Oleh: M Sudarwin Hasyim. ST., MT
Dosen Teknik Sipil Universitas Bumi Hijrah Tidore (Sementara melanjutkan Program Doktor Ilmu Teknik Sipil (Manajemen Konstruksi) Universitas Brawijaya Malang)
_________________
MALUKU sebuah provinsi yang dikenal sebagai “Bumi Rempah”, kini berada di persimpangan jalan antara ambisi pembangunan nasional dan realitas geografis serta sosial-budaya lokal. Di satu sisi, Proyek Strategis Nasional (PSN) yang didorong oleh pemerintah pusat, seperti pembangunan infrastruktur jalan dan bendungan oleh Balai Pelaksana Jalan Nasional (BPJN) dan Balai Wilayah Sungai (BWS), menjanjikan pertumbuhan ekonomi yang pesat. Di sisi lain, proyek prioritas daerah yang diinisiasi oleh Gubernur Sherly Tjoanda, seperti pembangunan Trans Jalan Halmahera dan Bandara Loleo, berusaha mengatasi masalah konektivitas yang menjadi keluhan utama masyarakat.
Maluku Utara juga memiliki posisi geografis yang sangat strategis dalam konteks Proyek Strategis Nasional. Dengan potensi sumber daya alam yang melimpah, terutama nikel, dan posisinya di jalur perdagangan internasional, provinsi ini menjadi jalur kunci dalam: Penguatan ekonomi nasional melalui industri hilirisasi mineral, peningkatan konektivitas Indonesia Timur, ketahanan energi dan pangan nasional dan penguatan posisi geopolitik Indonesia di kawasan Asia Pasifik.
Sebagai putra daerah yang mendalami manajemen konstruksi, saya melihat fenomena ini dari dua sisi: potensi sinergi yang dapat mendorong kemajuan pesat, dan risiko konflik yang dapat menghambat pembangunan berkelanjutan. Pertanyaannya adalah, sejauh mana harmonisasi antara agenda pusat dan daerah ini dapat terwujud di tengah lanskap geografis yang menantang dan kompleksitas sosial-budaya yang unik?
Infrastruktur adalah katalisator utama pembangunan. Susiwijono Moegiarso, Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, menekankan pentingnya evaluasi periodik PSN untuk memastikan proyek berjalan sesuai target, terutama di daerah seperti Maluku Utara. Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa proyek-proyek ini sering kali menghadapi kendala serius.
BPJN Maluku Utara, misalnya, menghadapi tantangan berat dalam membangun dan meningkatkan kualitas jalan di wilayah kepulauan yang tersebar. Demikian pula BWS yang mengelola sumber daya air, di mana kondisi geografis memengaruhi efektivitas proyek irigasi dan air bersih. Sementara itu, proyek prioritas daerah yang digagas Gubernur Sherly Tjoanda, seperti Trans Jalan Halmahera, meskipun didukung APBD dan APBN, tetap menghadapi tantangan pembebasan lahan yang bisa memicu konflik sosial.
Di sinilah letak dilemanya. Pemerintah pusat mungkin melihat proyek-proyek ini sebagai bagian dari strategi besar untuk menunjang kawasan industri nikel di Weda, namun masyarakat lokal, yang diwakili oleh pemerintah daerah, justru memprioritaskan konektivitas antar-pulau dan antar-wilayah untuk mengatasi keterisolasian. Jika kedua visi ini tidak diselaraskan, potensi sinergi akan hilang dan yang tersisa hanyalah gesekan kepentingan.
Pengalaman di berbagai daerah menunjukkan bahwa PSN sering kali diiringi dengan konflik agraria, pelanggaran hak asasi manusia, dan kerusakan lingkungan. Meskipun pembangunan membawa manfaat ekonomi, dampak negatifnya bisa jauh lebih merugikan jika tidak dikelola dengan baik. Akademisi Universitas Andalas Prof. Ir. Rudi Febriamansyah (2024), bahkan mengkritik bahwa relasi yang kuat antara penguasa dan pengusaha sering kali menjadi faktor penentu dalam pelaksanaan PSN, yang sering mengabaikan kepentingan rakyat.
Di Maluku Utara, industrialisasi masif terkait nikel telah mengubah lanskap sosial dan budaya secara fundamental. Masuknya tenaga kerja dari luar daerah berpotensi mengikis budaya lokal dan menimbulkan konflik sosial jika tidak diintegrasikan dengan baik. Dalam konteks ini, proyek Trans Halmahera dan Bandara Loleo, meskipun bertujuan baik, harus diwaspadai agar tidak menjadi alat untuk mempercepat eksploitasi sumber daya alam tanpa mempertimbangkan kelestarian lingkungan dan kearifan local. Menurut Prof. Dr. H. Rizal Djalil (2017) dari pembangunan infrastruktur seharusnya bisa dinikmati oleh “wong cilik”. Hal ini penting karena sebagian besar masyarakat Indonesia masih berpenghasilan rendah.
