Polmas  

Terkait Perubahan Nama Maluku Utara, Sesama Akademisi Beda Pendapat

Dr Aji Deni.

TERNATE, NUANSA – Ide pengusulan pergantian nama Provinsi Maluku Utara (Malut) yang didengungkan Forum Akademisi Pemerhati Maluku Utara (FAPMU), mendapat respons Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Muhammadiyah Maluku Utara (UMMU), Dr Aji Deni.

Menurut Aji, sejauh ini belum ada hasil penelitian yang menyebutkan bahwa etnis yang heterogen itu melemahkan. Selain itu, belum tentu juga etnis yang homogen saja yang bisa mendorong pembangunan suatu daerah. “Jika persoalan sebuah nama provinsi terletak pada etnis dan masih bersifat dugaan sementara, maka hal itu tidak berdasar. Karena masyarakat Maluku Utara sudah terlahir dari masing-masing etnis yang berbeda,” ujarnya pada Nuansa Media Grup (NMG), Senin (30/5).

“Kalau kita buat perbandingan antara Maluku Utara dan Gorontalo, memang kebetulan Gorontalo itu etnisnya homogen, sedangkan Maluku Utara etnisnya heterogen, sehingga kita tidak bisa melihat sepintas. Orang Gorontalo itu sumber daya manusianya sudah tersedia, sudah siap jauh sebelum dimekarkan, dan banyak yang sudah tersebar di Sulawesi Utara,”tambahnya mengatakan.

Aji Deni mengatakan, jika sebuah nomenklatur Maluku Utara merupakan bagian dari penghambat pembangunan, maka ia tegaskan, itu hanya sebuah persepsi. Pasalnya, jumlah penduduk merupakan salah satu hal yang mempengaruhi tingkat pertumbuhan ekonomi. Di sisi lain, Gorontalo sebagian besar berada di daratan yang saling menghubungkan, sehingga pembangunan infrastrukturnya sudah begitu banyak, karena kognisi perdagangannya sudah terkoneksi dengan Sulawesi Tengah dan Sulawesi Utara.

Gorontalo, dalam aspek budaya untuk bercocok tanam dan berkebun juga sudah membuahkan hasil, sehingga mereka sudah bisa mengekspor, sedangkan Maluku Utara masih impor. Selain itu, lanjut dia, salah satu faktor yang mendukung tingkat kemajuan Gorontalo adalah presisi pengelolaan sumber daya alam (SDA) yang mereka genjot di tingkat agrobisnis.

Sedangkan Maluku Utara, kata dia, dalam aspek politik masih terkotak-kotak. Frame berpikir politiknya lebih ke-arah pribadi dan kelompok, sehingga itu harus segera diatasi dan diberikan pencerahan oleh akademisi yang punya keahlian.

Aji mengakui, akademisi di Maluku Utara tidak begitu dilibatkan dalam pembangunan daerah, sementara di daerah-daerah lain, mereka sangat percaya kepada kemampuan akademisi. Olehnya itu, untuk mengusulkan perubahan nama Maluku Utara, harusnya tidak langsung dipublikasikan atau dijustifikasi bahwa sumber masalah terletak pada sebuah nama provinsi, karena itu terlalu cepat dan setidaknya lebih dulu dilakukan survei.

“Kalaupun itu bersifat dugaan sementara, mestinya tidak bisa dijadikan patokan untuk sebuah nama provinsi diklaim sebagai akar masalah. Lihat saja, pergeseran nama Irian Jaya ke Papua itu tidak membantu kemajuan daerah tersebut, sekalipun mereka sudah kembali ke habitat asli orang Papua. Begitu pula di Makassar yang dulu namanya masih Ujung Pandang. Tetapi Ujung Pandang kala itu sudah mengalami kemajuan. Intinya bukan nama yang perlu diubah, tetapi alokasi anggaran dan peningkatan sumber daya manusia, terutama peningkatan pendidikan terhadap birokrat,” tambahnya menjelaskan.

Di sisi lain, Aji mengklaim perubahan nama provinsi belum terlalu urgen. Pasalnya, saat ini yang diharapkan adalah pembangunan infrastruktur. Sangat disayangkan, pada tahun 1999 sejak dimekarkan tidak dicantumkan nama Provinsi Kepulauan. Padahal Maluku Utara ini sejatinya berada di wilayah kepulauan.

“Sehingga kalau memang merasa namanya perlu diubah, maka yang tepat adalah Provinsi Kepulauan Maluku Utara. Karena urgensinya Maluku Utara akan mendapatkan banyak hitungan ekonomi yang menguntungkan dari sisi Kepulauan,”jelasnya.

FAPMU

Sebelumnya, sejumlah dosen yang membentuk  Forum Akademisi Pemerhati Maluku Utara (FAPMU) mewacanakan perubahan nama Provinsi Maluku Utara. Beberapa nama telah disiapkan, dan akan dibuat poling dengan tujuan mendapat respons publik.

Gagasan ini muncul beberapa hari lalu. Ide ganti nama provinsi Maluku Utara mengemuka ketika para akademisi itu berkumpul dan mendiskusikan terkait pembangunan di daerah ini yang dianggap tidak pernah mengalami kemajuan. Bahkan, jika dibandingkan dengan Provinsi Gorontalo, Maluku Utara terbilang masih kalah jauh, padahal sudah berusia 21 tahun. Usia Gorontalo hanya beda bulan dengan Maluku Utara.

