Opini  

Nestapa di Balik Pemasangan Tanda Batas Hutan 

Oleh: Samsudin Wahab Genvyr

___________________

MASALAH patok lahan mungkin dianggap biasa oleh sebagian orang, namun kondisi faktual yang sering terjadi di tempat lain mengajarkan kita bahwa patok lahan/hutan sering menimbulkan persoalan yang bisa saja berakhir pada konflik agraria. Patok lahan/hutan oleh pemerintah biasanya dilakukan dengan salah satu alasan (di antara beberapa alasan) bahwa hutan atau lahan tersebut masuk dalam hutan konservasi atau hutan lindung.

Tak jarang pematokan lahan juga memunculkan banyak masalah. Pertama, sering terjadi pematokan kawasan hutan lindung yang terlalu dekat dengan pemukiman warga. Kedua, pematokan lahan/hutan yang dilakukan tanpa sosialisasi kepada masyarakat.

Pematokan hutan tanpa sosialisasi di masyarakat dan patok yang jaraknya terlalu dekat dengan pemukiman warga, kini terjadi di Desa Guruapin, Kecamatan Kayoa, Kabupaten Halmahera Selatan. Masyarakat yang tidak tahu apa-apa soal adanya patok hutan tiba-tiba merasa kaget dan heran melihat adanya patok yang ada di kebun mereka. Kami juga merasa kaget ketika pergi ke kebun dan tak sengaja melihat adanya patok di area yang katanya akan dijadikan kawasan hutan lindung. Patok itu sangat dekat dengan pemukiman masyarakat.

Di Desa Gayap, Kecamatan Kayoa Utara, Kabupaten Halmahera Selatan, patok justru lebih dekat dengan kawasan pemukiman masyarakat. Beberapa warga memberi tahu pada kami bahwa di samping salah satu Sekolah Dasar (SD) juga terdapat adanya pemasangan patok. Patok dengan masalah yang sama, yaitu tidak ada sosialisasi atau pemberitahuan sebelumnya.

Menurut informasi yang kami peroleh, patok yang serupa juga ada di beberapa desa tetangga. Namun, kami belum ke sana untuk melihat secara langsung keberadaan patok-patok itu.

Tujuan utama penetapan hutan lindung adalah untuk mencegah terjadinya kerusakan lingkungan serta menjaga, melindungi dan melestarikan lingkungan hidup. Mencegah terjadinya kerusakan lingkungan, dalam hal ini agar mengurangi aktivitas masyarakat yang menebang pohon atau beraktivitas di kawasan hutan lindung. Dengan mencegah terjadinya kerusakan lingkungan, maka sikap dan tindakan dalam menjaga dan melestarikan lingkungan bisa diharapkan. Dalam hal ini, dengan melestarikan hutan, kita bisa menjaga dan memastikan pasokan oksigen atau udara sehat bagi makhluk hidup, juga ketersediaan air bersih dan keseimbangan ekosistem.

Pengukuhan kawasan hutan dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan diatur dalam bagian ketiga pasal 14 dan 15, yang kemudian diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan dan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan yang menggantikan Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan (pengganti PP Nomor 44 Tahun 2004) diatur tentang tahapan pengukuhan kawasan hutan, di antaranya penunjukkan kawasan hutan, penataan batas kawasan hutan, penetapan kawasan hutan, trayek batas dan penatagunaan kawasan hutan.

Tahapan kegiatan dalam pengukuhan harus dijalankan sesuai prosedur dan harus menjadi kesatuan yang tidak boleh diubah atau diacak tahapannya. Dinas terkait yang bertanggung jawab di bidang kehutanan terikat dengan ketentuan hukumnya sendiri menurut peraturan perundang-undangan agar tidak mengabaikan hak-hak pemerintah desa dan hak-hak masyarakat. Hak-hak masyarakat harus diselesaikan, baik itu terkait dengan hak-hak yang bersifat publik dan juga hak-hak privat seperti hak milik, hak untuk bertempat tinggal dan hak masyarakat asli yang lahannya ditunjuk menjadi kawasan hutan.

