TERNATE, NUANSA – Praktisi hukum Maluku Utara, Iskandar Yoisangaji kembali merespons pernyataan pihak Kejaksaan Negeri (Kejari) Ternate, terkait penghentikan proses hukum kasus dugaan korupsi anggaran pembelian lahan eks kediaman Gubernur Maluku Utara di Kelurahan Kalumpang, Kecamatan Ternate Tengah.
Sebagaimana diketahui, belum lama ini pihak Kejari menyampaikan bahwa pada tahun 1978 tanah milik Noke Yapen yang merupakan objek sengketa hendak dibebaskan oleh Pemerintah Kabupaten Maluku Utara yang saat ini Kabupaten Halmahera Barat, namun saat itu belum dibayar. Menurut pihak Kejari, pembayaran ganti rugi dari Pemerintah Kota Ternate baru dilakukan pada Februari 2018 sebesar Rp 2,2 miliar. Proses pembayaran tersebut ikut didampingi Kejaksaan Tinggi Maluku Utara.
Menanggapi pernyataan pihak Kejari tersebut, Iskandar menuturkan, pada konteks itu ia memberikan pendapat yang berbeda dengan Kejari. Menurutnya, berdasarkan fakta persidangan sebagaimana diterangkan pada putusan Pengadilan Negeri Ternate Nomor 10/Pdt.G/2011/PN Tte, dalam pertimbangan dinyatakan pembebasan tanah objek sengketa tersebut yaitu pada tahun 1977 untuk pembangunan rumah Dinas Bupati. Hal itu diterangkan oleh kepala Seksi Pengurusan Hak Tanah pada waktu itu, yang ditunjuk sebagai Sekretaris Panitia pembebasan tanah objek sengketa dan yang menyerahkan ganti rugi pembebasan objek sengketa adalah Pemerintah Daerah Kabupaten Maluku Utara (sekarang Kabupaten Halmahera Barat).
“Artinya, pembebasan lahan pada waktu itu telah dilakukan dan telah ada ganti kerugian, tetapi kemudian oleh Pemerintah Kota Ternate juga pada bulan Februari 2018, melakukan pembayaran ganti kerugian, artinya ada dua kali pembayaran, apalagi pembayaran menggunakan APBD. perihal ini juga harus dijelaskan oleh pihak Kejari Ternate, apakah pihak Kejaksaan juga sudah menelusuri fakta ini atau belum?. kami berharap agar Kejari Ternate tidak terburu-buru menghentikan dugaan kasus pembayaran lahan Eks Kediaman Gubernur yang berada di Kelurahan Kalumpang Kota Ternate,” jelasnya menegaskan.
Iskandar mengatakan, jika keterangan Kepala Seksi Pengurusan Hak Tanah pada waktu itu benar, maka pembayaran yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Ternate pada bulan Februari 2018 dengan menggunakan APBD, secara hukum tidak dibenarkan. Olehnya itu, untuk menguji apakah tindakan Pemerintah Kota Ternate bukan perbuatan melawan hukum, maka Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus melakukan pemeriksaan. (rii)