Oleh: Basri Amin
___
BEBERAPA tahun terakhir ini saya semakin sering ketemu dengan “orang-orang penting”. Kendati saya tak pernah menanyakan persepsi diri mereka apakah mereka menerima statusnya disebut sebagai “orang penting”, tapi saya cenderung merasakan pandangan orang kebanyakan terhadap mereka. Tandanya sederhana saja: mereka menentukan banyak hal bagi (kepentingan) orang banyak.
Kasta-kasta sosial memang intens direproduksi oleh masyarakat manusia sejak kehadirannya di planet ini. Pencarian dan pembentukan kekuatan pembeda di antara individu diendapkan sedemikian rupa dalam perangai setiap bangsa. Polanya berbeda tetapi fondasi nalarnya serupa: membedakan manusia di antara sesama manusia.
Umumnya, pembedaan yang disandarkan pada warna kulit dan asal-usul (geneologi) dikenal dengan istilah “Ras”. Sementara distingsi karena faktor-faktor tradisi, teritori, sejarah, dan bahasa, biasanya disematkan sebagai “Etnisitas”. Di ujung yang lain, pembedaan karena faktor anutan-kepercayaan dan pola-pola penyembahan dan rujukan profetik, dikategorikan sebagai “Iman-Agama”. Lain lagi dengan “Ideologi”, ia adalah anutan bersama karena “Idea” dan “Idealitas” tertentu yang dipandang mendasari prosesi perubahan dan tujuan sejarah.
Di setiap kelompok dan bangsa, kategori siapa yang memenuhi syarat sebagai “Orang Penting” pastilah berbeda, dari masa ke masa. Hal ini menyangkut persepsi dan afeksi masing-masing masyarakat. Di baliknya tertanam soal-soal pembenaran dan pertautan yang memelihara pengalaman untung-rugi dan/atau tampilan-publik di antara (kelompok) manusia. Tak jarang, sejarah dibentuk di atas pertautan dan pembenaran yang, dilihat dari kacamata masa kini, merupakan sesuatu yang tidak masuk akal. Di satu waktu, profesi/jabatan tertetu dipuji demikian tinggi, tapi di waktu lain profesi/posisi tertentu tak lagi punya pamor.
Mari cermati. Bukankah kita tahu bahwa secara naluriah, “tak ada manusia yang nyaman menjadi budak…” Tapi, fakta pula yang memberitahu kita bahwa Budak punya sejarahnya sendiri. Tak hanya teralami (pada kita) di Asia, Eropa dan negeri-negeri Arab pun mengenal perbudakan. Menerimanya sebagai sejarah tidaklah berarti bahwa kita membenarkannya. Dalam banyak hal, kita membenarkannya sebagai “fakta sementara” dari pertumbuhan umat manusia di mana pun ia lahir dan menjalani kehidupannya. Lalu, apakah di masa kini dan di masa depan tak akan ada lagi perbudakan? Kita bisa berdebat untuk urusan ini. Bisa jadi, hanya bentuk dan polanya saja yang berbeda.
Nah, apakah Budak bukan “orang-orang penting?”. Saya rasa, mereka adalah “penting” dalam sejarah. Meskipun tak selamanya panggilan atau kategori budak dipakai oleh setiap kelompok masyarakat dalam sejarah, tetapi “pola perilaku” per-budak-an tetaplah berlangsung. Jika kategori ini kita terima, setidaknya menurut bahasa Kamus, maka pastilah kita setuju bahwa perbudakan memiliki keabadian historisnya sendiri. Sejarah (modern) tak akan pernah hadir tanpa “perbudakan”: pengorbanan manusia!.
