Opini  

Kerusakan Lingkungan dan Moralitas Budak

Sarfan Tidore

Catatan untuk Ardiansyah Fauzi

 

Oleh: Sarfan Tidore

Pegiat Pilas

Tulisan seorang novelis, Ardiansyah Fauzi, bertajuk: “Tabbayun” yang dimuat/diterbitkan beberapa media daring itu, berupaya menanggapi tulisan Nurkholis Lamaau, bertajuk: “Al Hujurat, Berita, dan Opini” yang diterbitkan di laman perspektif, cermat.co.id. Saya kira ini sebuah polemik lewat saluran argumentatif yang sehat. Meski, konteks tulisan Ardiansyah, sama sekali tidak menyinggung, bahkan mengulas, kronologi awal hingga terjadi kekerasan terhadap jurnalis Nurhkolis di Tidore, dan siapa otak dan pelaku kekerasan itu.

Saya bersetuju dengan Novelis yang juga politisi ini mengutip pernyataan sebagian ulama, bahwa—yang berhak menafsir Alquran sesungguh adalah Rasulullah SAW. Sehingga saya berfokus pada konteks masalah kehidupan hari-hari (satire)—inti persoalan. Agar tak mengaburkan basis riil diskursus awal—dan saya menantang politisi ini, Ardiansyah Fauzi, untuk mendebatkan soal satire pejabat publik, Wakil Wali Kota Tidore: “Hirup Batu Bara Dapat Pahala” dalam dimensi fakta ekologis (kerusakan lingkungan).

Sebelumnya, dalam artikel, Ardiansyah Fauzi banyak mengulas kembali kisah Rasullah SAW dan para sahabatnya dalam soal penyampaian berita baik atau bohong, bisa dan tidaknya untuk disampaikan. Hal yang tidak seharusnya diperkarakan, menurut hemat saya. Dia keliru memahami atau bisa saja karena keberpihakannya, sebagai orang dekat kekuasaan, sehingga mengabaikan konteks.

Berita soal kehidupan sosial beragama dan sosial-politik adalah—dua hal yang teramat sangat berbeda. Baik konteks zamannya maupun kehidupan sosial-politik terutama dari segi kepemimpinannya. Ketidakpemahaman Ardiansyah Fauzi atau bisa saja karena dorongan keberpihakannya membawanya pada apa yang disebut Nietzsche, sebagai moralitas budak atau moralitas kawanan.

Moralitas budak adalah moralitas orang kecil, masal, lemah, moralitas yang tidak mampu untuk bangkit dan menentukan hidupnya sendiri dan selalu iri terhadap mereka yang kuat. Moralitas budak ini selalu mengikuti kelompok dan tidak berani bertindak sesuai keinginannya sendiri. Individu-individu ini dibius dengan nilai-nilai yang menjamin keberlangsungan moralitas dan salah satu nilai itu, adalah ketaatan individu terhadap otoritas, tulis Nietzsche.

Maka, tak diragukan lagi ketaatan mental seperti ini terhadap otoritas pajabat publik bersangkutan. Perlu diingat, pejabat publik itu (seharusnya–menjadi) panutan—Saya ingin melihat pejabat bersangkutan “bukan hirup, tetapi, habiskan asap batu bara” dan bila mendapat “pahala”, maka dia pantas menjadi panutan. Artinya masyarakat Tidore tak lagi ambil pusing soal pencemaran udara, kerusakan lingkungan dan kesehatan.

Tentu, satire harus dibalas dengan satire melalui basis argumentasi—agar tatanan berdemokrasi kita pun tumbuh menjadi lebih subur. Sebab, satire itu sendiri adalah kritik pengarang terhadap seseorang, kondisi, yang diungkap baik melalui ejekan, ironis dan sarkastis. Satire menjadi instrumen penting dalam ruang politik sebagai alas kritik sistem, penguasa, elit politik dan masyarakat itu sendiri.

Ingatkah Anda soal pengibaran bendera putih di Tidore, dan layakkah pejabat publik melalui satirenya, mengajak masyarakat hirup asap batu bara. Ini bukan perkara berita baik atau bohong, bisa dan tidaknya disebarkan. Soalnya adalah lakon satire yang dimainkan pejabat bersangkutan tidak dilandasi muatan argumentatif—mengapa berkata demikian dan bagaimana implikasi faktualnya terkait kesehatan lingkungan. Inilah yang diperkarakan pembuat artikel, dari pegiat lingkungan dan Jurnalis (Nurkholis Lamaau). Ingat, itu adalah—dua posisi yang berbeda.

Terkait kesehatan lingkungan, penelitian yang termuat dalam Journal Investigasi Ophthalmologi dan Visual Science menyebutkan, orang-orang yang sering menghirup, terpapar polusi udara memiliki peningkatan sebanyak enam persen mengalami glaukoma. Glaukoma dapat menyebabkan kebutaan permanen. Artinya tidak dapat disembuhkan lagi.

Penyebab paling umum yaitu terjadi penumpukan tekanan cairan di mata lalu membuat kerusakan saraf optik yang menghubungkan mata ke otak. Pun penyakit stroke, jantung, paru obstruktif kronik, kanker paru-paru, dan infeksi saluran pernapasan akut.

Selain kesehatan, polusi udara dapat mempengaruhi produktivitas seseorang. Akibat jangka panjangnya dapat menimbulkan persoalan sosial, konflik dan ekonomi keluarga. Semuanya itu berakar kuat pada soal kerusakan lingkungan (ekologi).

Pernyataan Nurkholis Lamaau sangat jelas, di antaranya, mestinya bisa membedakan mana risiko menjadi pejabat publik dan bagaimana membalas artikel atau opini, yang diterbitkan oleh media. Satire yang dilakonkan wakil wali kota Tidore, tentu publik berhak mempersoalkannya—adalah risiko menjadi pejabat publik. Lebih parah lagi, pejabat bersangkutan tak mampu bedakan berita dan opini. Bisa jadi, ini problem akal sehat, seperti yang selalu diungkap Rocky Gerung.

Ardiansyah Fauzi, lagi-lagi—bisa jadi, berupaya mengalihkan opini atau wacana dan membentengi dirinya lewat opini, dengan mengangkat peristiwa keagamaan para nabi-nabi terdahulu. Ini justeru tidak relevan sama sekali dengan konteks, yang menimpa jurnalis Nurkholis. Juga menantang Nurkholis Lamaau untuk mendebatkan Al-hujurat—adalah fakta ketidakmampuannya dalam soal mendebatkan satire pejabat bersangkutan yang erat hubungannya dengan pencemaran udara.

Sudah barang tentu, hal tersebut dianggap ancaman serius, karena kepanikan seraya membunyikan lonceng kematian bagi ruang relasi perpolitikan.

Moralitas budak ini mengingatkan saya dengan pernyataan praktisi hukum, yang biasanya disapa abang Dadi, ia mengatakan kepada salah satu teman aktivis bahwa, “Kamu ini anjing pengasuhnya pejabat”. Dasar argumennya, teman itu begitu akrab dengan seorang pejabat, dan saya sangat setuju dengan pernyataannya itu.

Kala saya membaca tulisannya novelis politisi ini, dia mencoba memain sebuah komedian tentang kawanan oligarki yang berlindung dalam debat ruang keagamaan (Al-hujurat), motifnya adalah, dengan mengutip judul bukunya Naomi Klein, Pertarungan demi Surga. (*)