Oleh: Rizky Ramli
Mahasiswa Antropologi Universitas Khairun
________________
MENGAPA pemeluk Hindu di India tak boleh makan sapi? Mengapa orang Yahudi dan Muslim mengharamkan babi, dan sebaliknya orang Maring di New Guinea sepertinya tak bisa hidup tanpa babi?
Antropolog Marvin Harris mencoba memberikan jawaban atas perilaku sosial yang sering tampak tak terjelaskan ini. Harris bahkan lebih jauh menafsirkan praktik kanibalisme Aztec di Meksiko kuno. Bagi banyak orang, itu mistik sekaligus kejam. Tetapi Harris membaca logika material di baliknya. Masyarakat Aztec hidup di wilayah miskin protein, sehingga daging manusia yang dikorbankan dalam ritual menjadi “sumber gizi” yang tak tergantikan. Penjelasan ini memang kontroversial, tetapi justru di situlah letak keseruan antropologi ia berusaha menemukan logika rasional di balik perilaku yang pada pandangan pertama tampak irasional.
Dari contoh Harris kita belajar, antropologi tidak sekadar mencatat tradisi aneh atau kebiasaan unik suatu masyarakat. Lebih dari itu, ia mengajak kita untuk menyingkap “mengapa” di balik sebuah tindakan, dan memahami cara pikir manusia dari dalam budayanya sendiri.
Membaca Dunia dengan Kacamata Antropologi
Apa itu antropologi?, Sebagian orang mungkin akan salah menebak. Ada yang mengira antropologi itu ilmu tentang bintang-bintang, padahal itu astronomi. Ada juga yang menganggapnya sama dengan arkeologi, karena sama-sama bicara soal manusia dan masa lalu. Bahkan ada yang berpikir antropologi hanyalah catatan usang tentang suku-suku primitif di pedalaman. Semua tebakan itu tidak sepenuhnya keliru, tapi jelas tidak tepat.
Antropologi bukan astronomi, bukan pula sekadar arkeologi. Antropologi adalah ilmu yang jauh lebih dekat dengan keseharian kita, bahkan ketika kita tidak menyadarinya. Ia menelisik hal-hal sederhana cara kita makan, berpakaian, menyapa orang, atau menggelar pesta. Tetapi di balik kesederhanaan itu, ia justru menguak pertanyaan-pertanyaan besar tentang manusia. Mengapa kita percaya pada Tuhan dengan cara yang berbeda? Mengapa satu masyarakat menganggap babi haram, sementara masyarakat lain menjadikannya santapan pesta? Mengapa sapi bisa disucikan di India, tapi di tempat lain hanya dianggap daging di piring makan?
Inilah yang membuat antropologi berbeda dari ilmu lain. Ia tidak hanya melihat manusia dari luar, tetapi membongkar lapisan makna yang tersembunyi di balik kebiasaan, simbol, dan keyakinan. Antropologi mengajarkan kita untuk tidak cepat-cepat menilai “aneh” atau “normal,” karena setiap budaya punya logikanya sendiri. Dengan kata lain, antropologi adalah ilmu tentang manusia dalam kebudayaan. Ia adalah cermin yang menelanjangi kita, memperlihatkan bahwa yang kita sebut wajar, sopan, atau suci, seringkali hanyalah produk sejarah, kekuasaan, dan kesepakatan sosial.
Sejarah antropologi tidak bisa dilepaskan dari kolonialisme. Pada abad ke-16 hingga ke-18, bangsa-bangsa Eropa berlayar ke Asia, Afrika, dan Amerika. Mereka berjumpa dengan masyarakat yang cara hidupnya sama sekali berbeda dari kebiasaan mereka. Koentjaraningrat menulis bahwa “catatan-catatan para pelaut, pedagang, dan misionaris Eropa tentang adat istiadat bangsa-bangsa di luar Eropa merupakan bahan pertama yang kelak berkembang menjadi ilmu antropologi” (Koentjaraningrat, 2009: 12).
Ketika orang Belanda, Portugis, dan Inggris singgah di Nusantara, mereka tidak hanya berdagang atau menyebarkan agama, tetapi juga menulis laporan-laporan tentang penduduk yang mereka temui. Mereka mencatat cara berpakaian, upacara keagamaan, hingga kebiasaan makan yang bagi orang Eropa tampak “aneh.” Koentjaraningrat bahkan menegaskan bahwa “semua hal yang pada waktu itu dianggap aneh dan eksotis, kemudian dicatat dengan teliti, meskipun sering tanpa pengertian yang mendalam tentang maknanya” (Koentjaraningrat, 2009: 13).
Catatan-catatan awal ini tentu saja penuh bias kolonial. Orang Eropa menilai kebudayaan Nusantara dengan kacamata mereka sendiri yang tidak sesuai dengan ukuran Eropa dianggap primitif, mistik, atau bahkan irasional. Namun justru dari catatan itulah cikal-bakal antropologi lahir. Apa yang awalnya sekadar laporan perjalanan berkembang menjadi disiplin ilmu yang berusaha memahami rasionalitas di balik kebiasaan yang tampak ganjil.
