Oleh: Khaizuran
___________________
KENAIKAN tarif pajak pertambahan nilai (PPN) yang semula 11 persen menjadi 12 persen diberlakukan mulai 1 Januari 2025. Kenaikan PPN menjadi 12 persen ini didasarkan pada amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UUHPP) dilansir dari liputan6.com. Bahkan menurut pemerintah, kenaikan tarif PPN ini dikhususkan untuk barang-barang mewah saja. Namun nyatanya PPN 12 persen tak menyasar barang mewah saja. Sedangkan, Direktorat Jendral Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memastikan tarif PPN 12 persen berlaku untuk seluruh barang dan jasa yang selama ini dikenakan tarif 11 persen.
Pemerintah juga berdalih, bahwa menaikan tarif PPN diperlukan guna meningkatkan basis penerimaan negara. Namun, bagi masyarakat kecil kebijakan ini menyulut kekhawatiran baru. Bahkan penolakan banyak datang dari lapisan masyarakat, karena menilai ini terlalu memberatkan masyarakat.
Seperti yang diungkapkan oleh ekonom senior Indef Faisal Basri beberapa bulan yang lalu. Beliau mengungkapkan betapa tidak masuk akalnya rencana pemerintah menerapkan pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen dan justru menyengsarakan rakyat, namun tidak signifikan menambah penerimaan negara.
Dikutip dari laman CNBCIndonesia, Faisal menilai rencana kenaikan PPN menjadi 12% juga tidak adil. Sebab di sisi yang lain pemerintah justru jor-joran memberikan banyak insentif fiskal pada korporasi besar.
Pajak Kebijakan Zalim Dalam Kapitalisme
Pajak dalam sistem kapitalisme dijadikan sebagai sumber utama pemasukan negara, maka wajar jika diberlakukan kebijakan pajak atas rakyat dalam berbagai barang dan jasa. Bahkan ditopang oleh sederet undang-undang.
Demikian pula dengan kenaikan besaran pajak dan berbagai jenis pungutan pajak lainnya. Ketika pajak dijadikan sumber pendapatan negara, maka hakekatnya rakyat mebiayai kebutuhannya sendiri terhadap berbagai layanan yang dibutuhkan. Artinya negara tidak berperan sebagai pengurus rakyat.
Inilah tabiat kepemimpinan dalam sistem sekuler-kapitalis, negara hanya berperan sebagai regulator, melayani kepentingan para pemilik modal. Rakyar biasa akan terabaikan. Rakyat menjadi sasaran berbagai pungutan negara yang bersifat wajib sebagai konsekuensi posisinya sebagai warga,
Pungutan pajak jelas menyengsarakan, karena pungutan itu tidak memandang kondisi rakyat. Di sisi yang lain, mirisnya banyak kebijakan pajak yang memberikan keringanan pada para pengusaha, dengan alasan untuk meningkatkan investasi pengusaha bermodal besar dengan asumsi investasi dapat memberikan lapangan pekerjaan padahal nyatanya omong kosong belaka,
Pajak Dalam Pandangan Islam
Berbeda dengan sistem kapitalisme berkaitan dengan konsep pajak. Dalam sistem Islam (Khilafah) pajak bukan sumber pendapatan utama negara, bahkan pajak tidak diambil sebagaimana dalam sistem kapitalisme.
Nabi SAW dahulu mengatur urusan-urusan rakyat dan tidak terbukti bahwa beliau memungut pajak atas masyarakat. Tidak ada riwayat sama sekali bahwa beliau memungut pajak. Ketika beliau mengetahui bahwa orang di perbatasan daulah mengambil pajak atas komoditas yang masuk ke negeri, beliau justru melarangnya. Dari ‘Uqbah bin ‘Amir bahwa ia telah mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Tidak masuk surga pemungut cukai.” (HR Ahmad dan disahihkan oleh Al-Hakim).
Meskipun pajak atau dharibah dikenal juga di dalam Islam, tetapi memiliki konsep yang jauh berbeda dan bertolak belakang dengan pajak dalam sistem kapitalisme. Pajak di dalam Islam bukanlah sumber tetap dan utama baitulmal (kas negara).
Pajak akan ditarik ketika baitulmal mengalami kekosongan atau dalam kondisi krisis dan ini akan berakibat dharar bagi masyarakat, maka pajak hanya akan ditarik pada warga negara muslim yang kaya saja dan ini hanya bersifat sementara. Setelah kondisi baitulmal stabil maka pajak akan dihentikan.
Syekh Abdul Qadim Zallum mendefinisikan dharibah sebagai harta yang diwajibkan Allah Taala kepada kaum muslim untuk membiayai kebutuhan dan pos yang diwajibkan kepada mereka dalam kondisi ketika tidak ada harta di Baitulmal kaum muslim untuk membiayainya. (Al-Amwal fi Daulati al-Khilafah, hlm. 129).
Syarak telah menetapkan sejumlah kewajiban dan pos, yang ada atau tidak adanya harta di baitulmal tetap harus berjalan. Jika tidak ada harta di baitulmal, kewajiban tersebut berpindah ke pundak kaum muslim. Ini karena jika tidak, akan menyebabkan terjadinya dharar bagi seluruh kaum muslim.
Terkait dengan bagaimana pemasukan negara maka Islam telah menetapkan pos-pos pemasukan baitul mal yaitu harta kepemilikan umum, fa’i, kharaj, ghanimah dll. Negara Islam tidak bergantung sepenuhnya pada pajak ataupun hutang berbasis riba. Dari sinilah segala kebutuhan masyarakat secara publik dipenuhi dan tidak menyengsarakan rakyatnya. Sungguh, kepemimpinan dalam Islam dengan penerapan syariat secara kaffah inilah yang dibutuhkan masyarakat. Bahkan menciptakan relasi yang begitu unik, pemimpin mencintai rakyat dan dicintai rakyatnya. Maka sudah saatnya kita kembali kepada sistem Islam secara kaffah dalam segala aspek kehidupan kita. Waallhu’alam. (*)










