SOFIFI, NUANSA – Inilah akibatnya jika Pemerintah Provinsi (Pemprov) Maluku Utara (Malut) tidak peka melihat potensi pendapatan. Bayangkan saja, PT Aneka Tambang (Antam) yang sejak 1979 beroperasi di Kabupaten Halmahera Timur (Haltim), Maluku Utara, justru melakukan serah Bahan Bakar Minyak (BBM) di Sulawesi Utara (Sulut). Karena serah BBM dilakukan di Sulut, maka tiap tahun-nya Antam menyetorkan uang Rp 100 miliar Pemprov Sulut.
Dilakukannya titik serah BBM di Sulut, diakui Kepala Badan Pengelolaan Keuangan Pendapatan dan Aset Daerah (BPKPAD) Maluku Utara, Ahmad Purbaya. “Titik serah itu artinya lokasi atau daerah di mana BBM diserahkan, maka daerah itu yang mendapat pendapatan dari BBM itu,” jelasnya.
Menurutnya, selama ini PT Antam melakukan perjanjian titik serah di Manado, sehingga Provinsi Sulut mendapat pendapatan dari BBM yang dikonsumsi PT Antam. Pemprov Malut belakangan ini baru berupaya mendorong untuk dilakukan negosiasi ulang titik serah BBM PT Antam. Upaya ini juga didorong Komisi II DPRD Malut bersama BPKPAD memindahkan titik serah BBM dari Manado ke Ternate.
“Kalau sudah dipindahkan titik serah dari Manado ke Ternate, maka Pemprov Malut bisa mendapatkan pendapatan dari konsumsi bahan bakar tersebut,” harap Purbaya. Ia mengatakan, posisi beroperasinya PT Antam di Kabupaten Haltim, seharusnya Pemprov Malut yang mendapatkan pendapatan tersebut. Oleh karena itu, setelah dilakukan hearing dengan Komisi II DPRD Malut, pihaknya bersepakat untuk mengupayakan agar titik serah BBM Antam dilakukan di Ternate. “Saya sangat mengaparesiasi langkah Komisi II DPRD dalam upaya untuk meningkatkan PAD. Ini bagus sekali,” katanya.
Sementara, belum lama ini anggota DPRD Malut Sahril Tahir menilai kehadiran PT Antam tidak memberikan manfaat terhadap masyarakat di Malut. Untuk itu ia mendesak PT Antam secepatnya angkat kaki dari daerah ini. “Tidak ada manfaat PT Aneka Tambang di Maluku Utara. Saya minta secepatnya harus hengkang dari Malut,” kata Sahril Tahir pada 26 Juni 2021 lalu.
Anggota Komisi III DPRD ini juga menyesalkan kehadiran PT Antam di Malut yang sejak tahun 1979 sampai hari ini belum memberikan manfaat secara langsung terhadap masyarakat. Jika persoalan royalti, kata dia, memang iya. Akan tetapi berapa besarnya royalti itu untuk daerah ini. “Yang kita minta itu dampak langsung dari kehadiran PT Antam ini. Program pemberdayaan PT Antam juga tidak jalan,” ujarnya. Sahril juga membeberkan pada tahun 2014-2015, PT Antam membawa 1,7 juta ton ore ke luar Malut. Namun sampai saat ini tidak memberikan sepersen pun kepada Provinsi Malut.
Untuk itu, ia menyarankan kepada Pemprov Malut agar memproses hukum PT. Antam terkait pengangkutan ore 1,7 juta ton itu. “Jangan karena perusahaan negara, lalu kewahiban terhadap rakyat diabaikan. Kalau begitu, maka PT. Antam harus tinggalkan daerah ini. Hengkang saja dari sini,” tegasnya. (rii)