Oleh: Fahri Sibua
Mahasiswa Pascasarjana Akuntansi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
_______________
MOROTAI memiliki potensi untuk menjadikan kelapa bido sebagai motor perekonomian daerah yang tidak hanya menimbang aspek produksi mentah, tetapi juga memikirkan rantai nilai yang lebih luas, integrasi dengan sektor pariwisata, serta peluang peningkatan pendapatan asli daerah. Namun, potensi ini tidak lahir dari ruang kosong; ia tumbuh dari realitas lapangan yang memerlukan tata kelola publik yang cermat, kapasitas kelembagaan yang memadai, dan komitmen untuk membangun ekosistem ekonomi yang adil bagi seluruh warga Morotai. Kelapa Bido dipandang sebagai aset regional yang berpotensi meningkatkan pendapatan rumah tangga petani, memperluas lapangan kerja, dan mendorong investasi berkelanjutan di sektor pertanian serta hilirisasi produk kelapa. Potensi ini menuntut perencanaan yang terukur agar manfaatnya tidak terperangkap dari satu sisi kepentingan, melainkan tersebar secara adil di berbagai lapisan komunitas.
Keberhasilan inisiatif Pemda Morotai untuk menjadikan kelapa bido sebagai sumber pendapatan daerah menuntut perumusan langkah-langkah strategis yang jelas bagi pemerintah daerah. Pertama, diperlukan penguatan kelembagaan dengan pembentukan unit atau badan lintas sektor yang memiliki mandat tegas dalam perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi program. Skema kelembagaan ini penting agar koordinasi antara dinas pertanian, perekonomian, lingkungan hidup, pariwisata, serta institusi pendanaan dapat berjalan mulus, tanpa tumpang tindih atau kebingungan hak akses.
Kedua, perlu ada desain keuangan yang transparan dan akuntabel, mencakup skema pembiayaan campuran antara APBD, anggaran nasional, dan arus kemitraan publik–swasta. Model pembiayaan semacam itu harus diiringi mekanisme pelaporan berkala, audit independen, serta partisipasi publik untuk memastikan bahwa alokasi sumber daya benar-benar mendukung tujuan peningkatan kesejahteraan masyarakat secara luas, bukan sekadar memenuhi target fiskal semata.
Pembentukan kebijakan mengenai distribusi manfaat perlu menekankan keadilan sosial dan inklusivitas. Kebijakan tersebut harus menjamin akses yang setara bagi petani kecil, kelompok tani, serta pelaku UMKM lokal untuk memperoleh bibit unggul, pelatihan teknis budidaya dan pengolahan, serta peluang usaha di hilir seperti pengemasan, pemasaran, dan ekspor produk olahan kelapa bido. Penetapan hak atas inovasi varietas lokal serta perlindungan kekayaan intelektual relevan, misalnya melalui potensi pendaftaran identitas geografis, perlu dilihat sebagai sarana untuk meningkatkan nilai tambah tanpa mengorbankan akses komunitas terhadap manfaat ekonomi. Oleh karena itu, partisipasi warga sejak tahapan perencanaan hingga evaluasi menjadi elemen krusial, bukan sekadar formalitas, agar transparansi dan akuntabilitas tercapai dalam praktik nyata.
Tantangan lingkungan dan pasar juga tidak bisa diabaikan dalam kebijakan ini. Perubahan iklim, cuaca ekstrem, serta volatilitas harga komoditas kelapa dapat mengganggu stabilitas produksi dan pendapatan daerah. Oleh sebabnya, diperlukan adaptasi kebijakan yang responsif terhadap dinamika lingkungan, dengan menerapkan praktik budidaya berkelanjutan, konservasi sumber daya hayati, serta program asuransi atau jaminan pendapatan bagi petani. Di sisi lain, pasar nasional maupun internasional menuntut produk kelapa bido yang memenuhi standar kualitas konsisten, dengan dukungan teknis untuk peningkatan kapasitas produksi olahan, manajemen rantai pasok, dan strategi pemasaran yang efisien.
Kemudian, integrasi dengan sektor pariwisata, misalnya melalui agrowisata kelapa bido, dapat memperluas peluang pendapatan daerah, tetapi juga menuntut tata kelola pariwisata yang sehat agar dampak sosial–lingkungan tetap positif dan berkelanjutan.
Dalam Upaya branding dan identifikasi geografis dapat menjadi pendorong nilai tambah yang signifikan jika dilakukan secara inklusif. Identitas geografis tidak hanya meningkatkan kepercayaan pasar terhadap keaslian produk, namun juga memacu pelibatan komunitas lokal dalam berbagai aktivitas ekonomi yang terkait. Namun, prosesnya memerlukan konsultasi publik yang berkelanjutan, studi kelayakan hukum, serta dukungan kelembagaan untuk menjaga kualitas dan kesinambungan produksi. Keterlibatan pelaku industri nasional dalam hal transfer teknologi, pembiayaan, dan akses pasar bisa menjadi pendorong utama, asalkan dilakukan dengan mekanisme yang adil dan transparan sehingga komunitas Morotai tidak kehilangan kendali atas produksi dan manfaat ekonominya.
Pertimbangan teknis dan ekonomi, inti kebijakan harus menempatkan manusia sebagai pusat pembangunan.
Program Kelapa Bido seharusnya tidak dipandang sekadar sebagai proyek agribisnis, melainkan sebagai upaya membangun kapasitas komunitas untuk bertahan hidup dan berkembang dalam lanskap ekonomi yang terus berubah. Ini berarti program harus membuka peluang pendidikan dan pelatihan bagi generasi muda, menyediakan akses ke informasi pasar, serta memastikan bahwa keuntungan yang dihasilkan di kanal hilir bukan hanya dinikmati oleh segelintir pihak. Partisipasi warga, akuntabilitas institusi, dan tata kelola keuangan yang jelas menjadi penyangga utama agar program ini tidak hanya memberi efek jangka pendek, tetapi juga membentuk fondasi ekonomi daerah yang tahan banting di masa depan.
Kebijakan Pemda Morotai terkait kelapa bido perlu sensitif terhadap dinamika politik, ekonomi, dan sosial yang terus berkembang. Oleh karena itu, diperlukan evaluasi berkala terhadap dampak kebijakan tersebut terhadap kesejahteraan masyarakat serta lingkungan. Penilaian ini sebaiknya mencakup pembacaan ulang target produksi, keseimbangan antara nilai tambah di tingkat lokal maupun luar daerah, serta indeks kepuasan warga terhadap partisipasi publik dalam proses perencanaan dan pelaksanaan. Dengan pendekatan evaluasi yang transformatif, kebijakan bisa menyesuaikan arah untuk memperbaiki ketimpangan distribusi manfaat, memperkuat kualitas produk, dan memastikan bahwa kelapa bido menjadi sumber pendapatan daerah yang tidak hanya menguntungkan dari sisi angka, tetapi juga membawa makna sosial yang luas dan berkelanjutan bagi Morotai.
Kelapa Bido Morotai berpotensi menjadi inisiatif pembangunan ekonomi daerah yang penting jika diracik dengan tata kelola yang kuat, pembiayaan yang transparan, perlindungan hak atas inovasi varietas, serta kemitraan yang adil antara warga, pemerintah, dan sektor swasta. Kebijakan seperti ini menuntut komitmen jangka panjang untuk menjaga integritas proses, memastikan distribusi manfaat yang adil, dan menjaga kelestarian lingkungan, sehingga Morotai tidak hanya meraih peningkatan angka APBD tetapi juga peningkatan kesejahteraan nyata bagi seluruh komunitasnya. (*)
