Oleh: Muhammad Wahyudin
Mahasiswa Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan FKIP Unkhair Ternate
__________
DERU alat berat yang meraung siang dan malam di kawasan tambang Provinsi Maluku Utara, khususnya di daerah lingkar tambang Halmahera Timur, tidak hanya mengubah dan menghancurkan bentang alam. Ia juga mengubah kehidupan manusia, terutama perempuan. Di balik janji investasi, lapangan kerja, dan pembangunan infrastruktur, baik secara nasional dan dearah. Perempuan yang berada di desa-desa kawasan lingkar tambang sering kali menjadi kelompok yang paling diimarjinalisasikan dan terdampak. Namun, suara yang kemudian keluar dari perempuan paling sedikit didengar. Suara mereka sering terhimpit di antara kata-kata besar tentang kemajuan dan pertumbuhan sosial-ekonomi.
Perempuan di desa-desa kawasan lingkar tambang memiliki peran penting dan memikul beban ganda. Mereka bukan hanya penanggung jawab utama kebutuhan rumah tangga, tetapi juga penjaga sumber air, pangan, dan kesehatan keluarganya. Menurut Vandana Shiva (1997) menegaskan bahwa perempuan di wilayah pedesaan memiliki pengetahuan ekologis yang dekat dengan sumber-sumber kehidupan, sehingga kerusakan lingkungan akibat eksploitasi tambang ekstratif sering kali langsung mengancam kesejahteraan keluarga mereka. Ketika hutan dibabat untuk di tambang, mereka (perempuan) kehilangan akses terhadap kayu bakar, tanaman obat, dan bahan pangan lokal yang selama ini menopang dapur mereka. Ketika sungai dan laut tercemar oleh limbah tambang, mereka yang pertama kali merasakan kesulitan menyediakan air bersih dan makanan sehat bagi keluarga.
Kisah perempuan (mama-mama) di desa atau Kecamatan Wasile, Pekaulang, Baburino, Maba Pura atau Maba Sangaji, bahkan masih banyak desa lagi di Halmahera Timur yang menunjukkan wajah nyata dari ketidakadilan pembangunan ekstraktif. Mereka harus berjalan lebih jauh untuk mencari air bersih, mengeluarkan biaya tambahan untuk membeli air galon, dan menghadapi penyakit kulit atau gangguan pernapasan akibat debu tambang. Namun, keluhan mereka sering kali dianggap keluhan domestik, bukan persoalan pembangunan. Maria Mies (2014) mengungkapkan dalam Ecofeminism menyebut kondisi ini sebagai bentuk “ketidakadilan ganda”, di mana perempuan memikul beban rumah tangga sekaligus dampak ekologis.
Suara perempuan ini, sering kali tidak sampai ke meja perundingan. Dalam forum konsultasi publik yang diadakan perusahaan atau pemerintah, kehadiran mereka sering sekadar formalitas. Bahkan tidak jarang perempuan merasa enggan berbicara karena ruang-ruang publik didominasi oleh laki-laki atau karena takut dianggap menghambat pembangunan. Dalam bukunya Gadis Arivia (2003) yang berjudil “Feminisme: Sebuah Kata Hati” mengingatkan bahwa dominasi wacana maskulin dalam pembangunan sering menyingkirkan pengalaman perempuan, padahal pengalaman itu penting untuk merumuskan kebijakan yang adil. Padahal, pengalaman perempuan menghadapi dampak tambang adalah sumber pengetahuan penting untuk merumuskan kebijakan yang adil.
Perlawanan perempuan di lingkar tambang sering muncul dalam bentuk-bentuk yang sunyi dan tidak selalu tercatat media. Mereka mempertahankan ritual adat yang melindungi tanah dan laut, merawat anak-anak yang sakit karena air tercemar, atau menolak menjual tanah warisan leluhur. Dalam setiap tindakan kecil itu ada keberanian besar, keberanian untuk menolak tunduk pada logika pembangunan yang hanya menghitung angka investasi dan produksi, tetapi mengabaikan kesejahteraan manusia dan keberlanjutan alam. Umar Pelly (2021) dalam karyana “Perempuan dan Lingkungan: Perspektif Gender dalam Pembangunan Berkelanjutan” menulis bahwa keberlanjutan pembangunan di Indonesia Timur hanya mungkin terwujud jika melibatkan pengetahuan lokal yang sebagian besar dijaga oleh perempuan.
Sejarah mencatat bahwa perempuan memiliki peran penting dalam menjaga kelestarian lingkungan. Mereka yang sehari-hari berinteraksi dengan tanah, air, dan hutan memahami lebih baik kerusakan yang ditimbulkan oleh aktivitas pertambangan. Dalam konteks ini, suara perempuan bukanlah sekadar keluhan domestik, melainkan suara politik yang mengingatkan kita tentang batasan-batasan yang tidak boleh dilampaui demi mengejar keuntungan ekonomi. Anna Tsing (2005) dalam Friction menunjukkan bahwa hubungan antara kapitalisme global dan masyarakat lokal selalu menghadirkan “gesekan”, yang paling sering dirasakan oleh perempuan karena mereka berhubungan langsung dengan sumber-sumber penghidupan.
