Hukum  

Dua Dugaan ‘Kejahatan Luar Biasa’ di Pemprov Malut Diusut

Ilustrasi praktik korupsi. (istimewa)

SOFIFI, NUANSA – Korupsi adalah kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Untuk membasmi kejahatan tersebut, butuh konsentrasi dan komitmen tinggi dari aparat penegak hukum. Jika tidak, maka penyakit yang sudah jelas menghambat pembangunan itu sulit diberantas.

Di Pemprov Maluku Utara (Malut), tidak sedikit dugaan praktik korupsi terjadi di setiap Organisasi Perangkat Daerah (OPD). Sayangnya, sejauh ini penegak hukum, baik itu Kejaksaan maupun Kepolisian belum maksimal menyentuhnya, sehingga oknum yang diduga menilep uang rakyat itu masih bernapas lega.

Dari sekian dugaan korupsi yang sudah masuk ke penegak hukum, tercatat hanya dua yang masih diproses lanjut, yakni dugaan korupsi di Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) serta di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dikbud) Maluku Utara. Sedangkan dugaan korupsi uang makan minum di Biro Umum Pemprov senilai Rp 10 miliar, proses penyelidikannya sudah dihentikan Kejaksaan Tinggi (Kejati) dengan alasan tidak ditemukan unsur pidananya.

DISPORA

Di Dispora Maluku Utara, anggaran beberapa kegiatan diduga terjadi penyelewenangan, seperti anggaran refocusing tahun 2020 senilai Rp 1,6 miliar, rehabilitasi gedung PPLP senilai Rp 1,4 miliar dan anggaran untuk kegiatan paskibraka senilai Rp 1,2 miliar. Ada pula  Pokir DPRD tahun 2021, yang diprioritaskan lintasan tartan kurang lebih Rp 1 meliar lebih serta lapangan GOR terletak di desa Akekolano Kecamatan Oba senilai Rp 2,2 miliar.

Dengan terjadinya dugaan korupsi tersebut, Reskrimsus Polda Maluku Utara akhirnya melakukan penyelidikan. Belum lama ini Kadispora Ansar Daaliy telah menjalani pemeriksaan.

Beberapa hari usai diperiksa, Ansar angkat bicara di media. Ia membantah bahwa dirinya tidak menggelapkan anggaran refocusing tahun 2020 dan rehabilitasi gedung PPLP serta lainnya.

Ansar mengatakan, semua informasi yang dialamatkan kepadanya terkait korupsi anggaran pengadaan marching band senilai Rp 1,9 miliar, rehabilitasi gedung PPLP Rp 1,4 miliar ditambah dengan kegiatan paskibraka Rp  1,2 miliar, tidak benar.

“Jadi informasi dan laporan tentang saya tidak betul. Momen ketika kami dipanggil oleh Polda Maluku Utara, saya sudah bawa juga sejumlah data, salah satunya kontrak marching band. Jadi marching band di DPA hanya Rp 280 juta. Karena ikut tender akhirnya turun sampai Rp 270 juta. Kalau ada yang bilang Rp 1,9, itu tidak benar. Kontraknya ada dan itu juga saya sudah perlihatkan ke mereka, ” katanya pada Nuansa Media Grup (NMG), Rabu (27/4) lalu.

Ia menyebutkan, terkait proyek pembangunan gedung PPLP hanya sebatas rehabilitasi dalam bentuk penunjukan langsung (PL). Untuk anggaran refocusing Rp 1,6 miliar, dirinya mengaku telah memperuntukan sesuai program.

“Saya bilang Rp 1,4 miliar dapat dari mana. Di sana itu hanya rehab melalui PL saja. Ini kalau kumpul kemari hanya sekitar Rp 5 ratus lebih. Kemudian anggaran refocusing memang betul Rp 1,6 miliar, tapi dibagi empat kegiatan di antaranya, rapid test para atlet, pelatih,  PPLP dan PON Papua satu  serta pembagian sembako ke atlet dan  wirausaha. Dan semua kegiatan ini sudah diaudit oleh BPKP, tidak ada temuan apa-apa,” katanya lagi.

Sementara Pokir DPRD tahun 2021, yang diprioritaskan lintasan tartan kurang lebih Rp 1 meliar lebih. Sedangkan untuk lapangan GOR terletak di desa Akekolano Kecamatan Oba senilai Rp 2,2 miliar itu, kata dia, semuanya sudah dilaksanakan, tetapi mengalami kendala dikarenakan anggaranya tidak cair  100 persen sehingga pihak rekanan tidak bisa menuntaskan. “Anggarannya kan hanya  cair 30 persen, akhirnya mereka tidak bisa laksanakan dan di situ langsung kita putus kontrak

DIKBUD

Sementara di Dikbud Maluku Utara, yang disalahgunakan adalah anggaran kegiatan proyek Kapal Nautika dan alat simulator senilai Rp 7,8 miliar. Kasus ini telah menyeret dua orang ke penjara, setelah disidangkan ke Pengadilan Negeri (PN) Ternate belum lama ini. Meski sudah ada putusan untuk empat orang terdakwa, dimana dua lainnya dinyatakan bebas, termasuk mantan Kepala Dikbud Imran Jakub, tetapi dalam fakta persidangan hakim menyebutkan ada dugaan keterlibatan orang lain.

