Polmas  

Akademisi: Terjadi ‘Defisit’ Kompetensi di Bawaslu Maluku Utara

Abdul Kadir Bubu.

TERNATE, NUANSA – Komisioner Bawaslu Maluku Utara (Malut) terus disorot. Kemampuan lima komisioner masih diragukan. Bahkan, kelimanya diprediksi akan kesulitan menghadapi sengketa pemilu dan pilkada pada 2024 mendatang. Situasi di Bawaslu Maluku Utara sekarang ini kemungkinan besar diobok-obok oleh peserta pemilu dan politisi. Sorotan keras kali ini datang dari Dosen Fakultas Hukum Unkhair Ternate, Abdul Kadir Bubu.

Ia menjelaskan, pemilu berkualitas dan kredibel adalah penanda majunya peradaban demokrasi sebuah bangsa. Tentu hal itu dapat terwujud manakala didukung dengan penyelenggara yang berkualitas dan kredibel pula. Dalam kaitannya dengan penyelenggaraan pemilu di Maluku Utara tahun 2024 mendatang, dengan memperhatikan kondisi Bawaslu Provinsi Maluku Utara saat ini. “Saya lihata nampaknya harapan sangat jauh ibarat langit dan aspal,” katanya.

Menurut Kadir Bubu, setidaknya ada beberapa alasan mendasar untuk memperkuat asumsi di atas yaitu. Pertama, kemampuan personal masing-masing komisioner Bawaslu mengenai hukum pemilu dan cara menerapkannya sangat jongkok. Dalam soal ini, modal membaca norma tentang pemilu, berikut aturan teknis saja tidak cukup, apalagi dikaitkan dengan kasus konkret dalam tahapan pemilu dan pilkada dengan segala kompleksitas dan intriknya. Menerapkan norma dalam kasus konkret seperti pelanggaran adminstrasi dan pidana pemilu yang berujung pada rekomendasi dan sidang ajudikasi itu butuh kemampuan memadai di bidang hukum dan lima komisioner Bawaslu yang ada saat ini megalami defisit pengetahuan dalam soal ini.

Kedua, keberanian dan ketepatan megambil keputusan, dengan melihat rekam jejak dan pengelaman masing-masing komisioner Bawaslu saat ini nampaknya bermasalah besar dalam soal ini. Penanganan kasus pemilu, baik administrasi maupun pidana pemilu yang berujung pada rekomendasi itu memiliki batasan waktu yang ketat, karena itu butuh keberanian dan ketepatan dari komisioner untuk mengambil keputusan. “Berani menerabas kontaraversi dan tidak didikte, tepat mengambil sikap sesuai waktu dan tepat menerapkan norma, dan untuk sampai pada sikap ini, sekali lagi saya katakanan butuh pemahaman dasar yang cukup soal hukum tidak tebatas pada hukum pemilu saja tetapi juga hukum administrasi dan hukum pidana umum. Dengan dihilangkannya tim asisitensi yang menopang Komisioner Bawaslu nampaknya sulit bagi lima komisioner yang ada untuk memenuhi hal ini,” tegasnya.

Ketiga, kemampuan komunikasi dan kemampuan membangun jejaring. Dalam hal ini yang dimaksudkan adalah kemampuan mengkomunikasikan kepentingannya  kapada publik serta mampu mengajak stakeholder dan kelompok kepentingan agar  turut berpartisipasi dalam pengawasan pemilu dengan model pengawasan partisipatif. Selain itu, kemampuan penggunaan diksi yang tepat dalam komuniuaksi publik yang tidak mengundang kontaversi juga penting. Dalam soal ini nampaknya Ketua Bawaslu saat ini tidak memiliki kempuan memadai. Salah satunya sebagaimana dalam pesan yang beredar melalui flayer yang isinya mengajak perempuan untuk ikut mendaftar sebagai Panwascam dengan menggunakan pilihan diksi “Puan” dengan sang pembeberi pesan dalam hal ini Ketua Bawaslu berbusana serba merah mirip dengan salah satu parpol perserta pemilu.

“Hal tersebut tidak sekadar mengundang kontroversi, tetapi juga secara terang malanggar etika sebagai penyelenggara pemilu. Konyolnya, Ketua Bawaslu masih beralibi bahwa pakaian yang ia kenakan itu merupakan pakian nasional, dan disksi yang dia pakai itu dipandangnya baisa saja. Sungguh memang terlampau dangkal cara bernalarnya,” tuturnya.

Lanjut Dade, begitu Abdul Kadir Bubu disapa, Terbatasnya kemampuan memahami masalah dan lemahnya kemampuan komunikasi dari lima komisioner Bawaslu yang ada saat ini berpengaruh besar terhadap Baswalu Kabupaten/Kota, karena Bawaslu kabupaten/Kota ketika menghadapi masalah dan mengalami kebuntuan maka wajib berkonsultasi dengan Bawaslu satu tingkat di atasnya yakni Bawaslu Provinsi.  Dengan  kondisi komisioner Bawaslu seperti yang ada saat, nampaknya Bawaslu Kabupaten/kota tidak perlu berharap banyak.

“Catatan paling penting dari keadaan ini adalah bahwa akal sehat publik Maluku Utara sengaja dilecehkan oleh Bawaslu RI dengan sengaja memilih orang-orang semacam ini agar huru-hara pemilu dan pilkada yang menjadi catatan kelam negeri ini kembali terulang. Jika Bawaslu RI dalam seleksi berikutnya masih tetap mempertahankan dua komisioner yang ada saat ini untuk terus menjabat, maka jelas dan terang Bawaslu RI menginginkan kehancuran peradaban demokrasi di Maluku Utara yang sudah berangsur baik ini,” tutupnya tegas.(rii)