google.com, pub-1253583969328381, DIRECT, f08c47fec0942fa0

Opini  

Menemukan Etos, Patos, dan Logos di Negeri Singa

Oleh: Rahmat Abd Fatah

Dosen Sosiologi Universitas Muhammadiyah Maluku Utara

google.com, pub-1253583969328381, DIRECT, f08c47fec0942fa0

____________

SEPTEMBER lalu, saya berkesempatan berkunjung ke Ismaic College Muhammadiyah Singapore. Bagi sebagian orang, bepergian ke luar negeri, apalagi ke Singapura, mungkin hal biasa. Tetapi bagi saya, perjalanan pertama ini menjadi pengalaman yang begitu berharga dan membuka mata tentang cara sebuah Negara membangun dirinya melalui sistem yang rasional dan manusiawi.

Saya menemukan bahwa kemajuan Singapura tidak semata karena teknologinya, melainkan karena hubungan yang erat antara negara sebagai sistem dan manusia sebagai aktor sosial. Di negeri kecil itu, saya menyaksikan bagaimana etos, patos, dan logos. Tiga unsur dasar kebudayaan dalam pandangan klasik Aristoteles hidup dalam keseharian warganya.

Negara bekerja bukan hanya melalui kekuasaan, tetapi melalui kebudayaan yang ditata secara sistematis. Ia menjadi laboratorium sosial tentang bagaimana tatanan, disiplin, dan produktivitas dibentuk bukan oleh paksaan, melainkan oleh kesadaran kolektif yang terlembagakan.

Sesaat setelah sampai di Singapura, saya segera menyadari bahwa kedisiplinan bukan sekadar kata, tetapi jadi gaya hidup. Segalanya diatur dengan jelas, tidak boleh meludah sembarangan, tidak boleh merokok sembarangan, tidak boleh membuang sampah sesuka hati, tidak boleh makan permen karet, tidak boleh makan di dalam bus, dan bahkan harus menyiram toilet setelah digunakan pun diatur. Semuanya ini memiliki konsekuensi denda yang tidak sedikit dan konsisten penerapannya. Tidak ada “Ordal” di sini. Apalagi “sogok-menyogok”.

Namun yang menarik, aturan-aturan ini tidak dirasakan sebagai belenggu, melainkan menjadi bagian dari moralitas publik yang disepakati bersama. Dalam bahasa sosiologi Emile Durkheim, bahwa nilai-nilai ini telah menjadi fakta sosial. Sebuah kekuatan eksternal yang mengatur individu namun diterima secara sukarela karena telah menjadi norma kolektif.

Negara berperan sebagai agen pendidikan sosial yang menanamkan keteraturan melalui sistem, bukan sekadar nasihat moral. Maka tidak heran jika masyarakat Singapura tumbuh sebagai warga yang taat, produktif, dan efisien, bukan karena tekanan, tetapi karena habitus sosial mereka telah dibentuk sedemikian rupa oleh sistem yang stabil.

Saya juga menemukan sisi kemanusiaan yang sangat baik di tengah keteraturan sistemik itu. Singapura dikenal sebagai negara sekuler, tetapi sekulerismenya bukan anti agama. Sebaliknya, negara justru mengatur kehidupan beragama dengan disiplin dan profesional.

Saya terkesan ketika mengetahui bahwa penceramah agama harus memiliki ijazah resmi, begitu pula imam salat wajib memenuhi kualifikasi tertentu. Namun muazin, orang yang mengumandangkan azan boleh siapa saja. Lebih dari itu, para imam, muazin, hingga petugas kebersihan masjid digaji oleh negara.

Bagi saya, ini adalah bentuk pengakuan terhadap nilai-nilai spiritual dalam ruang publik modern. Dalam pandangan Weberian, inilah bentuk rasionalisasi agama di dalam negara modern. Bahwa agama tetap hadir, tetapi diorganisasikan secara birokratis agar berfungsi efektif bagi kehidupan sosial.

