Pertanian di Malut tak Menjanjikan, Kalangan Milenial ‘serbu’ Tambang

Peta Maluku Utara. (istimewa)

MALUKU UTARA, NUANSA – Sektor pertanian di Maluku Utara (Malut) sepertinya masih dianggap perkerjaan yang “kuno” dan tidak menjanjikan. Itu sebabnya, hampir tidak terdengar ada kalangan milenial yang memilih untuk terjun pada sektor tersebut.

Minimnya minat kalangan milenial pada sektor pertanian, tentu saja ada hubungannya dengan perhatian pemerintah daerah yang terbilang jauh panggang dari api. Masalah ini mendapat respons dari akademisi.

Ketua Program Studi (Prodi) Psikologi UMMU, Syaiful Bahri menuturkan, memang belakangan ini trend minat kalangan milenial pada sektor pertambangan jauh lebih tinggi ketimbang pada sektor pertanian. Bahkan, sebagian orang yang awalnya sudah mengembangkan sektor pertanian, justru balik haluan ke pertambangan.

Menurutnya, beralihnya orang dari sektor pertanian pada sektor pertambangan, sudah pasti ada hubungannya dengan kepuasan kerja. Kepuasan kerja menentukan pandangan seseorang dalam menentukan sikap dan memilih pekerjaan. “Karena ini berkaitan dengan kemudahan bekerja dan gaji atau bonus yang besar,” jelasnya.

Kepuasan kerja, lanjut Syaiful, (juga) sesungguhnya ditentukan berdasarkan karakteristik individu dan situasi kerja. Ia mengutip yang diungkapkan Wexley dan Yukl (2012) bahwa seseorang dalam memilih pekerjaan akan selalu membandingkan pekerjaan satu dengan pekerjaan lainnya dan sudah tentu membuat seseorang merasa nyaman dalam bekerja. Kalangan milenial lebih  memilih pekerjaan yang menurut mereka tidak terlalu berat, tidak repot tetapi dalam waktu yang cepat mendapatkan bonus atau gaji yang besar.

Kesejahteraan Semu

Dosen Fakultas Ekonomi Unkhair Ternate, Dr Aziz Hasyim juga angkat bicara. Ia menjelaskan, ada sejumlah faktor yang membuat kalangan milenial beralih dari sektor pertanian ke pertambangan. Pertama, sejauh ini belum terbangun kesadaran kritis secara massif yang lahir dari kalangan milenial tentang “saya bangga menjadi petani”. “Saya kira slogan ini mesti harus ditumbuhkan di kalangan milenial,” harapnya.

Faktor kedua, beralihnya tenaga kerja sektor pertanian ke sektor tambang, selain disebabkan luas lahan yang berkurang akibat konversi lahan ke sektor lain juga karena jumlah tenaga kerja di sektor pertanian yang semakin bertambah, sehingga penguasaan lahan pertanian menjadi kecil. Ditambah lagi dengan sumberdaya petani yang masih belum memiliki pemahaman pengelolaan pertanian modern yang mampu menghasilkan produksi tinggi dengan luas lahan yang kecil.

Faktor ketiga, belum kuatnya kebijakan yang berpihak pada sektor pertanian yang memadai. Hal ini bisa tercermin dengan alokasi kebijakan penganggaran. Beberapa variabel ini menjadi dasar bagi tenaga kerja sektor pertanian bergeser ke sektor lain. ”Apakah ini berkaitan dengan soal pendapatan? Jawabannya iya,”tegasnya.

Dr Aziz mengingatkan bahwa sektor yang menjanjikkan sesungguhnya berada pertanian. Sebab, sektor pertambangan yang dipandang menjanjikan, justru memiliki batas waktu, sehngga tampak masyarakat diberi kesejahteraan, padahal hanya kesejahteraan semu. Karena setelah selesai penambangan, masyarakat pasti menghadapi tuntutan pemenuhan kebutuhan dan itu bersumber pada sektor pertanian.

“Oleh karenanya dibutuhkan terobosan yang kokoh untuk melakukan revitalisasi pertanian dan perdesaan untuk kemajuan sektor pertanian saat ini, esok dan akan datang,” harapnya.

Belum lama ini Dinas Pertanian Maluku Utara dan DPD KNPI Maluku Utara menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) terkait pengembangan petani milenial. Hanya saja, Sekretaris KNPI Malut, M Ardiasnyah mengaku sejauh ini belum ada tindak lanjutnya. “Memang itu MoU untuk kopra. Tetapi dari Pemprov Malut belum menindaklanjuti,” tutupnya.(kov)