“Dari diskusi itu, kami menemukan dua hal. Pertama, terletak pada kelakuan politik politisi kita yang cenderung tidak peduli perkembangan pembangunan di Maluku Utara. Hal itu muncul karena politik Maluku Utara selalu berbasis pada semangat etnis, ketika momen pilkada dan sebagainya. Sialnya, etnis ini dibawa ke dalam birokrasi pasca pemilihan, sehingga birokrasi yang mestinya menjadi wadah peleburan bagi kepentingan masyarakat dari berbagai etnis, justru tidak bisa berjalan efektif untuk membangun daerah,”tutur Dr Murid Tonirio, salah satu penggagas FAPMU melalui konferensi pers di Restoran Dapur Sorasa, Minggu (29/5).

Bagi dia, politisasi etnis akan bisa terjawab jika kecerdasan politik masyarakat meningkat dalam politik praktis pada pemilu. Artinya, sentimen etnis akan hilang, kalau masyarakat tidak lagi mempersoalkan etnis sebagai basis politik yang penting.

Menurut Murid, selain begitu kentalnya politik etnis, penamaan daerah juga tentu patut dibahas. Ia bersama jajaran FAPMU menaruh perhatian serius terhadap nama Maluku Utara, apakah bisa memiliki nilai tawar di pusat atau tidak. Bagaimana tidak, sejauh ini, ketika orang Maluku Utara, termasuk jajaran pemerintah yang berurusan di Jakarta, ketika menyebut nama Maluku Utara, orang luar justru masih mengaitkan dengan Provinsi Maluku. Padahal, Maluku dan Maluku Utara adalah dua provinsi yang berbeda.

Murid mengatakan, nama sebuah daerah tentu memiliki pengaruh besar dalam berbagai aspek. Misalnya ada pihak tertentu yang menyusun program pembangunan daerah, kemudian mengalokasikan, pasti memori politik mereka masih mengaitkan Maluku Utara dengan Maluku. Bukan tidak mungkin, Maluku Utara dalam bayangkan orang di pusat sama dengan Kabupaten Maluku Tengah, Maluku Tenggara dan Kabupaten Maluku Tenggara Barat. Jika itu yang terjadi, maka berpengaruh pada pengalokasikan anggaran.

Lihat saja, selama ini anggaran untuk Provinsi Maluku Utara jauh lebih sedikit dari daerah lain, dan ketika ditambah Dana Alokasi Khusus (DAK), itu selalu mendapat resisten. Atas dasar itulah, FAPMU menginginkan dan memikirkan untuk mengubah nama Maluku Utara. Dengan demikian, pihaknya berharap orang Jakarta mengubah frame politik untuk melihat Maluku Utara.

“Namun ada dua masalah terkait nama apa yang akan dipilih. Karena orang kesultanan sejak Maluku Utara diperjuangkan menjadi provinsi, mereka sudah memilih Moloku Kie Raha. Kalau misalnya kita memilih Moloku Kie Raha, apakah nama itu cukup dijual atau justru Jakarta resisten. Karena ini persoalan politik yang berkaitan dengan integrasi nasional,” jelasnya.

Selanjutnya, kata Murid, diam-diam ada orang yang pernah mendiskusikan kalau nama Maluku Utara diganti menjadi Halmahera Kepulauan. Bagi dia, dalam kajian-kajian kebudayaan atau antropologi, ketika orang berbicara tentang Halmahera Kepulauan, maka hal itu adalah sebuah kebudayaan. Mereka sebut Halmahera Kepulauan, karena keterbelahan kebudayaan.

” Ketika mengusulkan nama menjadi Kepulauan Maluku. Ini menarik. Karena, ketika kita mengklaim Kepulauan Maluku, maka Maluku akan berada di bawah Maluku Utara. Provinsi Kepulauan Maluku, itu artinya Maluku Utara di atas dan Maluku berada di urutan bawah. Namun, semua masih punya kelemahan. Kalau kita masih menggunakan kata Maluku, asosiasi orang Jakarta agak susah berubah,” ujarnya.

Murid menambahkan, pihaknya mencoba mendorong ini menjadi gerakan yang lebih besar untuk menjadi isu bagi masyarakat Maluku Utara. Dalam waktu dekat, pihaknya akan membuat satu survei, sehingga secara metodologis bisa dipertanggungjawabkan.

“Kita akan mensurvei masyarakat Maluku Utara, apakah mereka masih mau dengan nama Maluku Utara atau mau mengubah nama tersebut. Kalau mau mengubah, nama apa yang akan diusulkan. Ada kemungkinan tiga nama. Kalau mereka mau salah satu dari tiga nama ini, kami akan menyiapkan ruang. Kalau mau dan tidak mau diubah apa alasannya. Sehingga kita bisa mendapatkan peta kognisi,” jelasnya.

Masih menurut Murid Tunirio, sementara ini pihaknya menyiapkan proposal untuk survei. Setelah itu, akan uji validitas. Ada 10 kuesioner yang akan disebarkan. Akhir Juni 2022 nanti FAPMU sudah mulai survei. Dari hasil survei itu nanti dibuat forum untuk didiskusikan bersama akademisi, tokoh masyarakat, stakeholder, wartawan, mahasiswa dan pemuda.

“Hasil diskusi itu nanti kami buat naskah akademik. Jika ada usulan perubahan nama yang banyak kita akan tindaklanjuti. Tentu dengan nama yang terbanyak. Sehingga tidak menimbulkan konflik atau kekerasan. Dan nanti usulannya itu kita teruskan ke DPRD untuk ditindaklanjuti ke Jakarta, terkait Undang-Undang pembentukan provinsi Maluku Utara sesuai nama yang diubah,” tutupnya. (tan/rii)