google.com, pub-1253583969328381, DIRECT, f08c47fec0942fa0

Opini  

Guru: Pahlawan Tanpa Tanda Jasa, Bukan Beban Negara, Tapi Menanggung Beban Negara

Oleh: Muhammad Wahyudin 

Mahasiswa Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan FKIP Unkhair Ternate 

google.com, pub-1253583969328381, DIRECT, f08c47fec0942fa0

_________________

DALAM perjalanan panjang bangsa Indonesia, guru selalu menjadi tokoh sentral dalam pembangunan peradaban. Mereka disebut sebagai pahlawan tanpa tanda jasa—julukan yang terdengar mulia, namun sering kali hanya menjadi penghias pidato, bukan pijakan kebijakan. Guru adalah penjaga nyala ilmu dan moral, namun ironisnya, mereka justru sering kali harus menanggung beban yang seharusnya dipikul oleh negara. Dalam praktiknya, negara kerap kali gagal menunaikan perannya dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, dan guru, dengan segala keterbatasannya, dipaksa menjadi garda terdepan untuk menutupi kegagalan sistemik itu.

Konstitusi Republik Indonesia secara tegas menyatakan dalam Pembukaan UUD 1945 bahwa salah satu tujuan berdirinya negara ini adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Artinya, mencerdaskan rakyat bukan sekadar tugas sosial, melainkan amanat konstitusional yang bersifat mutlak. Namun pertanyaan besarnya: apakah negara benar-benar telah menjalankan amanat tersebut dengan sebaik-baiknya?

Kenyataannya, beban pendidikan terlalu sering dilimpahkan secara tidak proporsional kepada guru. Di tengah tuntutan untuk mendidik generasi yang cerdas, berkarakter, dan kompetitif secara global, guru harus berjuang dalam sistem yang tidak mendukung. Banyak dari mereka bekerja dalam kondisi yang jauh dari layak—ruang kelas yang minim fasilitas, akses pelatihan yang terbatas, gaji yang rendah, bahkan status yang tidak pasti bagi guru honorer. Sementara itu, beban administratif justru terus meningkat, menjadikan guru lebih sibuk mengisi laporan daripada mendidik peserta didik.

Ironi ini tidak bisa dianggap remeh. Ketika negara tidak memberikan dukungan maksimal bagi para pendidik, maka tanggung jawab negara secara tidak langsung dibebankan kepada individu-individu guru. Mereka yang seharusnya menjadi bagian dari sistem yang kuat dan didukung, malah harus menjadi penyangga utama dari sistem yang rapuh. Guru bukan lagi hanya pengajar, tetapi juga menjadi manajer, pekerja sosial, bahkan orang tua kedua bagi anak-anak bangsa.

Mari kita lihat realitas di daerah-daerah terpencil. Banyak guru yang harus menempuh jarak puluhan kilometer untuk mencapai sekolah, melewati sungai tanpa jembatan, atau bahkan mendirikan kelas di bawah pohon karena tidak adanya bangunan sekolah. Ini bukan cerita langka, melainkan kenyataan sehari-hari di banyak wilayah Indonesia. Sementara di sisi lain, alokasi anggaran pendidikan yang mencapai 20% dari APBN belum sepenuhnya menjawab kebutuhan paling dasar para guru dan peserta didik.

Lebih menyedihkan lagi adalah nasib para guru honorer. Mereka bekerja dengan pengabdian yang luar biasa, namun sering kali hanya mendapatkan honor yang tidak layak, bahkan di bawah upah minimum. Ada guru honorer yang telah mengabdi lebih dari 10 tahun namun belum juga diangkat menjadi ASN atau mendapat jaminan kesejahteraan yang memadai. Ini adalah bentuk ketidakadilan yang tidak bisa terus dibiarkan.

