difasilitasi oleh komunitas-komunitas psikologi seperti di program studi Psikologi Universitas Muhammadiyah Maluku Utara dan Universitas Khairun serta Himpunan Psikologi Indonesia Wilayah Maluku Utara.
Kolaborasi Multi Pihak
Mengatasi stres kerja membutuhkan sinergi antara pemerintah, perusahaan, lembaga pendidikan, organisasi masyarakat, dan keluarga. Stres kerja di Maluku Utara adalah persoalan serius yang tidak boleh diabaikan. Jika tidak ditangani, ia akan melemahkan kualitas sumber daya manusia dan memperlambat pembangunan daerah. Namun, dengan pendekatan yang tepat menggabungkan strategi organisasi, kebijakan pemerintah, dan kekuatan budaya lokal, stres kerja dapat dikelola menjadi tantangan yang justru mendorong pertumbuhan. Pembangunan Maluku Utara sejatinya bukan hanya tentang mengejar pertumbuhan ekonomi, tetapi juga memastikan kesejahteraan manusia yang menjadi motor penggeraknya. Semoga bermanfaat! (*)