Opini  

Kerja Generasi Muda dan Bonus Demografi

Ibrahim Yakub.

Oleh: Ibrahim Yakub

Penulis

SAAT ini terpampang ramai diplatfrom media sosial seperti brosur, flayer,maupun pamflet yang menginformasikan lowongan pekerjaan dengan berbagai macam persyaratan dan besaran gaji masing-masing institusi atau perusahaan sembari menggunakan  market recruiting game style mereka yang kontemporer, orientasinya agar dapat karyawan bekerja. Kerja merupakan salah satu unsur penting yang sangat menentukan masa depan generasi muda hari ini, baik yang hidup di desa, maupun kota. Banyak orang beriming-iming memperoleh pekerjaan yang tepat, memiliki gaji yang tinggi untuk memenuhi kehidupan dasar ekonomi sehari-hari mereka. Kerja juga dijadikan sebagai output dari sebuah proses pendidikan yang dilalui oleh setiap orang. Kita pasti banyak temukan bagaimana persepsi masyarakat indonesia secara umum memandang pendidikan merupakan preskripsi yang harus linear dengan pekerjaan. Masyarakat meyakini kalau sekolah yang bagus berbanding lurus dengan masa depan kerja yang baik.

Orde baru fase yang cukup laris doktrin itu dijual sana-sini di pasar, emperan toko, warung kopi bahkan menjadi terideologisasi pada ruang lingkup keluarga. Nyatanya orde baru sebenarnya tidak menempatkan variabel happines (kebahagian) sebagai tujuan pendidikan namun terbangun pada generasi masa itu adalah penekanan untuk tekun serta terus berkompetisi. Akibat dari kompetisi itulah orang-orang bekerja tidak sesuai dengan passionnya, bahkan saling menjatuhkan satu sama lain. Kecenderungan juga dimasa itu keputusan maupun pilihan kaum muda sangat diwarnai oleh pilihan dari orang dewasa disekitarnya misalnya pilihan sekolah,teman hingga pakaian sangat dipengaruhi oleh saran orang tua. Inilah yang disebut oleh seorang antropolog legendaris margaret mead dalam buku (pasar dan karier kembali ke akar) sebagai generasi postfigurative atau nilai-nilai anak muda di peroleh oleh generasi terdahulu.

Lambat laun dengan keterbukaan informasi dan komunikasi mempengaruhi pola berpikir serta perilaku masyarakat yang sudah hidup diera reformasi. Masa generasi postfigurative berlalu begitu cepat seiring dengan terjadinya pemaknaan generasi muda tentang kerja yang bukan hanya berkaitan dengan aspek ekonomi, melainkan kerja sudah menjadi karakter generasi muda indonesia saat ini. Kerja sebagai karakter ini bermaksud untuk menciptakan inovasi dan produktivitas dikalangan anak muda agar mampu bersaing dimasa depan.

Generasi muda yang tengah  melewati 20 tahun pertama pasca reformasi ini memikul beban zaman yang teramat berat. Permasalahan politik identitas, diskriminasi terhadap kelompok minoritas, hingga krisis lingkungan hidup merupakan tantangan yang harus dihadapi pada masa kini. Tantangan seperti ini tentu sangat menimbulkan berbagai kegelisahan baru, bahkan pesimisme dan distopia terhadap masa depan. Apalagi Indonesia saat ini lagi menyusun skema kebijakan ekonomi politik untuk menjemput prediksi bonus demografi ditahun 2030.

Bonus demografi 2030 sebuah teks yang bernarasi mengkhawatirkan juga menguntungkan bagi generasi muda. Mengkhawatirkan karena pasalnya bonus demografi diperuntukan kepada generasi muda produktif yang harus mendapatkan pekerjaan, namun dalam catatan (Kompas) bahwa persaingan untuk mencari kerja di Indonesia akan semakin berat. Menurut laporan United Nations Development Programme (UNDP), peringkat Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia masih berada di urutan ke-113 dari 188 negara di dunia. Peringkat tersebut menunjukkan Indonesia masih kalah dari beberapa negara di Asia Tenggara, seperti Thailand, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Singapura.

Lanjutnya itu bisa menguntungkan apabila generasi muda dalam transformasi generasi (y) ke generasi (z ) ini mampu meningkatkan kolaborasi jejaring,peningkatan skill oleh karena disinyalir bahwa jumlah penduduk usia produktif yang besar kebanyakan akan di isi oleh masyarakat dengan tingkat pendidikan menengah dan rendah, kemudian mampu menguasai teknologi informasi yang baik, fokus pada spesifikasi ilmu pengetahuan sebagai tuntutan pasar. Maka dengan demikian kerja generasi muda tentu memiliki makna sehingga mampu bereksistensi secara kompeten berdasarkan profesi, bakat dan keilmuan yang dimiliki pada momentum bonus demografi nanti, sebagaimana kata Viktor Frankl bahwa kerja merupakan salah satu aktivitas penting dalam pencarian makna hidup manusia. (*)

Exit mobile version