google.com, pub-1253583969328381, DIRECT, f08c47fec0942fa0

Opini  

Keindahan Talaga Rano di Ambang Risiko

Oleh: Gusti Ramli

__________________

google.com, pub-1253583969328381, DIRECT, f08c47fec0942fa0

SEBUAH sore yang indah di Story Caffe kota Jailolo, saya dan beberapa kawan-kawan kerap berkumpul di tempat ini. Ada yang hanya sekadar ngopi, ada juga anak muda pencari inspirasi, hingga pelintas jalan yang butuh jeda dari rutinitas. Di antara kepulan asap rokok dan hangatnya gelas kopi Bon-bon, obrolan kami sering kali melampaui topik ringan. Sesekali kami membahas sepak bola atau kabar politik lokal, namun akhir-akhir ini satu isu mulai mendominasi percakapan: rencana eksploitasi panas bumi di kawasan Talaga Rano.

Di balik tawa dan canda, terselip kegelisahan kolektif yang bukan tanpa alasan. Talaga Rano bukan sekadar lanskap indah di peta Halmahera Barat; ia adalah ruang ekologis, sosial, dan kultural yang hidup. Dalam terminologi ekologi politik, kawasan seperti Talaga Rano sering kali menjadi “ruang perbatasan” (frontier spaces), tempat kepentingan ekonomi skala besar bersinggungan dengan keberlanjutan lingkungan dan kehidupan masyarakat lokal. Sayangnya, pemerintah daerah seolah hanya melihat potensi panas bumi sebagai “angka” dalam laporan investasi, bukan sebagai bagian dari sistem ekologis yang rapuh dan bernilai tinggi.

Sayangnya, diskursus pembangunan yang seharusnya menempatkan masyarakat sebagai subjek sering kali tereduksi menjadi sekadar urusan izin dan investasi. Pemerintah daerah tampak terburu-buru memberikan karpet merah kepada perusahaan ekstraktif, seolah potensi panas bumi di Talaga Rano hanyalah komoditas yang siap dipanen tanpa perlu pertimbangan mendalam.

Dalam konteks teori relasi kuasa, situasi ini menunjukkan adanya pergeseran kendali dari negara sebagai pengatur, menjadi negara sebagai “penyedia ruang” bagi oligarki energi. Transparansi publik dan partisipasi masyarakat lokal cenderung menjadi formalitas, bukan fondasi pengambilan keputusan. Padahal, pengalaman dari berbagai wilayah di Indonesia menunjukkan bahwa eksploitasi sumber daya alam tanpa tata kelola yang ketat sering berujung pada kerusakan ekologis permanen dan ketimpangan sosial yang tajam.

Dalam konteks ilmiah, panas bumi memang memiliki dua sisi yang tak bisa dipisahkan: potensi besar sebagai energi terbarukan dan risiko ekologis-sosial yang signifikan jika dikelola secara serampangan.

Saat saya menjejakkan diri di Talaga Rano pertama kalinya pada tahun 2020, selalu meninggalkan kesan yang sulit dilupakan. Di setiap langkah, saya menyaksikan betapa alamnya yang mempesona tetap memancarkan keindahan yang murni, meski di baliknya terdapat dinamika sosial dan lingkungan yang kompleks. Duduk di tepi danau sambil menyeruput kopi bersama Widi Budi Utomo, kawan saya yang juga pertama kalinya ke Talaga Rano, saya sering merenung: keindahan alam ini bukan sekadar pemandangan untuk dinikmati, tetapi juga tanggung jawab yang harus dijaga.

Sejumlah studi di berbagai wilayah Indonesia, mulai dari Kamojang hingga Lahendong menunjukkan bahwa pengelolaan panas bumi dapat mendorong transisi energi bersih, membuka lapangan kerja, serta memperkuat kemandirian energi daerah. Namun di sisi lain, penelitian juga mengungkap dampak nyata dan serius, yaitu kontaminasi sumber air bersih, degradasi hutan konservasi, gangguan terhadap lahan pertanian, hingga konflik sosial akibat minimnya partisipasi masyarakat.