Dan di sinilah letak daya tarik antropologi. Ia tidak berhenti pada permukaan apa yang terlihat aneh atau eksotis tetapi berusaha menyingkap logika sosial, ekonomi, dan politik yang tersembunyi di balik kebudayaan. Itulah sebabnya pertanyaan sederhana seperti, “Mengapa pemeluk Hindu di India tidak boleh memakan sapi? Mengapa orang Yahudi dan Muslim mengharamkan babi, sementara orang Maring di New Guinea justru menjadikan babi sebagai pusat kehidupan sosial?” hanya bisa dijawab dengan melihat manusia sebagai makhluk budaya, bukan sekadar pemeluk aturan dogmatis.
Antropologi lahir dari rasa heran kolonial, lalu berkembang menjadi disiplin kritis yang justru menantang kita untuk memahami “yang lain” tanpa merendahkannya. Dari sanalah kita belajar bahwa kebudayaan bukan sekadar adat istiadat, melainkan cermin logika hidup manusia yang paling dalam.
Antropologi itu ilmu yang sangat seru, karena selalu mengajak kita melihat yang biasa dengan cara yang tidak biasa. Franz Boas, bapak antropologi Amerika, pernah meneliti masyarakat Inuit. Ia menemukan bahwa bahasa mereka memiliki belasan istilah berbeda untuk menyebut “salju.” Bagi kita cukup satu kata. Namun bagi Inuit, membedakan jenis salju adalah kunci keselamatan. Dari sana lahir gagasan cultural relativism, setiap budaya harus dipahami dari kerangka masyarakatnya sendiri, bukan dengan ukuran luar.
Margaret Mead menantang anggapan universal tentang masa remaja. Di Amerika, pubertas dianggap masa penuh konflik. Tetapi penelitian Mead di Samoa menunjukkan hal sebaliknya. Remaja di sana lebih santai, lebih cair dalam relasi sosial. Temuan ini menggemparkan dunia Barat, sebab memperlihatkan bahwa banyak hal yang dianggap “alami” ternyata hanyalah hasil budaya.
Clifford Geertz, yang lama meneliti di Indonesia, memberi contoh lebih dekat. Ia menafsirkan sabung ayam di Bali sebagai deep play sebuah pertaruhan simbolis yang sarat makna tentang status sosial, harga diri, dan hubungan antarkelompok. Sabung ayam, yang bagi sebagian orang hanyalah hiburan, ternyata mencerminkan struktur sosial yang kompleks.
Semua gagasan itu menjadi lebih menarik ketika kita menengok Indonesia. Negeri ini adalah laboratorium antropologi terbesar, ada ratusan etnis, bahasa, dan adat hidup berdampingan. Koentjaraningrat, pelopor antropologi Indonesia, pernah meneliti praktik gotong royong di desa-desa Jawa. Ia menunjukkan bagaimana kerja sama kolektif bukan sekadar membantu tetangga, tetapi bagian dari sistem sosial yang menjamin kohesi masyarakat.
James T. Siegel, antropolog Amerika, menulis tentang masyarakat Aceh di tengah konflik politik. Ia memperlihatkan bagaimana bahasa, ritual, dan narasi sehari-hari mencerminkan ketegangan antara kekuasaan dan rakyat. Sementara di Maluku dan Papua, banyak penelitian mutakhir menunjukkan bagaimana masyarakat berhadapan dengan tambang, migrasi, dan modernisasi. Ada yang kehilangan tanah adat, ada pula yang menemukan cara baru untuk bertahan hidup. Semua ini menegaskan bahwa antropologi bukan ilmu kuno di perpustakaan, tetapi jendela memahami dunia di sekitar kita.
Relevansi dan Serunya Belajar Antropologi Hari Ini
Di tengah masyarakat Indonesia yang majemuk, antropologi penting bukan hanya untuk akademisi, tetapi untuk siapa saja. Guru yang memahami latar budaya muridnya bisa mengajar lebih efektif. Dokter yang peka pada kearifan lokal lebih mudah memberi penyuluhan kesehatan. Pemimpin yang mengerti keragaman lebih bijak dalam merancang kebijakan.
Serunya belajar antropologi adalah keberanian untuk selalu bertanya, mengapa orang hidup dengan cara tertentu? Dari Harris yang provokatif soal sapi India, Boas yang menyingkap relativitas budaya, Mead yang mengguncang mitos masa remaja, hingga Geertz yang membaca makna sabung ayam Bali semua memberi pesan yang sama, manusia selalu lebih menarik daripada yang tampak di permukaan.
Antropologi bukan cuma bicara adat dan tradisi, tapi juga bagaimana manusia modern menyikapi energi terbarukan, plastik sekali pakai, hingga isu makanan berkelanjutan. Dari pasar tradisional sampai dunia digital, ada narasi perempuan yang sering dipinggirkan. Antropologi feminis membuat kita sadar, urusan tambang bukan hanya ekonomi, tapi juga tubuh perempuan yang menanggung polusi, kerja ganda, hingga beban sosial.
Ditambah lagi dengan fenomena teknologi hari ini mulai dari AI, robot, metaverse. Antropologi digital hadir untuk membaca bagaimana manusia membentuk komunitas baru di dunia maya, membangun identitas virtual, bahkan jatuh cinta lewat aplikasi kencan. Menariknya, manusia tetap sama, penuh simbol, makna, dan ritual. Jadi, antropologi itu seru karena selalu berada di garis depan membaca perubahan zaman.
Antropologi bukan sekadar ilmu. Ia adalah cermin untuk melihat diri, sekaligus jendela untuk memahami dunia. Dan mungkin di situlah letak keseruan terbesar, bahwa untuk memahami orang lain, kita sekaligus sedang memahami diri kita sendiri. (*)