Di sisi lain, “orang-orang penting” di zaman ini, pun membangun sistem perbudakan sendiri. Mungkin tidak dalam arti eksploitasi kolektifnya atas golongan manusia lain, tetapi sebuah perbudakan dalam pengertian pergumulan “di dalam” diri-mereka sendiri, atau di antara sistem-sistem penghidupan yang mengitarinya. Nyatanya, orang-orang penting demikian mudah dikalahkan dan ditindas oleh idea-idea mereka sendiri yang menempatkan status (baca: “dipandang penting”) oleh orang lain sebagai sesuatu yang membuatnya menderita jika tak diraihnya.
Mereka demikian “gemas berkuasa dengan kekuasaan” tertentu –-hal mana merupakan barang rebutan serupa bagi orang-orang ‘penting’ yang lain–. Di sisi ini, terasa bahwa “orang-orang penting” adalah kelompok yang paling tidak kreatif di masyarakat. Mereka (hanya) mampu mengolah dan memanfaatkan sesuatu yang statusnya adalah “barang rebutan”. Mereka tak bisa mewujudkan sesuatu yang baru dan yang tak disangka-sangka.
Orang penting adalah para pejabat dan orang-orang kaya? Orang penting adalah mereka yang tergolong cerdik-pandai dan ‘agama’-wan? Bagaimana dengan para politisi, pegawai negara, profesional, buruh pabrik, petani, nelayan, pedagang kali lima? Yang lain-lain, bagaimana pula? Rentetan pertanyaan yang membuat kita bingung sendiri. Karena bisa jadi begitu banyak orang yang dipandang sebagai bagian dari kluster pekerjaan tersebut tapi sejak awal tak memandang dirinya sebagai “orang penting”. Tak jarang ada di antara mereka yang menjawab bahwa cita-cita utamanya adalah “Yang Penting, Menjadi Orang!”.
Penghayatan kita kepada kategori yang melekat pada diri kita, atau yang terbiasa ditempelkan oleh tindak-bahasa yang kita bangun bersama terbukti (secara laten) “menjebak” keberadaan kita satu sama lain. Proyeksi-proyeksi ke-diri-an kita kemudian berkembang ke arah yang menggelisahkan. Di akhir kisahnya, bisa jadi kita saling menunggu menjadi “orang-orang terasing” dan saling menyaksikan bagaimana keter-asing-an itu tersuguhkan setiap harinya: di seminar-seminar dan diskusi, di rapat-rapat dan dialog, di organisasi, di perjalanan-perjalanan dinas kepejabatan, di media, di arisan-arisan keluarga, di pesta-pesta, di acara kedukaan, dst.
Memercayai ke-asli-an (personal) kita dalam relasi keseharian yang kini makin rentan terbelah di banyak lokasi dan okasi sewajarnya dicermati. Kepada landasan hidup yang bagaimana kita bersandar? Kepada siapa kita meneladani sesuatu? Kepada peristiwa apa kita bisa bercermin? Tentu, di masyarakat kita, “Agama otomatis sebagai rujukan”. Tapi, Agama yang bagaimana yang kita maksudkan? Bukankah rujukan di dalam (ajaran) agama pun demikian majemuk! Di sini, yang kita percakapkan adalah tentang “sandaran” dan “rujukan”. Mengingat Tujuan demikian jauh dan perjalanan menemui-Nya bukanlah jalur-jalur yang mulus.
Setiap kita adalah “Sang Aku” yang menanti pengertian-pengertian baru. Kita membentuk bangunan-hubungan keseharian kita di atas fondasi yang senantiasa memintakan “kepastian” dan “ukuran” tertentu. Kita butuh mengukur kekuatan fondasi itu, agar kelak ketika goncangan tiba, batas-batas kita dan daya dukung sekitar kita memberi ruang penyesuaian. Di ruang itulah kita berdaya tahan dan memaknai kenormalan dan perubahan. Tak peduli apakah masih ada orang penting yang tersisa atau apakah kita menjadi korban dari kehadiran orang-orang penting yang hanya tahu merasa penting tapi terbiasa lengah dan terlalu lemah mengerjakan hal-hal penting. *
Penulis adalah Parner di Voice-of-HaleHepu;
E-mail: basriamin@gmail.com