Fakta persidangan menyebutkan ada dua nama yang mestinya diperiksa Kejaksaan Tinggi (Kejati) Maluku Utara, karena diduga terlibat dalam praktik dugaan korupsi tersebut. Mereka adalah Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Kadikbud) Imam Makhdy Hasan dan mantan Plt Kadikbud Djafar Hamisi.

Imam Makhdy dan Djafar Hamisi disebut menandatangani pencairan uang muka 20 persen, 70 persen hingga pencairan 100 persen proyek Nautika dan Alat Simulator. Itu tertuang dalam salinan putusan mantan terdakwa Imran Yakub, Nomor 16/PID.SUS-TPK/2021/PN Ternate. Dalam Salinan itu menegaskan, bukan Imran Yakub yang menandatangani pencairan tersebut.

Nama keduanya masuk dalam pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Ternate, saat membacakan putusan bebas terhadap terdakwa mantan Kadikbud Malut, Imran Yakub, pada sidang 16 Februari 2022 lalu. Sehingga, Djafar Hamisi dan Imam Makhdy disebutkan sebagai pihak yang seharusnya bertanggungjawab, karena telah melakukan pencairan tanpa adanya permohonan pencairan, progres pekerjaan dan berita acara serah terima.

Fakta persidangan yang belum ditindaklanjuti Kejai Maluku Utara ini mendapat respons praktisi hukum Maluku Utara, Iskandar Yoisangaji. Ia mengatakan, berdasarkan putusan pengadilan tersebut, maka Kejaksaan Tinggi Maluku Utara harus menindaklanjuti untuk melakukan pemeriksaan terhadap Imam Makhdy dan Djafar. Itu karena perkara ini telah ditangani pihak kejaksaan sejak awal.

“Maka menjadi pertanyaan hukum adalah mengapa pada proses penyidikan masalah ini tidak terungkap sejak awal? Ini harus dibuka suapay terang dan publik juga tahu, bukankah dalam hukum pidana ada prinsip In criminalibus, probationes bedent esse luce clariores yang artinya dalam hukum pidana bukti itu harus lebih terang dari pada cahaya,” ujarnya menegaskan.

Menurutnya, fakta hukum seperti itu mestinya sudah harus digali sejak awal oleh penyidik Kejaksaan Tinggi Maluku Utara, sebelum perkara tersebut dilimpahkan ke pengadilan agar tidak error inpersona. Di sisi yang lain, Kejaksaan memiliki kewenangan untuk melakukan penyidikan, apalagi kasus ini sejak awal telah dipegang oleh Kejaksaan Tinggi Maluku Utara.

“Olehnya itu, kami menganggap keliru jika Kejaksaan memandang tidak memiliki kewajiban untuk menindak lanjuti pertimbangan hakim. Apalagi Kajati Maluku Utara memiliki komitmen terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi. Komitmen itu tidak hanya berwujud slogan tetapi harus diimplementasikan,” harapnya.

Iaskandar mengatakan, kasus korupsi proyek pengadaan Kapal Nautika dan alat simulator tahun 2019 senilai Rp 7,8 miliar, yang mana Pengadilan Negeri Ternate telah menjatuhkan putusan bebas kepada terdakwa Imran Yakub dengan putusan pengadilan nomor 16/PID.SUS-TPK/2021/PN Tte, sementara ini Jaksa Penuntut Umum melakukan upaya hukum kasasi.

Meskipun demikian, berterkaitan dengan pertimbangan hakim sebagaimana putusan tersebut menyebutkan nama bekas pelaksana tugas Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Kadikbud) Provinsi Maluku Utara dan Kadikbud Malut aktif saat ini, menyatakan dalam pencairan, baik uang muka 20 persen dan 70 persen untuk paket kapal nautika dan alat simulator, serta pencairan 100 persen untuk paket simulator, bukanlah terdakwa Imran Jakub yang membubuhkan tanda tangan selaku pengguna anggaran melainkan saksi Djafar Hamisi dan saksi Imam Makhdy, sebagai pihak yang seharusnya bertanggungjawab.

“Ini bukan merupakan pertimbangan majelis yang diada-adakan, tetapi ini fakta hukum yang terungkap dalam persidangan. Inilah penilaian hakim berdasarkan persesuaian bukti-bukti yang ada dan saya yakin aparatur hukum pasti paham soal itu,” pungkasnya. (kep)