Oleh: Riyanto Basahona
Ketua FKPI Mahasiswa Pascasarjana IAIN Ternate
__________________
BELAKANGAN ini, ruang publik kita dipenuhi dengan berita yang membuat hati rakyat semakin perih. Di berbagai media sosial maupun pemberitaan nasional, para pejabat publik mulai dari DPR, menteri, hingga presiden mempertontonkan sikap dan narasi yang jauh dari semangat melayani rakyat. Mereka seakan lupa bahwa kekuasaan yang mereka nikmati hari ini datang dari suara rakyat, dan beban pajak rakyatlah yang menghidupi mereka.
Pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang menyiratkan guru dan dosen sebagai beban negara, jelas melukai hati masyarakat. Padahal guru dan dosen adalah ujung tombak pendidikan, orang-orang yang mendidik generasi bangsa dengan kerja keras, bahkan sering kali dengan fasilitas yang minim. Sementara itu, anggota DPR dengan santainya mengeluh soal gaji dan tunjangan yang jumlahnya fantastis. Uya Kuya menyebut gaji Rp 3 juta per hari tidak cukup, Sahroni menolak kritik rakyat dengan kata-kata kasar, sementara Nafa Urbach membela tunjangan Rp 50 juta sebagai “kompensasi”. Semua ini bukan sekadar ucapan, tapi potret betapa jauhnya pejabat dari penderitaan rakyat.
Rakyat setiap hari dipaksa taat membayar pajak. Pajak dari pedagang kecil, tukang ojek online, nelayan, buruh, hingga karyawan biasa, semuanya masuk ke kas negara. Idealnya, pajak itu digunakan kembali untuk kepentingan rakyat: kesehatan, pendidikan, subsidi, dan pembangunan yang adil. Namun yang kita saksikan justru sebaliknya. Pajak rakyat seakan jadi sumber pembiayaan hidup mewah para pejabat yang semakin tidak berguna. Mereka bisa berpesta, mendapatkan tunjangan besar, sementara rakyat yang membayar pajak harus berjuang mati-matian hanya untuk makan sehari-hari.
Kalau mau jujur, kerja guru dan dosen jauh lebih berat daripada anggota DPR. Guru harus mengajar berjam-jam, menyiapkan materi, menghadapi siswa yang beragam, bahkan membawa pulang beban administrasi yang menumpuk. Dosen harus meneliti, menulis, membimbing mahasiswa, dan melaksanakan pengabdian. Gaji mereka kecil, bahkan sering kali jauh dari layak. Namun mereka tetap bertahan, bekerja dengan ikhlas, tidak pernah mengeluh di ruang publik. Bandingkan dengan anggota DPR yang hanya hadir rapat beberapa jam, kadang malah tertidur, atau malah berjoget di ruang sidang, tetapi mereka masih bisa mengeluh bahwa gaji besar mereka tidak cukup. Bukankah ini sebuah ironi yang menyakitkan?
Di tengah kondisi ini, tidak heran jika rakyat marah. Kenaikan pajak yang membabi buta, kebijakan yang tidak berpihak, hingga kesombongan pejabat yang terang-terangan meremehkan rakyat, semua menjadi bahan bakar kemarahan. Ketika ada gedung DPR yang terbakar, dengan mudah pejabat menyebut itu sebagai tindakan anarkis. Benar, membakar gedung bukanlah perbuatan yang dibenarkan. Tetapi bukankah aksi itu justru tanda bahwa rakyat sudah tidak tahan lagi? Rakyat marah bukan karena provokasi, tapi karena mereka memang dibuat marah.
Di saat rakyat menjerit, Presiden Prabowo justru memilih diam. Tidak ada langkah cepat, tidak ada kata penenang. Yang ada justru perayaan di depan Istana, diiringi joget para menteri saat HUT ke-80 Republik Indonesia. Inilah wajah kepemimpinan kita: pemimpin yang lebih memilih berpesta ketimbang merasakan penderitaan rakyatnya. Dan ketika kritik semakin keras, keluar lagi narasi lama: rakyat ditunggangi, ada provokator, ada pihak ketiga. Seakan-akan rakyat tidak punya hati nurani, seakan-akan suara marah rakyat tidak mungkin lahir dari rasa sakit yang nyata.
Yang lebih menyedihkan, masih ada tokoh-tokoh yang membela pejabat. Ada ustaz yang menyalahkan rakyat dengan berkata, “Perbaiki sholat, jangan marah.” Padahal menegakkan keadilan adalah bagian dari sholat itu sendiri. Ada anggota DPR yang menyebut membandingkan gaji mereka dengan tukang becak atau buruh sebagai sesat logika. Padahal justru rakyat kecil itulah yang menanggung beban negeri ini. Semua ini adalah bukti betapa jauhnya elit negeri dari nurani dan realita.
Jika hatimu bergetar melihat ketidakadilan ini, maka kita adalah kawan. Karena sahabat sejati bukan hanya mereka yang hadir di kala suka cita, tetapi mereka yang berani berdiri bersama melawan kezaliman. Kita tidak sedang membenci negeri ini, justru karena cinta kita bersuara. Rakyat membayar pajak bukan untuk menghidupi kemewahan pejabat, melainkan untuk kesejahteraan bangsa. Dan jika hari ini rakyat marah, itu bukan karena mereka kehilangan akal, melainkan karena mereka masih punya hati. (*)