Oleh: Andira Permata Sari
_______________
DALAM beberapa waktu terakhir, Pulau Sumatera dilanda bencana hidrometeorologi parah berupa banjir bandang dan tanah longsor yang menimpa tiga provinsi: Aceh, Sumatera Utara (Sumut), dan Sumatera Barat (Sumbar). Peristiwa ini telah menimbulkan dampak yang sangat besar, baik kerugian material maupun jatuhnya korban jiwa.
Bencana ini terjadi secara meluas dan masif, menyebabkan banyak wilayah terendam dan terisolasi. Data terbaru dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menunjukkan skala tragedi yang memprihatinkan. Jumlah korban jiwa terus bertambah, bahkan mencapai ratusan orang. Ratusan lainnya dilaporkan masih hilang dan dalam pencarian oleh tim SAR gabungan. Upaya evakuasi dan pencarian menjadi tantangan besar akibat medan yang sulit dan potensi longsor susulan. Jutaan warga terdampak, dan ratusan ribu kepala keluarga terpaksa mengungsi ke tempat yang lebih aman karena rumah mereka rusak berat, rusak sedang, atau terendam air.
Ribuan rumah, fasilitas pendidikan, jembatan, dan memutuskan akses jalan di berbagai titik, seperti di Aceh Tamiang, Tapanuli Utara, dan wilayah lain, yang sangat menghambat penyaluran bantuan. Banjir bandang, kini seolah menjadi siklus tahunan yang makin mematikan di berbagai wilayah Sumatera. Jika dahulu banjir dianggap sebagai peristiwa alam biasa, kini dampaknya kian masif, merenggut nyawa, dan melumpuhkan ekonomi. Pertanyaannya, mengapa fenomena alam ini menjadi tragedi yang kian parah? Jawabannya terletak pada kombinasi kompleks antara faktor alam dan aktivitas manusia.
Intensitas hujan ekstrem Sumatera, seperti wilayah tropis lainnya, sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim. Data menunjukkan bahwa frekuensi dan intensitas hujan ekstrem cenderung meningkat. Curah hujan yang turun dalam waktu singkat menjadi jauh lebih tinggi dari normal, melampaui daya tampung alami dan buatan. Sistem drainase dan tata ruang yang sudah ada tidak mampu menampung volume air yang tiba-tiba melimpah ini.
Pemerintah Lamban dalam Penanggulangan Bencana
Dalam konteusi situasi ini, desakan keras dari masyarakat sipil terhadap pemerintah yang dinilai lamban dalam menetapkan status bencana nasional mencuat ke permukaan, seiring dengan munculnya konsekuensi paling brutal dari ketiadaan penanganan yang cepat dan memadai: penjarahan oleh masyarakat yang putus asa.
Alih-alih menyalahkan warga yang putus asa, fokus seharusnya dialihkan pada aparat negara yang gagal dalam tugas mendasar mereka: memastikan keselamatan dan pemenuhan kebutuhan dasar warga negara di tengah krisis. Kehadiran aparat keamanan seharusnya difokuskan pada pengamanan jalur logistik dan pendampingan distribusi bantuan, bukan semata-mata penangkapan pelaku penjarahan yang didorong oleh kelaparan.
Desakan dari masyarakat sipil, akademisi, dan anggota parlemen untuk segera menetapkan status bencana nasional adalah protes moral terhadap ketidakseriusan pemerintah pusat dalam menghadapi krisis berskala masif. Tuntutan ini berakar pada prinsip akuntabilitas negara dan hak asasi manusia korban bencana.
Pemerintah harus menyadari bahwa penanggulangan bencana bukan hanya soal angka dan statistik, melainkan tentang nyawa dan martabat manusia. Mengulur waktu dalam penetapan status bencana nasional adalah risiko politik dan kemanusiaan yang sangat besar, berpotensi mengubah krisis alam menjadi krisis kepercayaan publik terhadap negara.
Keterlambatan ini harus diakhiri. Presiden, sebagai pemegang komando tertinggi, harus segera mengambil keputusan tegas. Penetapan status bencana nasional adalah langkah awal yang mutlak untuk mengembalikan tatanan, mempercepat bantuan, dan yang terpenting, meredam kekacauan sosial yang ditimbulkan oleh rasa lapar dan pengabaian. Negara harus hadir sepenuhnya dan segera untuk menjamin bahwa tidak ada satu pun warga negara yang harus memilih jalan penjarahan hanya karena mereka ditinggalkan sendirian di tengah puing-puing kehancuran.
