Tambang Rakyat Milik NHM Diduga Tanpa Izin, Mahasiswa Desak Polri Usut

ilustrasi aktivitas tambang.

JAKARTA, NUANSA – Puluhan massa yang tergabung dalam Forum Mahasiswa Maluku Utara (Formmalut) menggelar aksi unjuk rasa di depan kantor Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) di Jalan Medan Merdeka, Jakarta, Jumat (2/9).

Pada itu mahasiswa mendesak Kementerian ESDM RI dan Polri untuk melakukan investigasi dan penyelidikan terkait indikasi tambang rakyat tanpa Izin Pertambangan Rakyat (IPR) milik PT. Nusa Halmahera Mineral (NHM) yang beroperasi di Gosowong, Kabupaten Halmahera Utara, Provinsi Maluku Utara.

Koordinator lapangan (Korlap) aksi, Betran Sulani menyebut ada indikasi kuat tambang rakyat yang berada dalam konsesi PT. NHM tidak memiliki izin usaha pertambangan rakyat sebagaimana yang diperintahkan dalam ketentuan perundangan-undangan tentang Minerba.

Betran mengatakan, dalam ketentuan Undang-Undang (UU) nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba) mengenai kawasan pertambangan rakyat, terdapat beberapa kriteria yang harus diperhatikan

Kriteria tersebut, dua diantaranya yaitu satu, tidak tumpang tindih dengan Wilayah Usaha Pertambangan  (WUP)  dan Wilayah Pencadangan Negara (WPN). Kedua, merupakan kawasan peruntukan pertambangan sesuai dengan rencana tata ruang.

“Namun tambang rakyat yang ada di Gosowong ini berada dalam konsesi wilayah usaha pertambangan milik PT. NHM. Diduga kuat, PT. NHM melakukan perbuatan melawan hukum yang dibungkus dengan kebaikan kepada masyarakat lingkar tambang dengan ketersediaan pekerjaan,” jelas Bertan kepada Nuansa Media Grup (NMG), melalui keterangan tertulis.

Betran menegaskan bahwa sejatinya PT. NHM harus membantu masyarakat untuk memiliki akses legal dengan melepaskan kawasan tambang rakyat yang berada dalam WUP miliknya secara mandiri diajukan oleh rakyat sebagai pemohon dan dibantu oleh pemerintah untuk mendapatkan IPR. “PT. NHM silakan perlihatkan IPR tambang rakyat dalam penguasanya. Ini dugaan illegal mining dari suatu korporasi besar atas nama kebaikan dan kesejahteraan,” tegasnya

Ia menjelaskan, setiap kgiatan pertambangan di Indonesia dilakukan oleh perusahaan tambang yang telah memiliki izin resmi. Namun tidak jarang juga ditemukan perusahaan tambang yang tidak memiliki izin resmi.

Hal ini jelas memiliki dampak terutama pada aspek lingkungan dan keselamatan kerja  yang diakibatkan oleh tidak diperhatikannya aspek-aspek penting sehingga akibat yang ditimbulkan dengan adanya pertambangan tersebut.

Lebih lanjut, Betran menuturkan bahwa sehubungan dengan adanya kegiatan pertambangan tanpa izin atas benda di tanah sebagaimana instruksi Presiden Republik Indonesia nomor 3 tahun 2000 tentang Koordinasi Penanggulangan Masalah Pertambangan Tanpa Izin.

Pada ayat 2 dalam instruksi tersebut menyebutkan bahwa untuk mengarahkan kesadaran dan ketaatan hukum masyarakat dalam melakukan kegiatan usaha, termasuk kegiatan usaha pertambangan secara benar dan legal sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku dan apabila diperlukan melakukan tindakan represif secara hukum.

Atas dasar itu, pihaknya khawatir jangan sampai masyarakat menjadi korban karena ada indikasi tambang rakyat itu tidak memiliki IPR. “Jangan sampai masyarakat jadi korban karena indikasi tambang rakyat tanpa IPR milik PT. NHM Ini” tutur Betran.

Pertambangan, tambah Betran, ada resiko tindak pidana jika kegiatan penambangan dilakukan pelaku tanpa izin. Di mana perbuatan ini merupakan tindak pidana yang diatur dalam pasal 158 UU Pertambangan yang berbunyi, setiap orang yang melakukan usaha penambangan tanpa IUP, IPR atau IUPK sebagaimana dimaksud dalam pasal 37, pasal 40 ayat (3), pasal 48, pasal 67 ayat (1), pasal 74 ayat (1) atau (5), dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp.10 miliar.

“Oleh karena itu, kami mendesak kepada Kementrian ESDM dan Mabes Polri segera mengusut tuntas indikasi tambang rakyat PT. NHM tanpa IPR,” tukasnya.

Selain itu, massa juga menilai PT. NHM termasuk salah satu perusahaan yang cukup buruk dalam kepatuhan. Misalnya, pernah menganggap remeh DPRD Provinsi Maluku Utara dan Pemda Halmahera Utara. (red)