Jika dinamika tersebut diproyeksikan ke Talaga Rano yang secara ekologis merupakan kawasan sensitif dengan fungsi hidrologi penting, maka eksploitasi tanpa pendekatan kehati-hatian berpotensi menjadi bumerang jangka panjang, baik bagi lingkungan maupun masyarakat Halmahera Barat sendiri.

Fenomena yang terjadi di Talaga Rano sejatinya mencerminkan pola klasik dalam politik sumber daya alam di Indonesia: negara berperan sebagai pemberi konsesi, sementara kekuatan modal dalam hal ini perusahaan ekstraktif, menjadi aktor dominan dalam menentukan arah pemanfaatan ruang. Relasi semacam ini menciptakan ketimpangan kekuasaan, di mana kepentingan publik dan keberlanjutan lingkungan sering kali diletakkan di posisi marjinal.

Dalam kerangka teori ekologi politik, Talaga Rano kini berada di persimpangan antara logika kapitalisasi sumber daya dan urgensi perlindungan ekologis. Sayangnya, kebijakan pemerintah daerah tampak lebih condong pada logika pertama, dengan dalih pembangunan ekonomi dan investasi. Padahal, pengalaman di sejumlah wilayah konservasi menunjukkan bahwa ketika eksploitasi dilakukan tanpa regulasi ketat dan partisipasi lokal yang bermakna, hasilnya bukan kesejahteraan, melainkan degradasi ekologis yang sulit dipulihkan serta meningkatnya ketimpangan sosial.

Talaga Rano berpotensi mengalami nasib serupa jika tidak ada perubahan paradigma dalam tata kelola dan keberpihakan politik, ia bukan sekadar hamparan air tenang yang mempesona; ia adalah saksi hidup dari relasi manusia dan alam yang seimbang selama berabad-abad.

Menyerahkan kawasan ini pada logika eksploitasi tanpa kehati-hatian sama artinya dengan menggadaikan masa depan ekologi Halmahera Barat kepada segelintir kepentingan. Pemerintah daerah semestinya tidak bertindak sebagai fasilitator kepentingan korporasi, melainkan sebagai pelindung warisan ekologis yang tak ternilai. Energi panas bumi memang penting dalam transisi menuju masa depan yang berkelanjutan, tetapi tanpa tata kelola yang transparan, kajian lingkungan mendalam, dan keterlibatan masyarakat lokal yang sejati, pembangunan hanya akan menjadi ilusi yang menutupi kerusakan yang nyata.

Pengalaman personal itu kemudian menguatkan pandangan saya, bahwa Talaga Rano bukan hanya potensi wisata atau sumber daya alam yang bisa dimanfaatkan, tetapi juga laboratorium sosial dan ekologi yang mencerminkan hubungan antara manusia, alam, dan kebijakan pemerintah. Saat melihat kegiatan pengelolaan panas bumi dan pembangunan di sekitar danau, saya menyadari adanya dilema: bagaimana memanfaatkan potensi tersebut tanpa mengorbankan kelestarian lingkungan dan kepentingan masyarakat lokal.

Saya kembali menginjakkan kaki yang kedua kalinya di Talaga Rano pada 14 Desember 2020, waktu itu kami sedang melakukan Ekspedisi bersama Duta Kreator Pecinta Alam (Dekapala) Indonesia, Sasadu Adventure dan sejumlah teman-teman KPA dan Individu. Dari perjalanan tersebut memberi saya perspektif unik (bukan sekadar opini yang lahir dari data dan teori), tetapi dari pengalaman nyata yang menyentuh hati. Talaga Rano, bagi saya, adalah simbol dualitas antara peluang dan tanggung jawab. Dan melalui tulisan ini, saya ingin mengajak pembaca, bukan hanya untuk mengagumi keindahan danau, tetapi juga merenungkan peran kita dalam menjaga dan mengelola warisan alam ini agar tetap lestari bagi generasi yang akan datang.

Kini, pertanyaannya sederhana namun mendesak: apakah kita memilih jalan keberlanjutan yang berpihak pada alam dan masyarakat, atau membiarkan Talaga Rano menjadi catatan kelam dalam sejarah pembangunan Halmahera Barat? (*)

google.com, pub-1253583969328381, DIRECT, f08c47fec0942fa0
Exit mobile version