Oleh: Sibanxy
__________________
DI zaman yang semakin canggih, ketika segala informasi dapat diakses dengan mudah melalui jejaring sosial dan teknologi digital, perempuan dan anak justru menghadapi ancaman serius akibat penyalahgunaan data serta informasi di ruang siber yang kian tak terkendali. Ruang maya telah menjadi lahan subur bagi kekerasan verbal, eksploitasi seksual, hoaks, hingga pelanggaran privasi, sehingga mendesak agar negara hadir dengan jaminan perlindungan siber yang nyata.
Ancaman Digital yang Mengintai
Menurut Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), media sosial kini menjadi salah satu sumber utama kekerasan terhadap perempuan dan anak. Konten diskriminatif, ujaran kebencian, hingga kekerasan seksual daring marak tersebar tanpa kontrol signifikan. Dalam satu tahun, Kominfo mencatat lebih dari 1.147.128 konten pornografi terdeteksi namun upaya pemblokiran selalu tertinggal dari kecepatan penyebaran konten tersebut. sepanjang tahun 2024 kasus Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) mencapai 1.791 kasus yang melibatkan perempuan melonjak 48% dari tahun sebelumnya. Selain itu, selama periode 2021-2023 laporan terkait kasus ekploitasi anak tercatat 431 kasus. Sementara itu, maraknya hoaks terutama tentang penculikan anak yang menyebar cepat via Whatsapp, Facebook, dan TikTok sempat memicu panik massal. Puncak Penyebaran dari rumor fiktif membuat masyarakat melakukan tindakan linch mobs hingga tewas, seperti yang terjadi di Wamena dan Sorong. Salah satu peristiwa yang menjadi viral dan mencerminkan betapa rapuhnya anak-anak dalam unggahan video di media sosial Facebook dengan nama akun “Icha Shakila”. Dalam video memperlihatkan seorang anak yang berusia 5 tahun yang dicabuli oleh ibu kandungnya sendiri dengan iming-iming uang 15 juta, video tersebut menyebar luas dan langsung memicu kecaman negara. Kementerian PPPA merespons dengan meminta peningkatan literasi digital masyarakat sebagai kunci utama pencegahan. Kasus viral ini membuka mata banyak pihak bahwa meski konten kriminal itu cepat tersebar, respons negara terhadap kasus seperti ini masih bersifat reaktif dan belum sistemik.
Upaya Negara: Regulasi sebagai Benteng Perlindungan Cyber
Pemerintah tak tinggal diam. Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 2025 atau dikenal sebagai PP TUNAS, yang mewajibkan operator sistem elektronik (PSE) memberlakukan perlindungan terhadap anak di ruang digital. Poin penting dari PP tersebut, yaitu:
1. Anak di bawah usia 13 tahun tidak boleh membuat akun digital tanpa persetujuan orang tua.
2. Anak usia 13–17 tahun harus didampingi dan diawasi dalam penggunaan platform digital.
3. Operator platform wajib memberi pendidikan literasi digital kepada anak dan orang tua, tidak boleh mengeksploitasi anak demi komersial, dan harus lakukan impact assessment atas produk yang dapat diakses anak.
4. Jika terjadi pelanggaran, operator bisa dikenai sanksi administratif, hingga pemutusan akses layanan.
Seiring dengan itu, pemerintah juga sedang merumuskan regulasi yang menetapkan batasan usia minimum pengguna media sosial, sebuah langkah preventif yang diharapkan menjadi payung hukum kuat melindungi anak-anak.
Kenapa Jaminan Negara Diperlukan?
1. Ruang Siber yang Tidak Ramah, Tanpa pengawasan dan regulasi yang kuat, perempuan dan anak makin sering menjadi korban perundungan digital, eksploitasi, atau pelanggaran privasi.
2. Kelambanan Penegakan Hukum, Hukum masih sulit mengejar cepatnya penyebaran konten, apalagi jika belum viral. Ada istilah “no viral no justice“: kasus baru ditindak jika viral duluan.
3. Peran Negara sebagai Penjamin, Negara berperan penting dalam memastikan literasi digital, kontrol konten, perlindungan data pribadi, dan menuntaskan regulasi yang responsif terhadap kebutuhan psikologis dan sosial.
Namun, semua regulasi yang dikeluarkan pemerintah tidak menjamin keamanan terhadap ibu dan anak di media sosial, bahkan pelaku cenderung tidak takut terhadap hukuman yang ada. Bahkan beberapa kasus dengan orang yang sama melakukan kejahatan yang sama, ini membuktikan bahwa solusi yang ditawarkan oleh sistem sekarang tidak membuat jerah, justru semakin menjadi-jadi. Lantas apa solusi yang tepat?
Hakikat Perlindungan Dalam Islam
Dalam Islam, perempuan dan anak merupakan kelompok yang sangat dijaga kehormatannya. Al-Qur’an menyebutkan, “ Dan janganlah kamu mendekati perbuatan keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi” (Q.S Al-An’am: 151). Ini mencakup seluruh bentuk kekerasan, pelecahan, maupun eksploitasi, baik di dunia nyata maupun ruang lingkup digital. Sistem Islam sebagai kepemimpinan Islam universal menempatkan negara sebagai ra’in (pengurus rakyat) sekaligus mas’ul (penanggung jawab dihadapan Allah SWT). Artinya, negara tidak hanya membuat aturan formal, tetapi juga memastikan setiap warganya – khususnya perempuan dan anak, mendapatkan jaminan keamanan dari berbagai ancaman, termasuk di ruang siber. Perlindungan ini merupakan amanah syariat yang wajib ditegakkan oleh khalifah beserta seluruh perangkatnya.
Regulasi dan Penegakan Hukum
Khilafah menetapkan aturan tegas berbasis syariat: pornografi, perjudian, grooming, cyberbullying, atau penyebaran konten intim dilarang total. Akses internet difilter ketat sehingga hanya konten halal dan bermanfaat yang beredar. Pelaku pelanggaran akan dikenai hukun syar’i, seperti ta’zir untuk memberikan efek jera. Sehingga penggunaan ruang digital aman terutama bagi perempuan dan anak.
Pendidikan dan Literasi Digital
Selain aturan, khilafah membangun kepribadian Islam melalui pendidikan. Dimana, anak-anak diajarkan teknologi sejak dini dengan diimbangi akidah, akhlak, dan fiqih. Perempuan merupakan ummu warabbatul bait (ibu madrasah pertama), Perempuan diberdayakan sebagai pendidik generasi agar mampu membimbing anak menghadapi tantangan digital dengan iman. Literasi bukan hanya soal keterampilan teknis, tetapi juga kemampuan membedakan halal-haram dalam aktivis online.
Infrastruktur dan Pengawasan
Khilafah menguasai penuh infrastruktur digital-server, pusat data, hingga media sosial strategis-agar tidak tunduk pada kepentingan asing. Negara membangun mekanisme pengawasan konten yang independen dan sesuai syariat, serta menyediakan jalur pengaduan ramah anak dan perempuan. Setiap laporan pelecehan atau perundungan online ditangani cepat melalui aparat dan pengadilan syariah. Teknologi juga dikembangkan untuk deteksi otomatis konten berbahaya tanpa melanggar prinsip privasi Islam. Wallahu a’lam bishawab. (*)