Untuk menciptakan harmonisasi antara PSN dan proyek prioritas daerah, diperlukan pendekatan yang holistik, partisipatif, dan berkeadilan. Berikut adalah beberapa langkah yang dapat dipertimbangkan:
1. Sinergi dan Koordinasi yang Lebih Kuat: Mendorong koordinasi yang lebih intensif antara BPJN, BWS, dan Pemerintah Provinsi Maluku Utara. Proyek PSN seharusnya tidak hanya berfokus pada skala nasional, tetapi juga terintegrasi dengan kebutuhan konektivitas regional yang menjadi prioritas daerah.
2. Partisipasi Publik dan Keadilan: Melibatkan masyarakat lokal secara aktif dalam setiap tahapan proyek, mulai dari perencanaan hingga evaluasi. Hal ini sejalan dengan pandangan lembaga riset dan akademisi IPDN yang menekankan pentingnya partisipasi dan keadilan dalam mencegah konflik. Konflik agraria harus diselesaikan secara adil, tidak dengan cara-cara yang represif.
3. Pengawasan Independen dan Transparansi: Mengaktifkan peran masyarakat sipil, akademisi, dan media lokal dalam mengawasi pelaksanaan proyek. Transparansi dalam anggaran dan proses tender menjadi kunci untuk mencegah korupsi dan memastikan proyek berjalan sesuai rencana.
4. Keadilan Fiskal dan Lingkungan: Memperjuangkan keadilan fiskal terkait dana bagi hasil dari sektor pertambangan nikel, seperti yang dicanangkan Gubernur Sherly Tjoanda. Dana tersebut harus digunakan untuk memitigasi dampak lingkungan dan mendorong diversifikasi ekonomi pasca-nikel. Pembangunan juga harus berorientasi pada keberlanjutan lingkungan, bukan hanya pertumbuhan ekonomi jangka pendek.
5. Pendekatan Pembangunan Kepulauan: Menerapkan pendekatan pembangunan yang sesuai dengan kondisi geografis Maluku Utara sebagai provinsi kepulauan, bukan hanya berfokus pada pembangunan berbasis daratan. Seperti yang disarankan oleh jurnal Lemhannas, pembangunan daerah kepulauan memerlukan regulasi dan strategi yang mengakomodasi konektivitas antar-pulau.
Harmonisasi antara Proyek Strategis Nasional (PSN) dan proyek prioritas daerah di Maluku Utara menuntut lebih dari sekadar pembangunan fisik; ini adalah ujian nyata bagi sinergi dan keadilan. Kunci keberhasilannya terletak pada kolaborasi yang kuat antara pemerintah pusat (BPJN, BWS) dan pemerintah provinsi, memastikan bahwa PSN terintegrasi dengan kebutuhan konektivitas regional. Tanpa integrasi ini, proyek nasional berisiko mengabaikan prioritas lokal dan hanya menciptakan kesenjangan. PSN merupakan investasi jangka panjang yang strategis untuk membangun fondasi ekonomi yang kuat dan berkelanjutan bagi Indonesia, Implementasi PSN di Maluku Utara tidak hanya akan mengangkat perekonomian lokal, tetapi juga berkontribusi signifikan terhadap visi Indonesia sebagai poros maritim dunia dan pencapaian status negara maju pada tahun 2045.
Pembangunan di Maluku Utara berada di persimpangan antara janji kemajuan dan risiko kerusakan. Di satu sisi, PSN menjanjikan pertumbuhan ekonomi yang pesat, namun seringkali mengabaikan konteks lokal. Di sisi lain, proyek prioritas daerah berusaha menjawab kebutuhan nyata masyarakat, tetapi memerlukan dukungan dan sinergi yang kuat dari pusat.
Sebagai seorang akademisi dan putra daerah, saya menyerukan agar pemerintah, baik di pusat maupun daerah, melihat Maluku Utara sebagai sebuah kesatuan yang utuh, di mana pembangunan harus dilakukan secara holistik, berkeadilan, dan berkelanjutan. Jika sinergi antara PSN dan proyek daerah dapat terwujud, disertai dengan partisipasi aktif dan pengawasan yang ketat, maka “Bumi Rempah” dapat mencapai kemajuan tanpa kehilangan identitas dan kearifan lokalnya. Sebaliknya, jika konflik dan ketidakselarasan terus terjadi, maka pembangunan yang ada hanya akan meninggalkan luka dan paradoks di tengah-tengah kekayaan alam yang melimpah. (*)