Enam Perusahaan Tambang di Maluku Utara Diduga Bermasalah, Dua Pemilik Saling Sindir

Aktivitas pertambangan. (Istimewa)

TERNATE, NUANSA – Kehadiran Satuan Tugas (Satgas) Penertiban Kawasan Hutan (PKH) Halilintar di Maluku Utara baru-baru ini tampaknya sia-sia saja. Lihat saja, setelah Tim Satgas meninggalkan Maluku Utara, justru masalah pertambangan makin mencuat. Padahal, kedatangan tim Satgas yang di dalamnya ada anggota TNI, Polri, Jaksa dan instansi terkait tersebut, membawa misi menyelidiki perusahaan-perusahaan tambang yang tidak patuh terhadap aturan terkait penggunaan hutan.

Selama beberapa hari di Maluku Utara, Tim Satgas mengaku hanya menemukan enam perusahaan tambang yang bermasalah, yakni KSU Beringin Jaya, PT Adhita Nikel Indonesia, PT Mineral Elok Sejahtera, PT Mineral Jaya Molagita, PT ORO KNI dan PT Wasile Jaya Lestari. Izin enam perusahaan tambang ini akhirnya dicabut sementara.

Entah ada unsur kesengajaan atau tidak, justru masih ada perusahaan tambang lain yang lolos dari penyelidikan Satgas. Meski tak disentuh Tim Satgas, perlahan-lahan masalah perusahaan tambang itu mencuat, lantaran sesama mereka saling sikut. Perusahaan tambang yang beberapa hari terakhir ini saling sindir lewat media massa adalah PT Karya Wijaya, PT Fajar Bakti Lintas Nusantara (FBLN) dan PT Sambiki Tambang Sentosa (STS). Karya Wijaya dan FBLN beroperasi di Halmahera Tengah, sedangkan STS beroperasi di Halmahera Timur.

PT STS dan PT FBLN diketahui milik seseorang bernama Merry, sedangkan PT Karya Wijaya milik salah satu pejabat di Maluku Utara. Hasil penelusuran Nuansa Media Grup (NMG) menyebutkan, ketika Karya Wijaya disebut tidak memiliki izin pinjam pakai hutan yang legal dan beroperasi secara ilegal di Halmahera Tengah, pihak Karya Wijaya mencurigai ada peran pemilik PT FBLN dan STS. Dugaan kalau PT Karya Wijaya beroperasi secara ilegal tersebut bahkan disinggung salah satu anggota DPR RI saat melakukan kunjungan kerja di Maluku Utara beberapa hari lalu.

Anggota DPR RI dari Fraksi NasDem Bernama Rajiv itu bahkan mengklarifikasi langsung ke Bupati Halmahera Tengah, Ikram Malan Sangaji, di tengah-tengah pertemuan yang dihadiri seluruh kepala daerah Maluku Utara. Sayangnya, Ikram Malan Sangaji tidak bisa menjawab, dengan alasan soal izin pinjam pakai hutan untuk perusahaan tambang adalah kewenangan pemerintah pusat.

Beberapa setelah kedok Karya Wijaya mencuat, menyusul dugaan kalau PT FBLN juga tidak memiliki izin legal saat beroperasi bahkan mencaplok lahan perusahaan tambang lain. Fatono Chandra, salah satu petinggi PT Karya Wijaya bicara terangan-terangan menyentil PT FBLN. Ia bahkan menyebut FBLN melakukan kegiatan secara ilegal di Pulau Gebe, Kabupaten Halmahera Tengah.

Fatoni juga menegaskan bahwa PT Karya Wijaya memiliki izin yang sah dan tidak melakukan kegiatan tambang secara ilegal. “Justru FBLN yang caplok lahan Karya Wijaya dan PT Mineral Terobos. Jadi gugatan FBLN di PTUN itu bukan berarti Karya Wijaya melanggar aturan. Sengketa di PTUN ini muncul setelah FBLN mengklaim lahan yang sudah masuk wilayah Karya Wijaya,” katanya.

Tak lama setelah FBLN disinggung, muncul lagi masalah PT STS yang diketahui pemiliknya satu orang saja. Terminal Khusus (Tersus) atau Jetty milik PT STS di Dusun Memeli, Desa Pekaulang, Kabupaten Halmahera Timur, kabarnya dibangun tidak sesuai aturan yang berlaku. Informasi ini langsung direspons cepat oleh Polda Maluku Utara. Tak butuh waktu lama, Polda bahkan langsung menurunkan tim penyidik ke lokasi STS untuk menyelidiki dugaan pembangunan Jetty ilegal tersebut. Kapolda Maluku Utara, Irjen (Pol) Waris Agono, mengakui kalau ia telah menurunkan tim ke lokasi STS. (tan)