Oleh: B. Arista Garmalitha
Mahasiswa Psikologi UMMU & Pegiat Forum Ruang Kata UMMU
________________
SETIAP 17 Agustus, bangsa ini merayakan kemerdekaan dengan upacara bendera, lomba, dan perayaan penuh gegap gempita. Namun, di balik keriuhan itu, pertanyaan mendasar muncul: benarkah kita sudah merdeka?
Kemerdekaan sejati bukan hanya bebas dari penjajahan bangsa lain, melainkan juga bebas dari penderitaan, kemiskinan, dan ketidakadilan. Fakta di lapangan berkata lain. Petani tetap miskin, buruh ditindas, nelayan kehilangan lautnya, sementara rakyat kecil kesulitan mengakses pendidikan dan kesehatan. Ironisnya, generasi muda yang menyuarakan hak justru sering dibungkam, seakan suara mereka hanyalah gangguan.
Lebih menyakitkan lagi, hak rakyat kecil sering dipermasalahkan oleh aparat dan penguasa. Tanah digusur demi proyek besar, hukum ditegakkan hanya pada yang lemah, sementara elit dengan mudah lolos dari jeratan hukum. Padahal, UUD 1945 telah menegaskan Indonesia sebagai negara hukum (Pasal 1 ayat 3). Jika hukum hanya tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas, maka amanat konstitusi telah dikhianati.
Di sisi lain, korupsi masih merajalela. Uang rakyat yang seharusnya dipakai untuk kesejahteraan justru dirampas oleh pejabat tamak. Lebih tragis lagi, para koruptor bisa hidup nyaman, dihukum ringan, bahkan kembali menduduki jabatan. Sementara rakyat kecil yang terpaksa melanggar hukum demi bertahan hidup dihukum berat. Inilah wajah pahit bangsa ini: koruptor tertawa, rakyat kecil menangis.
Padahal, Pembukaan UUD 1945 dengan jelas menyebutkan tujuan kemerdekaan adalah melindungi segenap bangsa, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Jika hari ini rakyat masih menderita sementara kekuasaan berpihak pada segelintir elit, maka cita-cita kemerdekaan itu masih jauh dari kenyataan.
Karl Marx dalam Friendrich Engels, Manifesto of the Communist Party (1848:14-21), pernah menekankan bahwa hukum sering kali dijadikan alat oleh kelas berkuasa untuk mempertahankan kepentingan mereka. Fenomena hukum yang tajam ke bawah dan tumpul ke atas di Indonesia seakan membenarkan analisis itu. Di sisi lain, teori keadilan John Rawls mengingatkan bahwa keadilan sejati hanya ada ketika negara memberikan perlindungan terbesar bagi mereka yang paling lemah. Jika rakyat kecil terus dipinggirkan, maka jelas negara ini gagal menunaikan kewajiban moralnya, (A Theory of Justice, 1991:75-83).
Kemerdekaan tidak boleh berhenti pada slogan dan seremoni. Jika pemerintah terus menutup mata terhadap penderitaan rakyat, jika hukum masih diperdagangkan, maka 17 Agustus hanyalah pesta kosong tanpa makna. Kini saatnya pemerintah berhenti menjadikan rakyat sebagai korban kebijakan.
Dengarkan suara mereka, penuhi hak mereka, dan tegakkan hukum secara adil. Dan kepada generasi muda, jangan pernah diam. Suara kalian adalah kekuatan, keberanian kalian adalah api, dan persatuan kalian adalah jalan menuju perubahan. Sebab, kemerdekaan sejati bukan diukur dari megahnya perayaan, melainkan dari senyum rakyat kecil yang merasakan keadilan di tanahnya sendiri. (*)