Opini  

Wisudawan Maluku Utara: Antara Bonus dan Beban Demografi

Oleh: Riyanto Basahona

____________

DALAM beberapa hari ke depan, Maluku Utara akan menyaksikan ribuan calon sarjana dan magister baru yang lahir dari dua kampus besar: Universitas Khairun Ternate dengan kurang lebih 700 wisudawan pada 27 September, dan IAIN Ternate dengan sekitar 600 wisudawan pada 30 September. Sebuah momentum akademik yang patut dibanggakan, namun sekaligus menimbulkan pertanyaan besar: mau dikemanakan semua lulusan ini?

Realitasnya, ribuan wisudawan yang dihasilkan tiap tahun bukanlah sekadar angka. Mereka adalah potensi sumber daya manusia yang akan menentukan wajah Maluku Utara di masa depan. Tetapi, di sisi lain, mereka juga berpotensi menjadi beban apabila tidak terserap dengan baik di dunia kerja. Faktanya, wisudawan tahun-tahun sebelumnya masih banyak yang diperhadapkan dengan problem klasik: sulitnya memperoleh lapangan pekerjaan yang layak.

Di balik toga yang dikenakan, para wisudawan sejatinya telah memberi kontribusi nyata selama menempuh pendidikan tinggi. Mereka membayar UKT setiap semester, menghidupkan UMKM melalui konsumsi sehari-hari, serta menggerakkan roda ekonomi lokal di sekitar kampus. Dengan kata lain, keberadaan mahasiswa bukan sekadar pencari ilmu, melainkan juga agen pembangunan daerah. Maka pertanyaan yang patut digugat adalah: apa yang sudah disiapkan negara, pemerintah daerah, dan kampus untuk menjamin keberlanjutan hidup para lulusan ini?

Rilis terbaru menyebutkan bahwa Maluku Utara kini mencatat pertumbuhan ekonomi tertinggi di Indonesia, yakni 32,09 persen. Angka ini tentu membanggakan, namun menjadi ironi bila pertumbuhan tersebut tidak mampu menjawab tantangan pengangguran terdidik. Pertumbuhan ekonomi berbasis industri pertambangan dan investasi besar memang mendongkrak angka statistik, tetapi apakah sektor itu cukup ramah bagi para sarjana dan magister lokal? Apakah sektor tersebut menyediakan ruang yang sejalan dengan kompetensi lulusan dari berbagai jurusan di kampus?

Di sinilah letak perdebatan: apakah bonus demografi yang kita miliki akan menjadi berkah, atau justru berubah menjadi beban? Bonus bila lulusan mampu terserap di sektor kerja produktif dan menjadi penggerak pembangunan. Beban bila mereka terjebak dalam lingkaran pengangguran, frustrasi sosial, hingga migrasi tanpa arah.

Kampus tidak bisa lagi hanya berfungsi sebagai pencetak ijazah. Lebih dari itu, kampus harus menyiapkan mahasiswa dengan keterampilan praktis, literasi digital, kemampuan adaptif, serta soft skills yang relevan dengan pasar kerja modern. Kurikulum yang kaku dan hanya berorientasi pada teori sudah saatnya dievaluasi. Begitu pula pemerintah daerah, tidak cukup hanya bangga dengan angka pertumbuhan ekonomi, tetapi harus serius menghubungkan investasi dengan penciptaan lapangan kerja yang sesuai dengan kompetensi lulusan lokal.

Solusinya, setidaknya ada tiga langkah strategis yang perlu dipikirkan:

1. Kolaborasi Kampus-Pemerintah-Swasta

Kampus harus menjalin kerja sama erat dengan pemerintah daerah dan dunia industri, termasuk perusahaan pertambangan yang kini mendominasi ekonomi Maluku Utara. Jurusan-jurusan yang ada perlu di-link-kan dengan kebutuhan sektor tersebut sehingga lulusan tidak teralienasi dari dunia kerja yang ada di daerahnya sendiri.

2. Pusat Karier dan Inkubasi Bisnis

Setiap kampus wajib memperkuat career center dan inkubator bisnis mahasiswa. Wisudawan harus diberi peluang bukan hanya menjadi pencari kerja, tetapi juga pencipta kerja. Inkubator bisnis dapat melahirkan wirausaha baru yang mampu menghidupkan ekonomi lokal, sementara pusat karier menjadi jembatan antara lulusan dengan perusahaan.

3. Kebijakan Afirmasi untuk Tenaga Lokal

Pemerintah daerah perlu menegosiasikan dengan investor agar memprioritaskan tenaga kerja lokal, khususnya lulusan sarjana dan magister. Tanpa kebijakan afirmasi semacam ini, bonus demografi hanya akan jadi angka di atas kertas, sementara lapangan kerja tetap dikuasai oleh tenaga kerja dari luar.

Pada akhirnya, ribuan wisudawan Maluku Utara bukanlah masalah, melainkan peluang. Tetapi peluang itu hanya bisa diwujudkan jika ada keseriusan semua pihak kampus, pemerintah, dan sektor swasta untuk menciptakan ekosistem kerja yang adil dan selaras dengan potensi sumber daya manusia lokal. Pertanyaannya kini tinggal: apakah kita siap menjadikan momentum wisuda ini sebagai pintu menuju bonus demografi, atau justru menambah panjang daftar beban sosial di daerah? (*)