Oleh: Tanwin Fataha, S.Pd
Belakangan ini kita diperlihatkan sepenggal video yang berseliweran di platform media sosial, bahkan sudah merembet hingga ke media massa. Video tersebut mempertontonkan sosok oknum guru yang diduga melakukan tindakan kekerasan (penganiayaan) terhadap siswanya di salah satu SMA Kota Ternate.
Aksi perempuan paruh baya yang divideokan itu mendapat kecaman publik. Ini karena netizen hanya memandang pada satu sudut pandang tanpa memperhatikan sudut pandang lainnya. Di sini, saya tidak memihak kepada sesiapa.
Padahal, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) telah menerbitkan aturan yang melarang dan mencegah praktik-praktik kekerasan di sekolah. Itu sebabnya, Kemendikbud mengimbau agar dinas pendidikan lebih aktif melakukan sosialisasi aturan-aturan terkait sekolah aman dari tindakan kekerasan, baik kepada guru, siswa maupun tenaga pendidik.
Di dalam peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindakan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan, bahwa tindakan kekerasan yang dilakukan di lingkungan sekolah maupun antarsekolah, dapat mengarah pada suatu tindakan kriminal.
Berangkat dari regulasi yang tertuang dalam Permendikbud tersebut, maka seyogianya kita dituntut bijaksana dalam menelusuri sebuah informasi. Tersebab, kekerasan bisa terjadi kepada siapa saja, baik guru maupun siswa. Namun, lazimnya kekerasan kerap terjadi pada siswa dengan motif yang variatif. Begitu pula sebaliknya, kecil kemungkinan guru juga acap kali mendapat kekerasan.
Karena itu, jika ada siswa yang bandel, nakal, tidak disiplin dan seterusnya, maka sanksi ini sebaiknya diberikan dengan hukuman yang lain, bukan dengan cara melampiaskan amarah. Kekerasan itu jangan sampai menggores anggota tubuh sang murid hingga terluka atau bahkan membuat ia sampai lebam di sekujur tubuh.
Meski begitu, saya menyarankan ada baiknya diberi hukuman kerja ketimbang pukulan. Sebagai contoh membersihkan WC, merapikan perpustakaan atau menyapu lapangan. Meski tidak mudah dalam mengubah karakter siswa yang ‘nakal’, tetapi untuk menyentuh di hati siswa, maka tugas seorang guru harus memiliki pendekatan emosional terhadap siswa tersebut.
Kedudukan Guru itu Mulia
Pada penghujung Perang Dunia II, Amerika Serikat (AS) menjatuhkan bom atom di Kota Hiroshima dan Nagasaki. Dahsyatnya ledakan bom tersebut membuat dua kota di Jepang ini luluh lantak dalam waktu sekejab.
Ketika mendengar berita pemboman tersebut, Kaisar Hirohito selaku pimpinan tertinggi Jepang kala itu langsung mengumpulkan para Jenderal yang masih hidup. “Berapa jumlah guru yang tersisa?” cecar sang Kaisar. Mendengar pertanyaan itu, para Jenderal lantas bingung. Mula-mula mereka mengira sang Kaisar akan menanyakan sisa tentara, alih-alih guru yang masih tersisa.
Karena itu, sang Kaisar mengimbau kepada para Jenderalnya untuk mengumpulkan para guru yang tersisa di seluruh pelosok Jepang. Sebab, kata Kaisar, kepada gurulah seluruh rakyat Jepang harus bertumpu, bukan pada kekuatan pasukan. Alhasil, Jepang kini menjadi salah negara maju lantaran prioritas mereka terhadap pendidikan yang ditransformasikan dari peran seorang guru.
Ini terbukti, bahwa peran guru sangat penting dalam mengubah karakter siswa. Lantas, bagaimana jika kekerasan itu terjadi pada guru atau tenaga pendidik oleh siswa dan orang tua? Sejatinya, guru sebagai pendidik di sekolah menjadi salah satu motor penggerak untuk menjembatani siswa pada muara kesuksesan.
Guru menjadi salah satu pihak yang memiliki peran penting dalam mencegah terjadinya kekerasan yang berpotensi menimpanya. Karena itu, sebelum mengajar di ruang kelas, seorang guru dibekali empat kompetensi, yakni kompetensi pedagogi, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial dan kompetensi profesional. Dengan begitu, guru diharapkan mampu menjalankan profesinya sebagai pendidik.
Dalam melaksanakan tugasnya, seorang guru kerap menemui hal-hal yang di luar dugaan terkait perilaku siswa. Sebagai contoh, ketika berhadapan dengan siswa yang tidak sopan dan kerap melakukan kekerasan terhadap guru.
Itu sebabnya, seorang guru harus memiliki assessment (penilaian) kepada siswanya dari tiga aspek, yakni aspek kognitif (pengetahuan), afektif (sikap/karakter) dan psikomotorik (keterampilan). Ketiga aspek ini harus seirama dan berkesinambungan. Sebab, jika hanya dinilai dan diajarkan pada aspek khazanah pengetahuan dalam hal ini kecerdasannya, tetapi tidak dikorelasikan dengan karakter (afektif), maka indikator atau tujuan pembelajaran tidak akan tercapai. Akibatnya tindakan asusila akan mewarnai dunia pendidikan.
Pahlawan Tanpa Tanda Jasa
Pada 10 November, acap kali kita memperingati hari pahlawan nasional dengan mengilas balik perjuangan para pendahulu yang berjuang memerdekakan Indonesia. Bahkan, saban tahun di setiap daerah di Indonesia akan mengusung sosok yang bakal didapuk sebagai pahlawan nasional.
Sedangkan guru yang notabene memiliki peran penting dalam aspek pendidikan hingga tatanan kehidupan, dalam hal ini mendidik dan membimbing dari yang tidak tahu menjadi tahu, adalah perkara yang patut diberi penghargaan. Sayangnya, para guru itu hanya disematkan pahlawan tanpa tanda jasa.
Seorang guru pun tidak meminta untuk diusung sebagai pahlawan. Mereka hanya meminta dihargai. Dengan begitu, ilmu pengetahuan yang ditransformasikan akan sampai pada batok kepala sang murid. Atas dasar itu, hal ini mesti menjadi atensi semua pihak, terutama pihak sekolah, orang tua siswa dan pemerintah untuk saling bersinergi.
Sebab, peran guru di sekolah tidak akan berjalan paripurna, tanpa ada dukungan moril dari pihak orang tua dan pemerintah. Sekalipun guru adalah pendidik di sekolah, tetapi orang tua juga menjadi madrasah/sekolah pertama untuk anak-anaknya. (*)