Daerah  

Basri Salama: Ide Perubahan Nama Maluku Utara Tak Mendasar

Basri Salama. (Istimewa)

TERNATE, NUANSA – Pernah terlibat dalam perjuangan pemekaran provinsi, Basri Salama, angkat bicara terkait ide perubahan nomenklatur Maluku Utara. Basri tidak sependapat dengan sejumlah dosen yang tergabung dalam Forum Akademisi Pemerhati Maluku Utara (FAPMU) yang pertama kali menggagas ide perubahan nama tersebut.

Menurut Ketua DPD Partai Hanura Maluku Utara ini, pada tahun 1998 jelang finalisasi pembahasan RUU Pembentukan Provinsi, sudah pernah terjadi perdebatan alot para tokoh-tokoh daerah pada saat itu tentang nama provinsi. Sehingga akhirnya disepakatilah nama Provinsi Maluku Utara.

“Sebagai orang yang pernah terlibat dalam perjuangan Pembentukan Provinsi Maluku Utara, bagi saya tidak ada alasan mendasar untuk mengganti nama. Sebab, nama Maluku Utara sendiri diambil dari nama Kabupaten Maluku Utara yang kemudian menjadi embrio lahirnya beberapa Daerah Otonom baru (DOB) kala itu. Sejarah ini tidak bisa dihilangkan,” tandas Basri.

Dia menambahkan, jika alasan perubahan nama Maluku Utara adalah karena identik dengan Maluku, maka itu bukan alasan yang tepat. Nama Maluku Utara sendiri bagi Basri sudah sangat terkenal di seluruh kementerian dan lembaga, dan semua nomenklatur program disebutkan Maluku Utara.

“Problem kita sesungguhnya bukan soal nama provinsinya, tapi lebih kepada kepemimpinan di daerah. Kemajuan daerah kita yang lambat karena kita belum memiliki kepemimpinan yang mumpuni untuk disejajarkan dengan daerah lain dalam mengakselerasi pembangunan daerah,” tambahnya.

Ditambahkan olehnya, mengganti nama provinsi berarti dibutuhkan waktu yang cukup lama untuk dikenal kembali. Selain itu, tidak ada survei yang menyatakan bahwa kelambatan dalam kemajuan daerah diakibatkan oleh nama provinsi.

“Sehingga bagi saya, pendapat para akademisi perlu kajian yang lebih mendalam, jika perlu tidak usah ada usulan seperti itu,” paparnya.

Basri menyarankan, mestinya yang dipikirkan oleh akademisi di Maluku Utara saat ini adalah soal menyodorkan pikiran-pikiran membangun ke seluruh daerah. Apalagi di Maluku Utara saat ini dibanjiri oleh masuknya investasi sektor pertambangan, tapi sumber daya manusianya tidak berdaya atau bahkan tidak siap.

Seperti fakta bahwa puluhan ribu karyawan di industri pertambangan masih makan makanan dari luar daerah, mulai dari sayur, daging, dan bahkan buah. Tidak ada satu daerah pun di Maluku Utara ini yang mampu menyuplai kebutuhan konsumsi para karyawan di perusahaan.

“Nah, yang begini ini yang mestinya jadi fokus para akademisi kita. Sehingga kita tidak perlu menghabiskan waktu pada usulan-usulan yang tidak perlu dan tidak mendesak,” sarannya.

Saat ini, sambung Basri, masyarakat membutuhkan satu sudut pandang tentang bagaimana mereka mampu bangkit saat kekayaan alam Maluku Utara diambil begitu saja sementara masyarakat hanya menjadi penonton dan jadi kuli. Justru hasil kekayaan itu hanya dinikmati oleh segelintir orang dan tidak dinikmati oleh rakyat. Selian itu, seluruh komponen harus bersatu untuk meminta pemerintah untuk memberi perhatian khusus dan pembiayaan besar untuk pembangunan daerah ini.

“Itu yang penting. Kita tidak bisa berharap pada pemerintahan daerah saat ini. Karena belum pernah ada sejarah sejak daerah ini dibentuk, Gubermur kumpul seluruh kepala daerah untuk membahas kepentimgan bersama.  Sekali lagi, belum pernah. Mestinya akademisi punya peran pada soal-soal begini. Paksa  para pemimpin kita ini, duduk satu meja, saling sokong dalam pembangunan, tidak boleh berjalan sendiri. Ini yang harus kita lakukan,” pungkasnya. (kep)