Oleh: Basri Amin
___
REIDEL tahun 1870. Selanjutnya, Maha Guru kajian Gorontalo, Prof.S.R. Nur juga menggambarkan hal serupa ketika menjelaskan kondisi (keagamaan) Gorontalo pra-Islam (FI, 1995). Di Gorontalo, pernah dikenal “sesembahan” lama –sebelum Islam datang dan sebagian masih dipercaya setelah (agama) Islam hadir dan dominan di Gorontalo. Telah dikenal sejenis “tuhan” atau “dewa” yang punya kedudukan tertentu, antara lain dipercaya berada di Gunung Tilongkabila dan di Gunung Boliohuto. Dewa/tuhan itu bernama Toguwata dan Bulio lo Huto.
Di Minahasa, Opoisme dikaji dengan rinci oleh R.A.D. Siwu & David Tulaar, dkk (1993). Dalam literatur, tema ini tampaknya akan abadi karena formasinya yang unik dari zaman ke zaman, dari Afrika, Amerika, sampai di Asia. Bacalah Samanism karya Mircea Eliade (2004 [1951]).
Dalam catatan Riedel (1870), dewa baik di Gorontalo disebut dengan nama “Bunia”. Dunianya mengenal jenis kelamin. Bunia yang laki-laki bernama: Hana, Kobeha, Murutadi/Murotodi, Rokohe/Lokohe, Muluumi/Maluumi, Alamatulu. Bunia yang perempuan dikenal dengan panggilan nama-nama: Motoqai/Molotogai, Dulahu lo Oabu. Makhluk lain yang eksis dan terakui kehadirannya adalah Setan. Dalam sejarah (kosmologi) Gorontalo dikenal dengan panggilan “Lati”. Uniknya karena rupanya di dunia lati juga dikenal jenis kelamin. Bagi setan (jahat) laki-laki, yang populer, dikenal dengan nama-nama: Ti Tulalo Dehelo; Ti Pupato, Bongongo, Ti Tumayango, Ti Mananu, Ti tulalodehelo, Ti Bantatulia. Kontras dengan itu, rupanya kehadiran setan baik juga dikenal keberadaannya –dengan panggilan: Ti Bilalio, Ti Dingingo, Ti Tobo, PuPuto.
Pengakuan akan kehadiran, peran, dan interaksinya dengan (dunia) manusia dimediasi melalui sejumlah ritual dan ‘pesta’, terutama ditujukan agar manusia menegosiasi atau menolak bencana yang “disebabkan” oleh (kalangan) setan. Di sini di kenal dengan upacara Mobunito atau Towohu. Sebagai penyelenggara, bukanlah sembarang orang. Ia adalah seseorang yang punya reputasi khusus.
Sebagai tokoh kunci dalam “acara gaib”, “berpengalaman bergaul” dan “berbahasa” dengan proponen-proponen gaib di berbagai ruang dan situasi. Dia adalah seseorang yang berderajat Wombua (di Suwawa) atau Talenga (di Limboto). Dalam prosesinya, bahan-bahan alam dan benda-benda tertentu merupakan prasyarat pokoknya, antara lain untuk sesajen, berupa: Ulango, tabongo, Polohungo, damahu (damar), alama untuk bunia. Meski demikian, dalam hal ini pengakuan dan praktik-praktik interaktif dengan dunia bunia dan lati, tapi “Eya” adalah yang Tertinggi dan Berkuasa bagi segala urusan, kondisi, dan kehendak! Kekuasaan yang bersifat tunggal (tuau loo tuau lio).
Beberapa istilah seperti Doti, Opo-Opo, Fui-Fui, Tiup-Tiup, Huhemo, adalah simbolisme yang menyertai pengakuan manusia tentang dunia setan dan kawanannya. Dipercaya pula bahwa sebagian “manusia” adalah “hamba setan”. Ia telah kalah, ditundukkan, dan diperalat olehnya. Kejatuhan (derajat) manusia, indikasi utamanya justru karena kekalahannya menyikapi setan dan/atau iblis. Di sisi ini, iblis dan setan mempunyai “fungsi” yang unik. Terkesan kuat bahwa ia (berperan) sebagai data/fakta dan dengan itulah Malaikat “mencatat dosa” manusia: tentang kegagalannya menguatkan (panggilan) ketuhanan dalam jiwa dan pikirannya.
