Opini  

Menjaga Identitas Lokal dalam Bingkai Hukum Formal

Oleh: Ardi Turege
Wakil Presiden BEM FH UMMU, Ketua UKM LDRS, Pegiat Law Fighters Comunity

_____________

Katanya hukum itu melindungi tapi realitanya hukum menghabisi, katanya hukum itu memberikan keadilan tapi realitanya hukum jauh dari keadilan itu, katanya rakyat Adalah fondasi dari bangsi ini berdiri tapi sekarang fondasi ini di hancurkan dengan dalih Pembangunan bangsa”.

Perkembangan hukum dan masyarakat Indonesia berubah seiring dengan perkembangan bukan saja tuntutan sosial, budaya, ekonomi dan politik, tetapi juga sistem hukum nasional turut berubah pula. Sejak proklamasi kemerdekaan 17Agustrus 1945, diikuti oleh era pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru, dan masa Reformasi yang mengindikasikan kemerdekaan, namun masyarakat  adat tampak semakin termarjinilisasi Sebutan ’peladang liar’, ’penebang liar’, ’suku terasing’, ’masyarakat terasing’ dan sejenisnya menujukkan nasib masyarakat  adat terpinggirkan tersebut.

Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya akan keanekaragaman budaya, suku, bahasa, dan tradisi. Salah satu unsur penting dari keberagaman ini adalah masyarakat adat. Mereka merupakan kelompok masyarakat yang hidup secara turun-temurun di wilayah tertentu dengan sistem nilai, hukum adat, dan kearifan lokal yang unik.

Namun, meskipun masyarakat adat merupakan bagian penting dari identitas Indonesia, keberadaan dan hak-hak mereka belum sepenuhnya diakui dan dilindungi. Di tengah arus globalisasi dan pembangunan ekonomi yang masif, masyarakat adat justru sering kali menjadi kelompok yang paling terpinggirkan dan menjadi korban dari ganasnya kebijakan pemerintah.

Dalam  Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 “menyatakan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya”. Namun, dalam praktiknya, pengakuan ini masih bersifat terbatas dan tidak merata. Banyak komunitas adat belum diakui secara resmi oleh negara, terutama dalam hal hak atas tanah ulayat. Akibatnya, wilayah adat mereka rentan terhadap perampasan oleh perusahaan tambang, atau proyek infrastruktur.

Ironi Fakta Menunjukan

Wajah Nyata dari Ketertutupan dan Pengabaian :Banyak kasus yang menunjukkan bagaimana masyarakat adat kehilangan hak atas tanah ulayat mereka karena tidak diakui secara hukum formal. Proses sertifikasi tanah yang bersifat individual bertentangan dengan sistem komunal masyarakat adat. Ditambah lagi, kurangnya representasi politik membuat aspirasi mereka jarang terdengar dalam pengambilan kebijakan.

Pengakuan negara juga dapat kita lihat dalam putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012, menyatakan” menegaskan bahwa Hutan Adat adalah hutan hak, bukan hutan negara, sehingga memulihkan hak masyarakat adat untuk mengelola wilayahnya. Tapi hingga 2025, hanya sekitar 2,3 juta hektar wilayah hutan adat yang ditetapkan resmi—jauh dari potensi totalnya yang mencapai lebih dari 10 juta hektar.

Belum lagi : Laporan dari AMAN (Aliansi Masyrakat Adat Nusantara) pada tahun 2025; tercatat lebih dari 2.300 komunitas adat di indonesia yang belum mendapat perlindungan hukum formal. Dapat kita lihat bagaimana 11 Masyarakat Adat sangaji yang ditangkap Ketika memperjuangkan hak-hak atas tanah adat mereka, dengan dalih ketertiban dan keamanan negara.

Hal ini mengindikasikan bahwa negara ini telah lupa, kepada identitas bangsa ini  sendiri.  Jauh sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia ini berdiri atau Merdeka pada tanggal 17 agustus 1945, Plato telah menegaskan bahwa terbentuknya negara dilandasi dengan semangat kebersamaan untuk mencapai tujuan dan keinginan yang beraneka ragam itu, hal ini juga di pakai oleh para the fanding father kita untuk membebaskan bangsa ini dari belenggu Kolonial penjajah.  Namun ironi yang sangat mendalam, masi banyak Masyarakat adat yang hidup dalam perasaan yang tidak Merdeka, memikirkan Nasib meraka terkait wilayah atau tempat tinggal.

Dalam konteks inilah, Negara harus menyadari, mengakui dan membuat satu rekontruksi hukum yang baru, maka  Peraturan Daerah (PERDA) menjadi rekontruksi hukum tersebut, yang  muncul sebagai instrumen penting dalam melindungi dan mengakui keberadaan serta hak-hak masyarakat adat.

