TERNATE, NUANSA – PT Antam (Persero) Tbk dilaporkan ke Kejaksaan Tinggi Maluku Utara pada Senin (8/12) atas dugaan korupsi. Laporan ini dilayangkan Lembaga Pengawas dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (LPP Tipikor) Maluku Utara terkait pengelolaan dana Penyertaan Modal Negara (PMN) triliunan rupiah untuk Proyek Pengembangan Pabrik Feronikel Haltim (P3FH).
Laporan ini bukan tuduhan kosong, LPP Tipikor membawa dokumen temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI yang menyorot keras kegagalan manajemen Antam dalam mengelola PMN sebesar Rp 3,494 triliun yang digelontorkan pemerintah untuk pembangunan P3FH, proyek strategis yang direncanakan beroperasi pada Juli 2019.
Koordinator LPP Tipikor Malut, Alan Ilyas, menyatakan laporan mereka merujuk langsung pada LHP BPK RI Nomor 33/AUDITAMA VII/PDTT/05/2019, yang mengungkap dugaan buruknya tata kelola pendapatan, biaya, dan investasi Antam tahun 2016–2018 di Maluku Utara.
“Kami menemukan adanya risiko kerugian negara dan inefisiensi luar biasa yang berpotensi melanggar UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,” tegas Alan Ilyas.
Berdasarkan dokumen laporan LPP Tipikor yang diterima media ini, audit BPK dan BPKP mengungkap sederet kejanggalan fatal:
1. Proyek Berisiko Tidak Optimal
• Studi kelayakan (Feasibility Study) proyek senilai total estimasi Rp3,9 triliun ini dinilai berisiko tidak optimal sejak awal perencanaan.
2. Keterlambatan Signifikan
• Hingga triwulan I 2018, progres fisik proyek baru mencapai 53,99%, jauh di bawah target. Keterlambatan ini menyebabkan mundurnya target operasi pabrik dan hilangnya potensi produksi serta penjualan yang telah dihitung sebelumnya.
3. Masalah Pasokan Listrik Krusial
• Salah satu temuan paling vital adalah ketidaksesuaian jadwal penyediaan listrik. PT Antam Tbk diduga menjalin MoU dengan PT Bukit Asam untuk pembangunan PLTU, namun penyelesaian PLTU paling cepat diprediksi tahun 2021, sementara pabrik feronikel target selesai 2019. Hal ini memaksa Antam menyewa genset dengan biaya tinggi dan berisiko menerima pabrik yang belum teruji tuntas karena ketiadaan daya listrik saat commissioning.
4. Potensi Kerugian Finansial
• Laporan tersebut merinci potensi kerugian yang harus ditanggung Antam akibat manajemen proyek yang buruk :
• Dugaan Potensi tambahan biaya SDM dan pemeliharaan pabrik yang menganggur hingga Triwulan I 2021 diduga sebesar Rp 280 miliar.
• Dugaan Kehilangan potensi pendapatan kotor selama 2019 dan 2020 sebesar Rp640 miliar akibat keterlambatan operasi.
• Cost overrun diduga senilai Rp97 miliar hingga Mei 2022.
• Dugaan Material dan peralatan senilai jutaan dollar (termasuk monolithic senilai Rp725 juta yang kadaluwarsa) menjadi tidak dapat dimanfaatkan.
5. Aset Belum Dimanfaatkan
• BPK juga menyoroti aset bangunan seperti fasilitas pelabuhan (Port and Jetty) senilai Rp241 miliar dan fasilitas utilitas sementara senilai Rp1,8 miliar yang belum dapat dimanfaatkan secara optimal.
LPP Tipikor menegaskan bahwa kondisi ini terjadi karena Direksi Antam tidak menyusun contingency plan dan tidak memiliki mitigasi risiko yang terintegrasi.
“Hal ini dapat menyebabkan kerugian finansial yang signifikan, gangguan operasional yang berkepanjangan jika tidak ditangani secara serius oleh pemerintah pusat,” tegas Alan Ilyas.
Ia kembali mendesak aparat: “Aparat penegak hukum-khususnya Kejati Malut diharapkan dapat mengungkap sejumlah kejanggalan PMN Rp3,9 triliun dan temuan lain atas aktivitas Aneka Tambang Tbk di Halmahera Timur,” desaknya.
Hingga berita ini dipublikasikan, PT Aneka Tambang Tbk belum berhasil dikonfirmas. (ska)