Namun, suara itu sering kali tenggelam di antara kata-kata maskulin tentang pembangunan. Media lebih tertarik memberitakan angka ekspor bijih nikel dan laporan laba perusahaan daripada mendengarkan cerita mama-mama (perempuan) yang kehilangan sumber penghidupan. Pemerintah lebih sering mengundang investor ke meja dialog daripada mengundang perempuan yang setiap hari merasakan dampak nyata pertambangan. Dalam bukunya Eko Hiariej (2016) yang berjudul “Ekologi Politik Indonesia: Kapitalisme, Pertambangan, dan Perlawanan” menilai bahwa kebijakan pertambangan di Indonesia lebih banyak tunduk pada logika kapitalisme ekstraktif daripada pada kepentingan sosial-ekologis masyarakat lokal.
Kita perlu belajar untuk mendengar suara perempuan di tengah deru pertambangan. Mereka tidak hanya berbicara tentang kehilangan, tetapi juga tentang harapan. Banyak perempuan di lingkar tambang yang memimpikan masa depan, dimana anak-anak mereka bisa bersekolah tanpa harus terganggu polusi debu, dimana mereka bisa kembali menanam di tanah yang subur, dan dimana laut yang mereka cintai tidak lagi tercemar limbah industri.
Pendidikan dan pemberdayaan perempuan menjadi kunci untuk memperkuat suara mereka. Dalam bukunya Mansour Fakih (2013) dengan judul “Analisis Gender dan Transformasi Sosial” menegaskan bahwa transformasi sosial tidak mungkin dicapai tanpa kesadaran gender dan pemberdayaan kelompok yang termarjinalkan. Dalam beberapa desa di Halmahera Timur, kelompok perempuan mulai mengorganisir diri untuk memantau kualitas air dan udara, mendokumentasikan dampak pertambangan terhadap kesehatan, serta menyuarakan kebutuhan mereka kepada pemerintah dan perusahaan. Upaya-upaya ini menunjukkan bahwa perempuan bukan hanya korban, tetapi juga agen perubahan yang mampu mendorong pembangunan yang lebih adil.
Namun, upaya ini tidak akan berhasil jika negara dan perusahaan terus memandang perempuan hanya sebagai penerima bantuan. Mereka harus dilibatkan secara penuh dalam proses perencanaan, pengawasan, dan evaluasi pembangunan, terutama di sektor pertambangan. Pengakuan terhadap hak-hak perempuan dalam pengelolaan sumber daya alam bukan hanya soal keadilan gender, tetapi juga tentang keberlanjutan dan kualitas pembangunan itu sendiri.
Seorang perempuan adat dari Maba Tengah pernah mengungkapkan dalam sebuah pertemuan warga “Kami tidak punya suara di rapat-rapat, tetapi kami yang merasakan paling berat. Kami yang harus mencari air, kami yang merawat anak-anak yang sakit. Suara kami hanya terdengar di dapur, padahal yang kami katakan tentang hidup bersama alam.”
Pernyataan ini menegaskan betapa jauhnya jarak antara pusat pengambilan keputusan dengan realitas hidup perempuan di lapangan. Suara yang lahir dari pengalaman nyata sering kali tidak dianggap sebagai kata yang penting dalam wacana pembangunan.
Mendengarkan suara perempuan di tengah deru pertambangan bukanlah tindakan belas kasihan, tetapi langkah strategis untuk memastikan pembangunan tidak merusak fondasi kehidupan masyarakat. Perempuan memiliki perspektif yang unik tentang keberlanjutan karena mereka melihat dampak kerusakan lingkungan secara langsung dalam kehidupan sehari-hari.
Deru pertambangan tidak boleh menenggelamkan suara-suara kecil ini. Justru di antara kata-kata yang lirih, kita menemukan hikmah tentang keseimbangan antara manusia dan alam. Jika pembangunan terus menutup telinga terhadap suara perempuan, kita bukan hanya mengabaikan hak mereka, tetapi juga mengabaikan masa depan bersama.
Pemerintah daerah di Maluku Utara dan perusahaan pertambangan harus mulai memandang perempuan bukan sebagai objek kebijakan, tetapi sebagai subjek yang memiliki hak dan kapasitas untuk menentukan arah pembangunan. Pendidikan bagi perempuan, perlindungan terhadap hak-hak mereka, dan pelibatan mereka dalam proses perencanaan kebijakan harus menjadi prioritas.
Pembangunan yang mengabaikan suara perempuan adalah pembangunan yang timpang dan rapuh. Sebaliknya, pembangunan yang menghargai suara perempuan memiliki peluang lebih besar untuk mencapai keadilan sosial dan ekologis.
Pada akhirnya, suara di antara kata perempuan di tengah deru pertambangan adalah suara yang mengingatkan kita semua, kemajuan tidak boleh dibayar dengan penderitaan mereka yang paling rentan. Kemajuan sejati adalah ketika perempuan di kampung-kampung (desa-desa) lingkar tambang bisa berbicara setara di meja perundingan, bisa mengirim anak-anaknya ke sekolah yang sehat, dan bisa tetap menjaga hubungan harmonis dengan alam yang menjadi sumber kehidupan. (*)