Opini  

Partai Politik dan Rentetan Problematika Indonesia

Oleh: Ulil Amri Imam

Anggota Law Fighter’s Community

__________________

DI dalam sistem demokrasi dan sistem ketatanegaraan Indonesia, partai politik mempunyai posisi dan peranan yang sangat penting dalam menjaga dan merawat keutuhan demokrasi, karena fungsi partai politik sebagai penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi masyarakat, sekaligus menjadi penghubung antara pemerintah dan kepentingan warga Negara melalui kader-kader partai, yang terpilih dalam pemilihan umum.

Namun pada realitanya, kemunduran demokrasi (democratic regression) banyak disebabkan oleh partai politik itu sendiri, seperti yang terjadi dalam beberapa pekan yang lalu kita melihat fenomena dan kekacauan di Indonesia itu disebabkan oleh beberapa kader partai politik misalnya Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach dari Partai NasDem, Eko Patrio dan Surya Utama atau yang dikenal Uya Kuya dari Partai Amanat Nasional. Oleh karena itu, jika kita melihat lebih jeli fenomena dan kekacauan di Indonesia akhi-akhir ini,  maka seharusnya kesalahan tidak hanya dilimpahkan kepada anggota dari partai politik, tetapi kesalahan juga perlu dialamatkan kepada partai politik itu sendiri, karena partai politik mengabaikan sistem kaderisasi dan memilih jalur instan dengan mengambil orang-orang yang memiliki popularitas seperti Partai Amanat Nasional (PAN) yang memajukan beberapa artis dalam pemilihan umum dan juga Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang menjadikan Kaesang Pangarep sebagai ketua umum tanpa dikaderisasi. Ini menunjukan bahwa partai politik tidak lagi menjadi penghubung antara kepentingan rakyat dan penguasa, tapi partai politik dijadikan kendaraan politik bagi sekelompok elit yang berkuasa atau berniat memuaskan nafsu birahi kekuasaannya sendiri. Menurut Jimly Asshiddiqie bahwa partai politik adalah organisasi yang bersifat oligarkis, karena partai politik yang seharusnya menyuarakan kepentingan rakyat, justru cenderung mengikuti kemauan ketua umum partai dan oligarki.

Selain itu, hal yang lebih ironi diperlihatkan oleh partai politik melalui setiap kader yang ada di lembaga legislatif, ketika dalam pembuatan undang-undang, anggota legislatif sering mengabaikan partisipasi masyarakat, sehingga produk hukum yang dibuat tidak memiliki kesesuaian dengan kepentingan masyarakat dan bahkan bertentangan dengan kepentingan masyarakat itu sendiri (law and book vs law and action). Oleh karena itu,  Ni’matu Huda memberikan beberapa contoh produk hukum yang tidak melibatkan partisipasi masyarakat, yang pertama: UU No. 3 Tahun 2020 tentang pertambangan, mineral dan batu bara (Minerba), usulan revisi Undang-Undang Minerba telah mengudara sejak 2014, tetapi pembahasannya selalu tertunda. Kemudian pembahasan rancangan undang-undang ini memicu demonstrasi dari berbagai elemen masyarakat dan mahasiswa pada tahun 2019, karena muatan materi yang ada dalam rancangan Undang-Undang Minerba hanya menguntungkan pengusaha, oligarki dan ketua umum partai politik. Yang kedua: Undang-Undang No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Ketika DPR mengesahkan Undang-Undang Cipta Kerja pada 5 Oktober 2020, di tengah maraknya penolakan dari elemen buruh, mahasiswa, aktivis lingkungan dan koalisi masyarakat sipil. Undang-Undang ini menuai kritik karena proses pembahasannya dinilai minim partisipasi publik dan terburu-buru. Bahkan secara materil Undang-Undang Cipta Kerja tidak berpihak kepada masyarakat, melainkan berpihak kepada investor dan oligarki. Hal semacam ini dianggap lazim oleh partai politik, padahal sangat jelas terjadi adanya sebuah distorsi fungsi dan tujuan partai politik. Sehingga anggota partai politik yang ada di lembaga legislatif beralih fungsi dari penyambung lidah rakyat menjadi budak ketua umum, dan juga beralih fungsi dari mewakili kepentingan rakyat menjadi mewakili kepentingan oligarki.

Jika kita melihat rentetan problematika yang terjadi saaat ini maka disimpulkan bahwa akar daripada rentetan problematika di Indonesia disebabkan oleh partai politik, karena semua partai politik di Indonesia saat ini terlalu bersifat pragmatis. Hal ini dimulai dengan diabaikannya sistem kaderisasi oleh partai politik, sehingga kualitas dan kapabilitas dari kandidat yang diusulkan tidak mampu mewakili kepentingan rakyat. Kemudian sifat pragmatisme juga diperlihatkan dengan adanya ketidakjelasan ideologi dari partai politik, karena partai politik yang agamis, mengaku nasionalis dan partai yang nasionalis mengaku agamis. Hal semacam ini dilakukan karena partai politik tidak lagi menjadi penyerap, penghimpun dan penyalur aspirasi masyarakat, tetapi partai politik hanya menjadikan rakyat sebagai komoditi atau alat untuk meraih kekuasaan. Sifat pragmatis dari partai politik juga bisa dilihat dan ditemukan dalam dinamika kebijakan partai politik yang tidak lagi mau beroposisi, sehingga ini bisa mengancam mekanisme check and balance dan juga bisa saja menyebabkan kemunduran demokrasi, karena fungsi pengawasan oleh lembaga legislatif bisa saja diabaikan.

Dari berbagai problematika yang ada pada partai politik, maka perlu adanya rekonstruksi baru pada sistem kepartaian di Indonesia, baik dari internal partai politik, maupun oleh Negara. Misalnya, partai politik lebih selektif dalam memilih kader yang ingin dimajukan dalam pemilihan umum baik dari ranah legislatif maupun eksekutif. Dan perlu dirumuskan kembali regulasi tentang sistem kepartaian, misalnya kader partai politik yang mencalonkan diri dalam pemilihan umum harus sudah mengikuti kaderisasi minimal tiga sampai lima tahun. (*)