Strategi Komprehensif Negara Islam (Khilafah) dalam Mengatasi Bencana Banjir
Penyelesaian krisis banjir merupakan isu yang harus diangkat sebagai agenda utama negara. Sebagaimana diuraikan, pendekatan terhadap masalah banjir tidak dapat dibatasi sebagai urusan perorangan atau sekadar inisiatif komunitas. Sebaliknya, solusi definitif harus diwujudkan melalui bingkai kebijakan publik dan tata kelola negara yang otoritatif.
Menurut pandangan pakar Syariah (mengutip Syamsuddin Ramadhan, 6/1/2013), pemerintah Islam, atau yang dikenal sebagai Khilafah Rasyidah, harus memiliki kebijakan penanggulangan bencana yang terdepan dan efektif, mencakup tahap pencegahan, respons segera saat kejadian, dan pemulihan pasca-bencana.
Pencegahan Teknis dan Pengelolaan Sumber Daya Air
Untuk menanggulangi banjir yang bersumber dari keterbatasan daya serap tanah atau luapan air (akibat hujan, rob, atau lelehan gletser), negara Islam akan menerapkan langkah-langkah infrastruktur dan rekayasa lingkungan:
Pembangunan Infrastruktur Penampung Air:
Membangun jaringan bendungan dan waduk yang dirancang untuk menampung air luapan dari sungai dan curah hujan. Sejarah peradaban Islam mencatat keunggulan dalam teknik ini, seperti Bendungan Qusaybah di dekat Madinah yang berdimensi besar (30 meter kedalaman dan 205 meter panjang) untuk kontrol banjir. Pembangunan serupa di era Abbasiyah (Baghdad) dan warisan bendungan di Sungai Turia, Spanyol, membuktikan efektivitas sistem ini untuk irigasi dan pencegahan banjir.
Pengendalian Aliran Air dan Sedimentasi:
Menciptakan saluran air buatan (kanal), sungai baru, atau sistem drainase yang berfungsi memecah volume air dan mengalihkan alirannya ke tempat yang lebih aman. Negara wajib melakukan pengerukan rutin (normalisasi) sungai dan saluran air untuk mencegah pendangkalan.
Inisiatif Konservasi dan Resapan Air:
Mengembangkan sumur-sumur resapan vertikal di kawasan-kawasan kunci. Sumur ini berfungsi ganda, yaitu sebagai sarana resapan air hujan dan sebagai cadangan air yang dapat dimanfaatkan saat kemarau.
Regulasi Rencana Pembangunan Komprehensif:
Menggariskan rencana induk tata ruang yang mewajibkan setiap pembukaan kawasan atau pemukiman baru untuk memperhitungkan: (1) Sistem drainase yang memadai; (2) Ketersediaan area serapan air; dan (3) Kesesuaian peruntukan tanah berdasarkan karakteristik topografi. Tujuannya adalah mencegah probabilitas banjir sejak dini.
Pembentukan Badan Penanggulangan Bencana Khusus:
Membentuk unit khusus penanganan bencana alam yang dilengkapi dengan peralatan modern, kendaraan evakuasi, dan fasilitas medis yang diperlukan. Personel lapangan diwajibkan memiliki keahlian SAR dan kesiapan tinggi untuk bergerak cepat dalam situasi darurat.
Penetapan Kawasan Konservasi Lingkungan:
Menetapkan wilayah sebagai cagar alam, hutan lindung, dan zona penyangga (buffer) yang dilindungi dari eksploitasi, kecuali dengan izin khusus. Hukuman berat akan diberlakukan bagi perusak lingkungan hidup.
Edukasi dan Pelestarian Lingkungan:
Melaksanakan kampanye masif mengenai pentingnya menjaga kebersihan dan kewajiban menjaga lingkungan dari kerusakan (sesuai syariat). Negara juga mendorong masyarakat untuk menghidupkan lahan-lahan kosong agar berfungsi sebagai benteng ekologis.
Respons dan Penanganan Korban:
Dalam penanganan pasca-bencana, negara Khilafah akan bertindak cepat, memobilisasi warga sekitar. Penyediaan tempat tinggal sementara, logistik (makanan, pakaian), dan pengobatan yang layak akan menjadi prioritas. Ulama akan dikerahkan untuk memberikan nasihat spiritual untuk menguatkan mental korban agar tetap bersabar dan tawakal.
Bisa dibayangkan jika sistem Islam diterapkan, maka bencana banjir bukan hal yang ditakuti masyarakat. Wallahu’alam bishawab. (*)










