Hukum  

Pengadilan Tata Usaha Negara untuk Maluku Utara: Menggugat Keadilan yang Tertunda Seperempat Abad

Oleh: Ramli Antula, S.H., CPC., CPAdj
Advokat

______________

DARI benteng-benteng peninggalan kolonial yang bisu hingga aroma cengkih dan pala yang melegenda, Maluku Utara adalah panggung besar dalam sejarah dunia. Negeri para raja ini adalah titik temu peradaban dan sumber kekayaan yang membentuk peta global. Namun, di balik kekayaan sejarah dan pesona alamnya, tersimpan sebuah paradoks modern yang menyakitkan, di usianya yang akan menginjak 26 tahun pada 4 Oktober 2025 nanti, keadilan bagi rakyatnya masih harus dicari di provinsi lain.

Hingga detik ini, Provinsi Maluku Utara belum memiliki Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) sendiri. Lembaga vital yang berfungsi sebagai benteng terakhir warga negara melawan potensi kesewenang-wenangan birokrasi ini belum pernah berdiri di tanah Maluku Utara. Akibatnya, setiap sengketa administrasi, mulai dari hak seorang aparatur sipil negara, izin usaha seorang pedagang kecil, hingga nasib lahan masyarakat adat yang terancam oleh kebijakan pejabat, semuanya harus dibawa berlayar ke PTUN Ambon.

Bagi provinsi kepulauan dengan lebih dari seribu pulau, kewajiban berperkara di provinsi lain bukan sekadar persoalan administratif, melainkan tembok penghalang keadilan yang kokoh dan mahal. Mari kita bayangkan realitasnya. Seorang pengusaha muda di Ternate yang dengan susah payah membangun sebuah usaha, tiba-tiba izinnya dicabut tanpa alasan yang transparan. Harapannya untuk menggugat kini bergantung pada biaya transportasi ke Ambon, sebuah biaya yang mungkin bisa menghabiskan seluruh modal usahanya. Atau seorang kepala desa di pelosok Halmahera yang diberhentikan secara tidak hormat karena alasan politis pasca pilkada. Baginya, perjalanan ke Ambon bukan hanya soal uang yang setara dengan penghasilan berbulan-bulan, tapi juga meninggalkan tanggung jawab keluarga selama berminggu-minggu. Pada akhirnya, banyak yang memilih diam dan pasrah. Keadilan menjadi barang mewah, dan asas peradilan yang sederhana, cepat, dan berbiaya ringan yang diamanatkan konstitusi terdengar seperti dongeng utopis.

Situasi ini menjadi semakin tidak dapat diterima ketika kita meletakkannya dalam konteks nasional. Maluku Utara saat ini adalah provinsi tertua di Indonesia yang belum memiliki PTUN. Sebuah fakta yang mengejutkan sekaligus ironis. Ketika provinsi ini lahir pada tahun 1999, ia membawa harapan besar akan pemerataan pembangunan, termasuk pembangunan di bidang hukum. Namun, ironisnya, Maluku Utara justru “dilangkahi” oleh provinsi-provinsi yang jauh lebih muda. Provinsi Banten, Gorontalo, dan Kepulauan Bangka Belitung yang lahir pada tahun 2000, serta Kepulauan Riau yang lahir pada 2002, semuanya telah lebih dulu memiliki PTUN sendiri. Ketika “adik-adiknya” sudah mandiri secara hukum, Maluku Utara sebagai “kakak” justru masih harus menumpang.

Bahkan, jika dibandingkan dengan sesama daerah yang belum memiliki PTUN, posisi Maluku Utara tetap yang paling mendesak. Sulawesi Barat (berdiri 2004), Kalimantan Utara (2012), dan provinsi-provinsi baru di Papua (2022) usianya jauh di bawah Maluku Utara. Ketiadaan PTUN di provinsi-provinsi yang lebih muda ini mungkin masih dapat dipahami sebagai bagian dari tahap awal pembangunan. Namun, untuk Maluku Utara yang usianya sudah lebih dari seperempat abad, ini adalah sebuah kelalaian historis dan anomali sistemik yang tidak bisa lagi didiamkan.

Prinsip negara hukum (Rechtsstaat) mengajarkan bahwa kekuasaan harus tunduk pada hukum, dan PTUN adalah instrumen utamanya. Terlebih di era Otonomi Daerah, di mana kewenangan pemerintah kabupaten/kota semakin besar, risiko terjadinya penyalahgunaan wewenang juga meningkat. Tanpa adanya PTUN lokal sebagai “wasit” yang netral dan mudah dijangkau, otonomi bisa menjadi pedang bermata dua yang justru menindas hak-hak warga lokal.

Oleh karena itu, ini adalah momen krusial bagi para pemangku kepentingan. Pemerintah Provinsi Maluku Utara di bawah kepemimpinan Ibu Gubernur Sherly Tjoanda harus menjadikan ini sebagai agenda prioritas utama, dengan mengajukan usulan resmi yang didukung data komprehensif kepada pemerintah pusat. Mahkamah Agung perlu mempercepat studi kelayakan dan memasukkan PTUN Maluku Utara dalam cetak biru pembangunan peradilan.

Mendirikan PTUN di Maluku Utara bukan lagi soal pilihan atau kemurahan hati, melainkan sebuah kewajiban konstitusional yang mendesak untuk ditunaikan. Ini adalah investasi paling fundamental bagi masa depan demokrasi, supremasi hukum, dan martabat masyarakat. Sudah saatnya sauh kapal keadilan berlabuh secara permanen di Maluku Utara, tidak lagi hanya singgah sebagai tamu dari seberang lautan. Penantian 26 tahun sudah lebih dari cukup. (*)