Opini  

Representasi Diri Mahasiswa di Media Sosial: Studi Antropologi tentang Citra dan Eksistensi

Oleh: Juliani M. Kaerasa
Kader GMKI Cabang Ternate

______________

REPRESENTASI diri mahasiswa di media sosial adalah fenomena di mana mahasiswa secara aktif membangun dan menampilkan citra diri melalui berbagai bentuk unggahan di platform seperti Instagram. Studi Antropologis dan Sosiologis menggunakan Teori Dramaturgi Erving Goffman; memandang media sosial sebagai panggung “front stage” di mana mahasiswa menampilkan versi ideal dirinya, sementara sisi pribadi lebih tersembunyi di “back stage”.

Representasi ini melibatkan aspek visual (foto), audiovisual (video), dan naratif (caption), yang dibentuk oleh faktor internal seperti minat, hobi, dan percaya diri serta faktor eksternal seperti pengaruh keluarga, komunitas, dan role model digital.

Penelitian menunjukkan bahwa mahasiswa menggunakan media sosial untuk menegosiasikan antara keaslian pribadi dan ekspektasi publik serta untuk membangun status sosial dalam ruang digital dengan cara yang bisa berbeda dari realitas offline mereka. Banyak mahasiswa yang memodelkan diri seperti selebgram, sosialita, atau motivator, menggunakan simbol visual seperti barang branded, tempat instagramable, dan kalimat bijak agar eksis dan mendapat pengakuan di dunia maya.

Representasi diri ini berperan penting dalam pembentukan identitas dan eksistensi mahasiswa di ranah digital, dengan adanya pemisahan akun utama yang lebih resmi dan akun kedua yang lebih privat. Secara Antropologis, fenomena ini menggambarkan bagaimana identitas dan eksistensi dibentuk dan dinegosiasikan melalui representasi digital yang dipengaruhi oleh dinamika sosial, budaya, dan teknologi media sosial.

Lebih jauh lagi, fenomena representasi diri mahasiswa di media sosial juga mencerminkan adanya perubahan dalam cara individu memahami konsep diri dan hubungan sosial di era digital. Identitas tidak lagi bersifat statis, melainkan bersifat fleksibel dan situasional, tergantung pada konteks sosial dan audiens yang dihadapi. Mahasiswa dapat menampilkan personal yang berbeda di berbagai platform, misalnya tampil profesional di LinkedIn, santai di Instagram, atau kritis di X (Twitter). Perbedaan ini menunjukkan bahwa media sosial menjadi ruang multi-identitas, tempat seseorang dapat berperan sesuai kebutuhan dan strategi sosialnya.

Selain itu, media sosial juga berfungsi sebagai arena sosial baru bagi mahasiswa untuk membangun jaringan, memperluas pergaulan, dan memperoleh modal sosial maupun simbolik. Dalam konteks ini, “eksistensi digital” tidak hanya diukur dari aktivitas daring, tetapi juga dari sejauh mana representasi diri tersebut mendapat pengakuan dan interaksi dari pengguna lain. Popularitas, engagement, dan jumlah pengikut menjadi ukuran simbolis dari keberhasilan dalam membangun citra diri di dunia maya.

Dari sisi budaya, representasi diri mahasiswa turut dipengaruhi oleh nilai-nilai konsumtif dan budaya populer yang berkembang di masyarakat. Tren fashion, gaya hidup urban, serta estetika visual yang dibentuk oleh algoritma media sosial menciptakan standar tertentu tentang “kehidupan ideal” yang sering kali dijadikan acuan. Hal ini dapat memunculkan tekanan sosial untuk selalu tampil menarik, bahagia, dan sukses di dunia maya, meskipun hal tersebut belum tentu mencerminkan kenyataan sebenarnya.

Fenomena ini juga dapat dibaca sebagai bentuk adaptasi terhadap modernitas digital, di mana mahasiswa belajar memanfaatkan teknologi untuk membangun identitas dan memperkuat posisi sosialnya. Namun, di sisi lain, muncul pula risiko seperti krisis identitas, kecemasan sosial, dan ketergantungan terhadap validasi online. Dengan demikian, representasi diri mahasiswa di media sosial tidak hanya menunjukkan kreativitas dan kemampuan adaptasi, tetapi juga menjadi cerminan kompleksitas hubungan antara individu, teknologi, dan masyarakat modern. (*)