Opini  

Nasib Guru yang Mencerdaskan Dianggap Jadi Beban Negara, Emang Boleh?

Oleh: Hilda Hismiyati 

Kabid Humas PW KAMMI Malut

____________________

BELAKANGAN ini saya membaca berita seputar isu tentang guru, dan di antara isu tersebut yang justru mengejutkan adalah pernyataan langsung dari Menteri Keuangan, Sri Mulyani, yang menyinggung soal gaji guru dan dosen yang kecil. Ia lalu bertanya, “Apakah semuanya harus menjadi tanggungan negara?” Sekilas terdengar seperti pertanyaan sederhana, tetapi bagi saya, kalimat itu menggelitik sekaligus mengusik di telinga.

Bagaimana tidak? Seorang pejabat negara yang seharusnya menjelang kemerdekaan merefleksikan kembali tentang pendidikan di Indonesia apakah sudah benar-benar merdeka namun justru sebaliknya, berkomentar soal gaji dosen dan guru yang menurutnya menjadi salah satu tantangan bagi keuangan negara.

Guru sering disebut “pahlawan tanpa tanda jasa”, karena peran mereka membentuk generasi penerus bangsa tidak bisa diukur dengan materi semata. Sedangkan dosen adalah intelektual penggerak yang tidak hanya menyampaikan ilmu, tetapi juga melahirkan penelitian, gagasan, dan inovasi untuk kemajuan bangsa. Guru menjadi fondasi pembentuk karakter dan dosen menjadi pilar pengetahuan bangsa. Tetapi yang saya jumpai banyak dari mereka masih harus memikirkan bagaimana membayar cicilan, menutup biaya hidup, bahkan ada yang mencari pekerjaan sampingan demi bertahan. Di sisi lain, kita menuntut kinerja maksimal dari aset paling berharga, tetapi tidak memberinya dukungan yang layak.

Berkaca dari negara luar. Finlandia misalnya, mereka menjadikan profesi guru setara dengan dokter dalam hal penghargaan sosial dan gaji. Seleksi yang ketat, pelatihan berkualitas, serta jaminan hidup membuat guru fokus sepenuhnya pada mendidik. Demikian juga Singapura, mereka memberi gaji kompetitif, jalur karier yang jelas, dan dukungan penuh, sehingga profesi guru menjadi incaran talenta terbaik. Lain halnya di Indonesia, masih kita temui guru honorer yang gajinya bahkan tak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar, dan dosen yang harus mencari tambahan penghasilan di luar kampus.

Kemerdekaan bukan hanya bebas dari penjajah, tetapi juga memastikan pendidik merdeka dari tekanan ekonomi. Guru dan dosen yang sejahtera akan mengajar dengan tenang, mengembangkan diri, serta fokus pada murid atau mahasiswa. Sebaliknya, pendidik yang terus dihantui masalah finansial akan sulit sepenuhnya mengerahkan potensi terbaiknya.

Mengutip pernyataan dari seorang praktisi, “Memerdekakan guru dan dosen adalah langkah awal memerdekakan generasi mendatang dari keterbelakangan. Jika kita gagal memberi penghargaan yang layak bagi mereka, mimpi Indonesia Emas akan tinggal slogan yang terdengar nyaring setiap Agustus, tapi tak pernah benar-benar hidup di ruang kelas”. Atau slogan tersebut bisa saja berganti menjadi Indonesia Cemas, sebab realisasi lapangan yang jauh dari harapan. (*)