Oleh: Ekklesia Hulahi
________________
KASUS Kekerasaan Seksual sering terjadi pada Anak dan Perempuan. Hal ini dapat terjadi pada kelompok umur, status sosial, lokasi dan waktu yang berbeda. Kekerasan seksual tidak hanya terjadi pada orang asing, tetapi kekerasan seksual yang menyiksa anak dan perempuan juga dapat terjadi di lingkungan yang paling intim, yaitu keluarga (Amanda & Krisnani, 2019). Baik pelaku maupun korban dalam tindak kekerasan seksual pada hakikatnya dapat saja berjenis kelamin perempuan ataupun pria, namun dalam kenyataannya tentu saja dapat dikatakan bahwa mayoritas perempuanlah yang menjadi korbannya. Fakta tersebut membuat perilaku kekerasan seksual pada umumnya dianggap merupakan bagian dari kekerasan terhadap perempuan.
Kondisi Kekerasaan Seksual di Indonesia dan Maluku Utara
Berdasarkan data dari Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI-PPA) mencatat sebanyak 22.814 kasus kekerasan seksual terhadap anak yang terjadi di Indonesia terhitung sejak tanggal 1 Januari 2024 hingga 16 Maret 2025. Sebanyak 17.711 korban merupakan anak perempuan dan 7.408 korban merupakan anak laki-laki. Humas Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyatakan bahwa banyak kasus tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak yang melibatkan orang terdekat korban seperti orang tua, paman, kakek, bahkan tetangga. Sedangkan di Provinsi Maluku Utara, melalui Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Provinsi Maluku Utara mencatat dan KemenPPA Indonesia sepanjang 2025 tercatat 144 kasus kekerasan, dengan 67 di antaranya merupakan kasus kekerasan seksual. Dari jumlah tersebut mayoritas korban adalah perempuan sebanyak 134 orang, sementara 63 korban berusia 13–17 tahun.
Data-data tersebut sebenarnya sudah cukup mengindikasikan bahwa tingkat kekerasan terhadap perempuan, khususnya dalam hal kekerasan seksual sangatlah tinggi. Semakin maraknya kasus kekerasan seksual yang terjadi akhir-akhir ini membuktikan bahwa tingginya angka kekerasan seksual di Maluku Utara dapat dikaitkan dengan rendahnya literasi hukum dan kesadaran gender pada masyarakat, serta lemahnya mekanisme pengawasan sosial di tingkat komunitas lokal.
Arah dan Implementasi Kebijakan Pemerintah
Dalam konteks masyarakat Maluku Utara yang masih menjunjung tinggi nilai patriarki, perempuan sering kali diposisikan sebagai pihak yang bersalah ketika terjadi kekerasan seksual. Akibatnya, korban cenderung bungkam dan memilih menyembunyikan kasusnya demi menjaga kehormatan keluarga. Untuk itu, peran pemerintah, penegak hukum, LSM, ormas, masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, dan Organisasi Kemahasiswaan (OKP) sangat penting dalam membangun kesadaran kolektif bahwa kekerasan seksual adalah kejahatan, bukan aib yang harus disembunyikan.
Pemerintah pusat maupun daerah dituntut untuk mengambil langkah nyata dalam mencegah dan menangani kasus kekerasan seksual demi perlindungan terhadap korban, khususnya perempuan dan anak. Pemerintah Indonesia, melalui berbagai kementerian, lembaga, dan regulasi, telah melakukan upaya untuk menanggulangi dan mencegah kekerasan seksual. Namun, tantangan struktural, kultural, dan teknis masih menjadi penghambat efektivitas kebijakan ini.
Pemerintah Provinsi Maluku Utara melalui Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) telah melakukan berbagai upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. Di beberapa kabupaten/kota, telah dibentuk Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) yang bertugas memberikan layanan bagi korban kekerasan, termasuk konseling, bantuan hukum, serta rujukan medis dan psikologis. Namun, fasilitas dan tenaga profesional yang terbatas sering kali menghambat pelayanan yang maksimal. Kolaborasi antara pemerintah daerah, kepolisian, LSM, ormas dan tokoh masyarakat serta organisasi kemahasiswaan menjadi kunci dalam penanganan kasus secara komprehensif.
Tantangan dalam Penegakan Hukum
Arah politik hukum pemerintah saat ini sebenarnya sudah menunjukkan adanya keinginan untuk membenahi perlindungan hukum bagi perempuan dari tindakan kekerasan seksual, meskipun dalam kenyataannya hal tersebut belum maksimal. Tetapi, salah satu langkah konkret pemerintah dalam menangani kekerasan seksual adalah dengan adanya Peraturan Daerah Provinsi Maluku Utara Nomor 5 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pelayanan Terhadap Perempuan dan Anak Korban Kekerasaan. Peraturan Daerah yang dibuat ini bertujuan untuk mencegah terjadi berulangnya kekerasan terhadap perempuan dan anak korban kekerasan, serta memfasilitasi upaya perlindungan. Namun, secara implementatif, Perda No. 5 Tahun 2013 belum sepenuhnya efektif karena belum disertai dengan petunjuk teknis dan mekanisme penganggaran yang jelas. Hal ini menyebabkan DP3A kesulitan menjalankan fungsi perlindungan secara optimal.
Dan telah disahkannya Undang-Undang No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Berharap Perda dan Undang-undang ini dapat memberikan payung hukum yang jelas dan luas dalam menangani berbagai bentuk kekerasan seksual. Namun, tantangan utama di Provinsi Maluku Utara adalah keterbatasan sosialisasi dan pemahaman kepada masyarakat serta aparat penegak hukum terhadap isi dan pelaksanaan Undang-undang tersebut agar implementasi peraturan daerah dan Undang-undang ini berjalan efektif.
Strategi Pencegahan dan Edukasi
Pencegahan kekerasan seksual juga harus dilakukan sejak dini melalui pendidikan. Sayangnya, pendidikan seks yang komprehensif belum menjadi bagian dari kurikulum sekolah di Indonesia khususnya Maluku Utara. Padahal, memberikan pemahaman tentang tubuh, batasan dan hak-hak anak sejak dini adalah langkah krusial dalam pencegahan kekerasan. Pemerintah provinsi dan dinas pendidikan dapat memulai program edukasi tentang kekerasan seksual di sekolah-sekolah dengan melibatkan guru, orang tua, dan konselor.
Upaya penanggulangan kekerasan seksual di Maluku Utara memerlukan sinergi yang kuat antara pemerintah, masyarakat, LSM, ormas, dan Organisasi Kemahasiswaan (OKP). Meskipun sudah ada dasar hukum yang kuat melalui UU TPKS, tantangan di tingkat lokal seperti keterbatasan sumber daya, hambatan budaya, dan minimnya edukasi masih menjadi kendala besar. Pemerintah daerah perlu memperkuat layanan korban, meningkatkan literasi hukum dan gender masyarakat, serta menggandeng organisasi kemahasiswaan seperti IMM, GMKI, HMI, PMII, PII, LMND, GMNI, KAMMI, dan Badan Eksekutif Mahasiswa se-universitas yang ada di Maluku Utara yang dapat menjadi mitra strategis pemerintah daerah dalam membangun literasi anti-kekerasan di kampus dan komunitas muda, melalui forum diskusi, kampanye digital, dan advokasi berbasis riset. Hanya dengan kerja sama yang holistik dan berkelanjutan, kekerasan seksual di Maluku Utara dapat ditekan dan para korban dapat memperoleh keadilan yang layak. (*)