Talcott Parsons & Emile Durkheim, menyatakan dalam perspektif teori struktural fungsional, setiap elemen dalam masyarakat memiliki fungsi tertentu dalam menjaga keseimbangan sosial. Masyarakat adat. Dalam hal ini, memiliki fungsi penting dalam menjaga keberlanjutan lingkungan, warisan budaya, dan kestabilan komunitas local, yang telah tumbuh secara turun temurun. Namun, ketika pembangunan hanya berfokus pada pertumbuhan ekonomi dan industrialisasi, menyebabkan hak atas wilayah adat, dan fungsi masyarakat adat tidak lagi dianggap relevan, sehingga mereka dikesampingkan dalam sistem sosial yang lebih luas.

Solusi : Pengaturan Terkait Perlindungan Masyarakat Adat Melalui Peraturan Daerah (PERDA)

Pasal 18 ayat (6) UUD 1945 menyatakan bahwa pemerintah daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. Ini berarti pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk membuat aturan sendiri (peraturan daerah) dan aturan lain yang mendukung pelaksanaan otonomi daerah serta tugas-tugas yang diberikan oleh pemerintah pusat. Oleh karena itu,  dengan menggunakan kewenangan itu  maka perlu Pemerintah Daerah (PEMDA), Bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) membuat satu trobosan hukum atau membuat regulasi terkait perlindungan Masyakat Adat, agar hak-hak atas wilayah, dan hak-hak lain dapat terlindungi, sesuai dengan prinsip penegakan hukum untuk melindungi, dan tujuan dari negara kesatuan Republik Indonesia melindungi segenap bangsa indonesia. Maka dari itu, secepatnya pemerintah daerah dan DPRD membuat regulasi tersebut.

Kewenangan Pemda dalam membuat Perda merupakan salah satu wujud dari pelaksanaan otonomi daerah, yaitu hak dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Peraturan Daerah (Perda) adalah instrumen hukum yang paling tepat dan relevan untuk melindungi masyarakat adat secara konkret di tingkat lokal. Mengapa? Karena masyarakat adat hidup dan berkembang di wilayah tertentu yang bersinggungan langsung dengan kebijakan pemerintah daerah. Pemda harus membuat Perda yang dapat menyesuaikan perlindungan hukum berdasarkan kekhasan budaya dan hukum adat setempat. Karena dengan perda juga akan terpenuhinya   Penguatan  Hak MasyarakatAdat. Melalui Perda, hak atas tanah, hutan, dan wilayah adat dapat diakui dan dilindungi secara formal di negara ini.

John Griffiths,” dalam teori Legal Pluralismmenyatakan bahwa dalam suatu negara dapat hidup lebih dari satu sistem hukum, baik formal (negara) maupun non-formal (adat). Perda yang mengakui hukum adat merupakan bentuk pengakuan atas pluralisme hukum. Negara tidak bisa memaksakan satu sistem hukum tunggal dan mengabaikan sistem hukum yang telah lama hidup di masyarakat adat. “Law is not only what the state says it is.”  John Griffiths.

Teori Pengakuan (Recognition Theory): individu atau kelompok membutuhkan pengakuan untuk membentuk identitas yang utuh dan dihormati dalam masyarakat. Perda yang mengakui keberadaan masyarakat adat merupakan bentuk pengakuan sosial dan politik terhadap eksistensi mereka. Ketika pengakuan ini diberikan, terjadi pemulihan martabat (dignity) dan identitas kolektif yang selama ini terpinggirkan.–( Axel Honneth)

Masyarakat adat bukanlah masa lalu yang harus ditinggalkan, melainkan bagian penting dari identitas bangsa dan keberlanjutan lingkungan. Melupakan mereka berarti mengabaikan keberagaman, keadilan sosial, dan masa depan yang berkelanjutan. Sudah saatnya kita mendengar suara yang selama ini dibungkam, dan memberi tempat yang setara bagi masyarakat adat dalam narasi besar kehidupan berbangsa dan bernegara.

Masyarakat adat bukan hanya bagian dari masa lalu Indonesia, tetapi juga kunci masa depan yang berkelanjutan. Mengabaikan mereka sama saja dengan mengabaikan akar budaya bangsa sendiri. Jika Indonesia ingin maju tanpa kehilangan jati diri, maka melindungi masyarakat adat harus menjadi bagian dari agenda nasional, bukan sekadar wacana. Sudah saatnya Indonesia berdiri sejajar dengan masyarakat adatnya, bukan di atas mereka. (*)