Opini  

Pajak Makin Menggila, Pil Pahit Kemerdekaan RI

Zahra Riyanti.

Oleh: Zahra Riyanti

Pemerhati Muslimah dan Generasi

_____________________

INDONESIA kerap disebut telah merdeka selama 80 tahun, namun di balik perayaan yang penuh gegap gempita, rakyat justru menghadapi problem struktural yang makin pelik. Fenomena “kelas menengah terjepit” kini menjadi alarm serius. Survei BPS dan Bank Dunia menunjukkan kelas menengah Indonesia yang sebelumnya digadang sebagai motor ekonomi justru rapuh, 80 persen di antaranya rawan jatuh miskin jika terjadi guncangan seperti krisis atau resesi. Data BI (2025) bahkan mencatat bahwa 62,1 persen masyarakat saat ini mengandalkan tabungan untuk konsumsi sehari-hari akibat inflasi pangan dan energi yang tak terkendali. Artinya, alih-alih naik kelas, banyak keluarga justru hidup dari “makan tabungan” sebuah kondisi darurat yang mengindikasikan daya beli yang kian terkikis.

Ironisnya, di tengah situasi tersebut, negara justru berencana menambah beban rakyat dengan rencana 10 pajak baru yang menurut Kementerian Keuangan bisa meraup Rp 388 triliun (CNN Indonesia, 12/8/2025). Menteri Keuangan bahkan menyamakan pajak dengan zakat (CNBC Indonesia, 14/8/2025), seolah ingin membangun legitimasi moral, padahal perbedaan keduanya sangat fundamental. Zakat adalah kewajiban syariah dengan distribusi langsung untuk fakir miskin dan mustahik, sedangkan pajak modern bersifat memaksa, digunakan untuk pembiayaan utang dan proyek politik yang kerap tidak pro rakyat. Wamenkeu Anggito (2025) pun mengakui tantangan perpajakan 2026 akan berat, terutama karena kepatuhan rendah, basis pajak sempit, dan resistensi publik yang meningkat.

Masyarakat pun disuguhi ironi lain pejabat bisa berjoget-joget di panggung perayaan HUT RI, sementara rakyat menjerit menghadapi harga sembako mahal, gaji stagnan, dan biaya hidup yang kian menekan. Inilah potret kemerdekaan semu, negara berdaulat secara simbolik, tetapi sistem ekonomi masih tunduk pada kapitalisme global dan instrumen neoliberalisme seperti pajak, utang, serta liberalisasi pasar. BBC (2025) mencatat, beban utang Indonesia terus meningkat dengan rasio mencapai 38,6 persen PDB, sehingga APBN makin rapuh dan rakyatlah yang dijadikan penopang utama.

Dalam perspektif Islam, solusi atas situasi ini bukan sekadar menambah atau mengurangi pajak. Islam justru menolak dan menjadikan pajak sebagai instrumen utama pendapatan negara. Sumber pemasukan negara dalam sistem Islam ditopang oleh pengelolaan kepemilikan umum (seperti tambang, energi, dan hutan) serta kepemilikan negara (ghanimah, fai’, jizyah, kharaj). Pajak hanya bersifat temporer dan darurat, bukan permanen. Dengan pengelolaan ini, negara tidak akan membiarkan rakyat menguras tabungan demi bertahan hidup, tetapi justru memastikan kebutuhan pokok tiap individu terpenuhi secara layak.

Karenanya, solusi hakiki bagi Indonesia bukan sekadar reformasi perpajakan, melainkan perubahan sistemik menuju penerapan syariat Islam secara kaffah dalam bingkai Khilafah. Hanya dengan itu, kedaulatan ekonomi benar-benar kembali ke tangan rakyat, bukan segelintir elit maupun kepentingan asing. Merdeka hakiki adalah bebas dari belenggu kapitalisme dan neoliberalisme, serta hidup dalam sistem yang menjamin keadilan distribusi kekayaan, menghapus kesenjangan, dan melindungi kelas menengah dari jurang kemiskinan. (*)