Berdasarkan ketentuan UU/41/1999, pasal 14 ayat (1) menyatakan: pemerintah menjalankan pengukuhan kawasan hutan; pasal 14 ayat (2), bahwa kegiatan pengukuhan kawasan hutan sebagimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk memberikan kepastian hukum atas kawasan hutan.

Terkadang suatu tujuan mulia bisa menimbulkan masalah jika proses merealisasikan tujuan itu tidak bersandar pada aturan atau regulasi yang telah ditetapkan. Dalam masalah patok hutan/lahan di atas, Unit Pelaksanaan Teknis (UPT), Kesatuan Pengelola Hutan (KPH) yang bekerja sama dengan pemerintah desa, tidak hanya berhadapan dengan hutan atau lahan kosong. Ada hak masyarakat yang harus dipertimbangkan di sana.

Ada keluhan diam-diam yang menggerogoti dada masyarakat─luka yang tumbuh diam-diam─ada jeritan tanpa suara. Nestapa itu muncul begitu nyata, tetapi tidak dilihat dan dirasakan oleh mereka di atas sana. Duka itu muncul dari masyarakat yang tidak diakui haknya sebagai penduduk, yang sudah hidup di sana selama bertahun-tahun. Lantas apakah mereka hanya didiamkan begitu saja. Mereka hanyalah orang-orang kecil yang terlalu takut bersuara karena menganggap pemerintah adalah orang besar. Mereka (masyarakat) yang mungkin dalam istilah Hanna Arendt (seorang filsuf feminis dan tokoh politik asal Jerman) disebut sebagai Tuna Hukum, yaitu masyarakat yang tidak diakui haknya di hadapan hukum.

Bagi masyarakat, hutan adalah paru-paru tempat nafas bersumber. Lahan bukan hanya tentang ukuran dan batas hektare. Lahan adalah cerita yang tumbuh diam-diam dan terawat dalam ingatan masyarakat. Lahan adalah warisan. Sebagaimana warisan, ia menyimpan sejarah; ada doa, cinta dan kearifan masa lalu yang mengakar di dalamnya.

Martin Heidegger, seorang filsuf eksistensisialis asal Jerman, memberikan satu pelajaran penting bagi kita tentang cara bagaimana mengalami atau menghayati eksistensi (ada) yang selalu terikat dengan waktu. Manusia bukan hanya tentang hari ini. Ia “mengada” dan selalu mengandaikan keterikatannya dengan masa lalu, masa kini dan masa depan. Manusia hidup di masa kini–badannya ada di masa kini–tangan kirinya menggenggam masa lalu–tangan kanannya meraih masa depan. Manusia tidak dapat hidup dengan mengorbankan waktunya (masa lalu/sejarahnya).

Saya akan mendekati sepintas masalah pemasangan batas (patok) kawasan hutan lindung ini dengan kajian Etika Lingkungan. Dalam Etika Lingkungan (Environmental Ethics), keseimbangan ekosistem itu sangat penting. Selain penting, hak dan moral setiap makhluk hidup juga harus diakui. Mulai dari hak pohon untuk tumbuh tanpa ditebang, hak hewan untuk hidup dan hak-hak manusia.

Pengukuhan kawasan hutan lindung memang sangat penting, tapi kebijakan pemasangan batas (patok) yang dilakukan saat ini mengabaikan keseimbangan ekosistem yang lain, termasuk hak-hak masyarakat itu sendiri. Hak-hak pohon dan hewan terkesan dilindungi, sementara hak manusia diabaikan.

Dalam hal ini, kita bukan berbicara tentang egosentris atau antroposentris manusia. Tapi lebih pada cara kita melihat bagaimana keadilan dan keseimbangan itu dijalankan lewat kebijakan.

Dalam prinsip etika lingkungan, kita harus menolak segala bentuk dominasi. Kesetaraan dan pengakuan hak dan moral dalam etika lingkungan adalah prinsip yang utama. Kita menolak perusakan hutan karena ada dominasi manusia di situ. Dan hari ini, kita juga menolak dan melawan dominasi yang sama,\gh’ yaitu pengabaian terhadap hak-hak manusia (masyarakat). (*)

Exit mobile version