Keteraturan ini menunjukkan bahwa modernitas tidak selalu berarti sekularisasi ekstrem, melainkan penciptaan harmoni antara nilai spiritual dan rasionalitas administrasi. Negara tidak menyingkirkan agama, melainkan mengelolanya agar berfungsi sosial dan kultural secara konstruktif.

Setiap detail di Singapura memperlihatkan bahwa negara ini dibangun di atas logos, rasionalitas dan logika sistemik yang sangat kuat. Dari sistem transportasi publik yang tepat waktu, birokrasi yang efisien, hingga penegakan hukum tanpa pandang bulu, semuanya berjalan dalam kerangka rasional instrumental, sebagaimana dijelaskan oleh Max Weber sebagai ciri utama modernitas.

Dalam kerangka Weberian, Singapura adalah contoh negara yang berhasil melakukan rasionalisasi kehidupan sosial, yakni proses di mana tindakan sosial dikendalikan oleh logika efisiensi, kalkulasi, dan sistem hukum yang impersonal. Tetapi di balik semua itu, ada dimensi moral yang tetap hidup. Yaitu penghargaan terhadap kebersihan, waktu, dan tanggung jawab sosial. Weber mungkin menyebutnya sebagai bentuk Protestant ethic, tetapi di Singapura, etika ini telah menjadi national ethic, etika bangsa. Ia tidak lahir dari teologi tertentu, melainkan dari kesadaran kolektif bahwa keteraturan adalah syarat bagi kemajuan.

Dalam perspektif struktural-fungsional, sistem sosial Singapura mencerminkan fungsi ideal dalam teori struktural-fungsional Talcott Parsons. Bahwa Negara berfungsi untuk menjaga integrasi sosial, beradaptasi dengan perubahan global, mencapai tujuan pembangunan, dan memelihara pola nilai masyarakat, demikian tafsir saya pada skema AGIL Parsons.

Bahwa secara latency atau pemeliharaan pola dan nilai. Negara tidak hanya menjalankan fungsi administratif, tetapi juga fungsi pedagogis, yaitu mendidik warganya untuk menjadi manusia sosial yang produktif, disiplin, dan sadar lingkungan.

Inilah bentuk rasionalisasi kelembagaan yang berhasil memadukan birokrasi dengan nilai moral, dan menjadikan hukum bukan sekadar alat kontrol, tetapi mekanisme pembentukan karakter nasional.

Ada begitu banyak makna hidup yang bisa direfleksikan dari perjalanan singkat saya ke Singapura. Bahwa kemajuan tidak harus selalu diukur dengan kemewahan, tetapi dari konsistensi sistem yang mendidik manusianya.

Singapura menunjukkan bahwa negara kecil bisa menjadi besar jika ia memiliki etos kerja yang rasional, patos sosial yang hangat, dan logos yang konsisten dalam sistemnya. Kedisiplinan bukan lahir dari takut dihukum, tetapi dari kebiasaan yang terus menerus ditanamkan melalui sistem yang adil dan logis. Singapura sebagai negara sekuler, mengajarkan bahwa Agama bukan menjadi musuh negara, melainkan bagian dari struktur sosial yang dijaga dan dirawat secara profesional.

Sebagai seorang sosiolog(i) dan pendidik, saya belajar bahwa sistem sosial yang baik tidak hanya mengatur perilaku, tetapi juga membentuk kesadaran. Negara yang berhasil bukan hanya ia memiliki hukum kuat, tetapi juga karena mampu mendidik warganya menjadi manusia yang rasional, religius, dan beradab.

Bagi saya, perjalanan ini bukan sekadar kunjungan akademik, tetapi semacam perjalanan batin untuk memahami bagaimana bangsa dibangun bukan oleh retorika, tetapi oleh sistem yang menghidupkan nilai-nilai kemanusiaan secara konsisten dan rasional. (*)

google.com, pub-1253583969328381, DIRECT, f08c47fec0942fa0
Exit mobile version