Hukum  

Oknum Staf Jadi Dalang Dugaan Suap, Nama Institusi BPK Malut Tercoreng

Ilustrasi dugaan suap.

TERNATE, NUANSA – Setidaknya ini menjadi bukti kalau lembaga sekelas Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga tidak bersih-bersih amat. Jika berurusan dengan BPK, jangan berharap mendapat atensi utama kalau tidak dengan jalan pintas. Dalam melakukan pemeriksaan atas penggunaan keuangan negara, oknum di BPK diduga menerima suap. Ini bukan terjadi di BPK daerah lain, tetapi diduga terjadi di BPK perwakilan Maluku Utara (Malut).

Kabar buruk yang terjadi di tubuh BPK Maluku Utara mulai mencuat belakangan ini. Dugaan suap tersebut informasinya sudah berlansung sejak lama. Ini juga menjadi jawaban atas pertanyaan publik Maluku Utara, kenapa pengelolaan anggaran yang buruk di satu daerah tetapi bisa mendapat predikat wajar tanpa pengecualian (WTP) dari BPK. Untuk mendapat opini WTP, provinsi atau kabupaten/kota tidak harus repot-repot membenahi tata kelola keuangannya, tetapi dugaannya adalah cukup main mata saja dengan oknum BPK, maka daerah akan dapat WTP.

Bukan hanya itu, perusahaan yang mengerjakan proyek, di mana anggarannya bersumber dari APBD atau APBN, juga diduga melakukan transaksi yang sama. Jika perusahaan menginginkan tidak ada temuan dalam kegiatan, maka harus main mata juga dengan oknum di BPK.

Berdasarkan investigasi yang dilakukan Nuansa Media Grup (NMG), salah satu staf BPK perwakilan Maluku Utara berinisial YA diduga menjadi dalang di balik dugaan suap ini. YA diduga kuat menjadi penghubung perusahaan atau instansi pemerintah yang ingin berurusan dengan oknum di BPK. Urusan perusahaan dan instansi pemerintah tentu saja terkait dengan audit penggunaan keuangan negara. Dalam melancarkan aksinya, YA menjadikan salah satu warga Ternate sebagai tumbal. Orang itu berinisial SS. YA dan SS pertama kali kenal tahun 2020. Masalah ini sudah sampai ke telinga BPK Pusat. YA sendiri sudah diperiksa inspektur pengawasan BPK, termasuk rekeningnya. Dua orang lainnya di BPK perwakilan Maluku Utara juga dimintai keterangan.

Perkenalan keduanya terjadi di bengkel milik SS yang terletak di Ternate. Ketika itu YA memperbaiki mobilnya yang rusak di bengkel SS. Dari situlah, hubungan keduanya mulai dekat. Tak lama kemudian, YA mengajak SS berbisnis mobil bekas. Setelah hubungan bisnis mereka berjalan, tiba-tiba satu per satu orang mengatar uang dengan jumlah yang tidak sedikit di rumah dan bengkel SS. Kaget dengan uang yang diantar kepadanya, SS menanyakan YA. YA sampaikan ke SS agar simpan saja uang yang diserahkan orang yang diketahui sebagai suruhan pengusaha itu.

SS diduga pertama kali menerima uang Rp 800 juta dari PT L pada 18 Januari 2020. Uang itu diantar seseorang berinisial F. Pada 19 Februari 2020, SS kembali menerima uang Rp 750 juta. Yang menyerahan uang ini dari perusahaan yang sama dan juga dibawa oleh F. Ketika itu SS menanyakan ke YA, uang apa yang ia terima itu. YA hanya menyuruh SS mengambilnya saja. Pada 3 Maret 2020, YA menyuruh SS mengambil uang Rp 500 juta di rumah F di Kelurahan Tanha Tinggi. Uang ini masih dari PT L.

Selain itu, pada 20 Maret 2020 SS masih disuruh YA untuk menerima uang dari dua perempuan berinisial A dan U sebesar Rp 850 juta. Uang itu bersumber dari PT I. Selanjutnya, pada 30 Maret 2020 SS masih mengambil uang dari orang sama dan perusahaan yang sama sebesar Rp 250 juta. Setelah itu, pada 13 April, YA menyuruh SS untuk mengambil uang di seorang pria berinisial A sebesar Rp 1,5 miliar. Kemudian pada 17 April YA kembali menyuruh SS uang titipan seseorang berinisial K di dekat Bank Indonesia sebesar Rp 650 juta.

Selanjutnya, 22 April 2020, SS disuruh mengambil uang dari K atas perintah YA sebesar Rp 700 juta. Uang ini diambil di dekat Bank Indonesia. Pada 2 Mei 2020, seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) berinisial I datang ke rumah SS atas perintah YA. ASN itu membawa uang Rp 900 juta. Pada 28 Juli 2020, SS disuruh YA mengambil uang dari seorang perempuan berinisial I sebesar Rp 920 juta. Uang itu diserahkan di depan Rumah Sakit Medika, Kelurahan Kota Baru, Kecamatan Ternate Selatan.

Tidak sampai di situ, pada 3 Agustus 2020, SS masih disuruh YA untuk mengambil uang dari seorang perempuan berinisial I sebesar Rp 900 juta. Uang sebesar itu diserahkan di kawasan Perikanan, Kelurahan Bastiong, Kecamatan Ternate Selatan. Pada 6 April 2021, di tempat yang sama dan dari orang yang sama sebesar Rp 4 miliar.

Setelah itu, YA memerintahkan SS untuk mengirimkan uang ke sejumlah orang, yakni ke seorang perempuan berinisial A, kemudian seorang perempuan lagi berinisial M. SS juga mengirimkan uang ke YA melalui bank. YA juga mengambil uang cash dari tangan SS. Tak sampai di situ, SS juga disuruh YA untuk mengirim sejumlah uang PT. G. Uang itu diduga untuk pembayar vila. Setelah itu, SS juga beberapa kali didatangi salah seorang security BPK berinisial S untuk mengambil uang atas perintah YA. Uang yang diambil oknum security itu diduga diserahkan ke oknum lain di tubuh BPK.

Dugaan suap yang melibatkan oknum BPK Maluku Utara ini sudah dilaporkan ke Polda Maluku Utara dan Kejaksaan Tinggi Maluku Utara. Selain itu, SS juga telah dilaporkan YA ke Reskrimum Polda Maluku Utara atas dugaan penggelapan dan penipuan. SS kini berstatus tersangka. SS juga telah menggugat YA secara perdata di Pengadilan Negeri Ternate. Sebab, SS sudah menggunakan uang pribadinya untuk mengirim uang ke sejumlah orang atas perintah YA dan uang itu belum dikembalikan oleh YA. Perkara perdata di Pengadilan Negeri Ternate sementara dalam proses persidangan. (tim)