Daerah  

Akademisi Sarankan Gubernur Tak Bicara Politisasi, Fokus Saja Kelebihan Pekerjaan Masjid Raya

Akademisi Universitas Khairun, Abdul Kadir Bubu. (Dok. Pribadi)

TERNATE, NUANSA – Pernyataan Gubernur Maluku Utara Abdul Gani Kasuba (AGK) terkait adanya politisasi dalam dugaan permintaan fee proyek Masjid Raya Sofifi oleh Ketua Gerindra Malut Muhaimin Syarif, dinilai oleh akademisi sangat tidak tepat.

Hal itu dikatakan oleh akademisi Universitas Khairun, Abdul Kadir Bubu, Jumat (1/7) hari ini kepada Nuansa Media Grup (NMG). Menurutnya, gubernur sebagai penangunggjawab dalam pemerintahan mestinya fokus pada kelebihan pekerjaan yang dilakukan oleh PT Anugerah Lahan Baru.

Apalagi kelebihan pekerjaan itu punya nilai yang tidak sedikit, yaitu kurang lebih Rp 5,8 miliar yang tidak bisa dibayar oleh Pemprov Malut.

Jika Pemprov beralasan kelebihan pekerjaan itu tidak dapat dibayar karena tidak ada payung hukumnya, menurut Kadir Bubu hal itu masih dapat diterima. Akan tetapi, kelebihan pekerjaan di luar dari dokumen kontrak oleh PT Anugerah Lahan Baru itu adalah atas dasar perintah lisan dari Gubernur.

“Masalah yang muncul saat ini adalah pada soal ini. Jadi jangan kaitkan dengan pekerjaan yang resmi dianggarkan dan sudah selesai pembayarannya,” tegasnya.

Terkait itu, Kandidat Doktor Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta ini mengajak untuk menelisik kembali bagaimana kadar perintah lisan itu dan bagaimana konsekuensi hukumnya. Perintah Gubernur secara lisan itu merupakan kebijakan resmi yang mesti dibarengi dengan dokumen administratif, yang harus mendapat penetapan atau pengesahan dari DPRD.

“Gubernur ketika melakukan perintah kepada pihak rekanan untuk melengkapi kekurangan pekerjaan yang tidak ada dalam dokumen anggaran itu, maka dalam kapasitasnya selaku wakil dari badan hukum pemerintah, dalam konteks ini Gubernur tunduk pada norma hukum perdata dan pelanggaran atasnya diskualifikasi sebagai ingkar janji (Wanprestasi),” tandas Dade, sapaan akrab Abdul Kadir Bubu.

Selain itu, ketika perintah lisan itu dikeluarkan AGK, bertindak untuk dan atas nama jabatan pemerintah, yakni Gubernur dan tunduk pada norma hukum publik, maka melekat kewajiban baginya untuk melengkapi seluruh dokumen yang terkait dengan isi perintah lisan tersebut.

“Dalam konteks ini jika dikaitkan dengan polemik yang terjadi saat ini, nampak jelas kedudukannya siapa sebenarnya yang lalai,” lanjut Dade.

Dalam hukum administrasi negara, lanjutnya lagi, prinsip dasar keabsahan tindakan hukum pemerintah adalah wewenang, prosedur dan substansi. Perintah lisan Gubernur untuk tambahan item perkerjaan kepada PT Anugerah Lahan Baru di luar dari dokumen resmi yang ditetapkan adalah masih dalam wewenangnya. Akan tetapi, tidak dibarengi dengan prosedur yang tepat, sekalipun substansinya jelas.

“Mestinya pekerjaan ini dapat dibatalkan saat itu, dan tidak terus berlanjut, sehingga tidak merugikan pihak lain,” katanya.

Dalam konteks ini, Dade menegaskan bahwa ini adalah kesalahan nyata dari Gubernur selaku penanggungjawab pelaksanaan pemerintahan. Serta Kesalahan atau kelalaian yang dilakukan pemerintah yang menimbulkan kerugian materiil kepada pihak lain mesti dipertanggungjawabkan.

Sebab dalam hukum administrasi negara, pemerintah dianggap mampu bertanggungjawab atas kesalahan atau kelalaian yang menimbulkan kerugian di pihak lain. Atas dasar itu, Dade menyarankan orang nomor satu di Pemprov Malut ini sebaiknya fokus mencari alternatif penyelesaian atas masalah kelebihan pekerjaan yang tidak dibayar Pemprov itu. Sehingga Jangan lagi berdalih nanti ada putusan pengadilan baru dibayarkan.

Terkait masalah Ketua Gerindra, Dade menuturkan, biarlah menjadi urusannya sendiri. Karena itu, jika Gubernur bicara tentang adanya politisasi pihak-pihak tertentu atas dugaan permintaan fee proyek oleh Muhaimin Syarif, maka sebenarnya yang bicara itulah yang melakukan politisasi.

“Karena masalah ini sebenarnya telah dilaporkan ke Kejaksaan Agung (Kejagung), dan dasar dari polemik ini dari kronologis laporan, sebagaimana yang disampaikan pelapor kepada media massa di Maluku Utara,” pungkasnya. (tan/kep)