Pendidikan adalah investasi jangka panjang. Tidak ada negara maju yang tidak menempatkan guru dalam posisi terhormat, baik secara sosial maupun ekonomi. Finlandia, misalnya, adalah salah satu negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia, dan salah satu kunci suksesnya adalah penghargaan tinggi terhadap profesi guru. Di sana, menjadi guru adalah profesi yang sangat dihormati, dengan seleksi yang ketat dan kompensasi yang memadai. Hal ini menciptakan ekosistem pendidikan yang sehat, karena guru merasa dihargai dan didukung.

Indonesia pun seharusnya bisa mencontoh hal tersebut. Namun kenyataannya, penghargaan terhadap guru masih sangat timpang. Kita mudah memberikan gelar “pahlawan tanpa tanda jasa”, tetapi enggan memberikan fasilitas, jaminan hidup layak, dan pengembangan kompetensi yang nyata. Padahal, tanpa guru yang berkualitas dan sejahtera, mimpi tentang Indonesia Emas 2045 hanya akan menjadi angan-angan kosong.

Sudah saatnya kita mengubah paradigma dalam memandang guru. Mereka bukan sekadar pelaksana kurikulum, tetapi arsitek masa depan bangsa. Negara harus berhenti memperlakukan guru sebagai elemen pasif dalam sistem pendidikan. Sebaliknya, mereka harus dilibatkan secara aktif dalam perumusan kebijakan, diberikan pelatihan berkelanjutan, serta didukung dengan fasilitas dan kesejahteraan yang memadai.

Pemerintah memang telah melakukan beberapa upaya untuk memperbaiki kondisi guru, seperti program sertifikasi dan pengangkatan ASN melalui jalur PPPK. Namun upaya ini belum cukup menyentuh akar masalah. Masih banyak guru yang belum tersentuh program-program tersebut. Selain itu, sistem birokrasi yang berbelit-belit sering kali menghambat distribusi bantuan dan tunjangan. Maka, perbaikan sistemik dan politikal akan jauh lebih berdampak daripada sekadar program sesaat yang tidak menyentuh substansi.

Kita juga perlu menumbuhkan kembali kesadaran kolektif bahwa keberhasilan pendidikan bukan hanya tanggung jawab guru, tetapi tanggung jawab bersama: negara, masyarakat, orang tua, dan semua pemangku kepentingan. Tidak adil jika semua ekspektasi hanya ditumpukan kepada guru, sementara dukungan terhadap mereka sangat minim. Guru bukan dewa, mereka manusia yang juga memiliki batas, kebutuhan, dan harapan.

Dalam konteks ini, negara harus hadir lebih kuat. Tidak cukup hanya membuat program, tetapi juga memastikan implementasi yang adil dan merata. Tidak cukup hanya membuat kebijakan, tetapi juga harus mendengar suara para guru di lapangan. Tidak cukup hanya menaikkan anggaran pendidikan, tetapi juga memastikan anggaran tersebut tepat sasaran dan tidak habis dalam tumpukan birokrasi.

Mencerdaskan kehidupan bangsa bukan sekadar wacana. Itu adalah amanat yang harus dilaksanakan secara konkret. Jika negara benar-benar ingin mewujudkan cita-cita itu, maka ia harus berhenti menjadi beban bagi guru. Sebaliknya, negara harus menjadi penopang utama yang membuat guru mampu menjalankan perannya secara maksimal.

Sebagai penutup, mari kita berhenti memperalat kata “pengabdian” untuk membenarkan ketidakadilan terhadap guru. Ya, guru memang mengabdi, tetapi itu bukan alasan untuk membiarkan mereka hidup dalam kekurangan dan kesulitan. Pengabdian yang sejati justru harus diberi tempat yang terhormat. Dan itu hanya bisa terjadi jika negara benar-benar hadir, bukan sekadar dalam slogan, tetapi dalam kebijakan nyata yang berpihak kepada guru.

Karena pada akhirnya, masa depan bangsa ini ada di tangan guru. Dan bangsa yang besar bukanlah bangsa yang sekadar memuji guru, melainkan bangsa yang memperjuangkan guru. (*)

google.com, pub-1253583969328381, DIRECT, f08c47fec0942fa0
Exit mobile version