Di kala lain, kita juga mengenal beragam ekspresi bahasa yang merujuk keadaan tentang ke-gaib-ban. Terlebih ketika terjadi peristiwa tertentu yang di luar dugaan, tidak biasa, penyakit yang sulit disembuhkan dan dirasa penuh keanehan, maka di masyarakat tertentu cenderung menyikapinya dengan ungkapan: “ada orang yang kerja; ada ‘kiriman’ dari sesuatu atau dari si ‘anu’, “sms gratis”, dst.
Dalam ukuran sehari-hari, kita sebagai manusia sejak awal sudah sangat terbiasa dengan Jin, Setan, Iblis, Roh Jahat, dst. Kita selalu waswas dengan kehadirannya dan selalu membentengi diri dari pengaruh jahatnya. Padahal, kita juga tahu bahwa banyak pula manusia yang bisa memanfaatkan kapasitas (jahat) yang melekat pada mereka.
Begitu aktifnya kehadiran setan dalam dunia manusia –bahkan dalam perkara kesehariannya– dan terbahasakan sedemikian rupa secara rutin, sehingga di dunia bahasa pun akhirnya mengakui itu. Dalam KBBI misalnya, “setan” beroleh defenisi yang terang: “roh jahat yang selalu menggoda manusia supaya berlaku jahat”. Di bagian lain, KBBI juga mengartikan “kesetanan” dengan pernyataan tegas, yaitu: “kemasukan setan”. Dengan contoh sederhana seperti itu, kita jadi lebih paham (?) bahwa “setan” telah lama beroleh pengakuan yang unik dari manusia. Bahasa manusia “di-isi” oleh dunia setan. Di kamus resmi, tampak terbaca kata-kata: persetan, kesetanan, menyetan, mempersetan, mempersentankan, menyetan. Yang jelas, dalam bahasa Kamus, setan itu adalah iblis. Nama beda, tapi adanya sama. Ia adalah “roh jahat” (Poerwadarminta, BP, 1984; KBBI)
Tentu saja, terutama dalam konsepsi agama, setan pastilah berada di bawah kapasitas manusia. Manusia dipandang selalu (bisa) dekat dengan Tuhan dan dimenangkan kepentingannya oleh Tuhan. Tuhan pun memberi banyak “penjelasan” dan “cara” memahami dan menyikapi makhluk bernama “Setan” itu. Sejajar dengan Setan, kita juga mengenal Jin dan Iblis. Semuanya adalah “makhluk gaib” yang telah dijelaskan teks-teks agama-agama. Kehadirannya adalah kekayaaan khazanah pengetahuan di satu sisi, tapi sekaligus berfungsi sebagai sesuatu yang “lain” bagi dunia manusia dalam sejarahnya, termasuk dalam makna kiasan-nya: sesuatu yang setaniah, sesuatu yang seringkali terhubung dengan klenik/magis, sihir, nujum, arwah-arwah, dst.
Tafsir yang sangat “rasional” dalam khazanah Islam misalnya, dengan sangat elegan digambarkan oleh Muhammad Asad (Leopold Weiss) dalam The Message of the Quran (2017[1980]), di jilid III sangat terang bagaimana makhluk bernama Jinn diterjemahkan dengan kata-kata “makhluk yang tidak tampak”. Tentu dengan uraian yang jauh lebih kompleks dalam sejarah agama-agama.
Karena pentingnya makhluk ini, Asad bahkan menulis “tafsir jinn” yang, pada konteks sifatnya, sama dengan setan (tak punya eksistensi ragawi), dengan asal-usul dari api–dari angin yang sangat panas. Tafsir lain yang tak kalah rasionalnya adalah Muhammad Ali dalam The Holy Qur’an, setebal 1.682 halaman. Saya mengoleksi edisi 1995, terbitan Darul Kutubil Islamiyah. Dikatakan bahwa Jinn adalah makhluk halus seperti malaikat, tapi ia jahat, sementara Malaikat semuanya baik. Yang jelas, menurut Muhammad Ali, “jinn punya kaum sendiri”; “ia adalah roh jahat atau makhluk yang mengajak manusia ke arah kejahatan”. Penjelasan tentang Jinn lumayan kompleks dan pembaca bisa menelusuri lebih lanjut di banyak rujukan dan aliran pemahaman. Jangan-jangan “virus” adalah sejenis “setan” yang menyejarah juga? Entah!***
Penulis adalah Parner di Voice-of-HaleHepu;
Anggota Indonesia Social Justice Network (ISJN).
E-mail: basriamin@gmail.com