Oleh: Yanuardi Syukur
_____________
MAJELIS Ulama Indonesia (MUI) adalah lembaga payung ormas Indonesia yang memiliki peran penting dalam ranah keislaman masyarakat Indonesia. Ketua Umum MUI pertama (1975-1981), Buya Hamka mengibaratkan, MUI ibarat kue bika yang dipanggang di antara dua bara api, yakni dari atas (oleh pemerintah) dan dari bawah (oleh tuntutan umat). Dalam posisi tersebut, MUI menjalankan at least dua fungsi, yakni khadimul ummah (pelayan umat) dan shadiqul hukumah (mitra pemerintah).
Forum Lingkar Pena (FLP) sebagai organisasi keislaman sejauh ini konsisten dalam kerja-kerja ‘dakwah bilqalam’ secara kontinu. Mereka mengamalkan firman Allah SWT:
نٓ ۚ وَٱلْقَلَمِ وَمَا يَسْطُرُونَ
Artinya: “Nun, demi kalam dan apa yang mereka tulis” (QS. Al-Qalam: 1)
Dakwah FLP tidak hanya dalam karya fiksi, tapi juga non-fiksi. Bahkan, cukup banyak kader FLP yang berkat ‘barokah FLP’ akhirnya dapat berkhidmah pada berbagai institusi pendidikan dan pemerintahan di Indonesia. Artinya, kerja-kerja kaderisasi FLP yang telah berjalan sejauh ini telah menghasilkan tidak hanya penulis, tapi juga pribadi-pribadi professional plus bisa menulis.
Dalam konteks sinergi, saya lihat FLP bagus menjalin kemitraan intensif dengan MUI. MUI sebagai wadah silaturahmi umat Islam tentu saja akan semakin kuat dengan hadirnya sinergi antara ulama dan penulis Muslim FLP. Untuk itu, penting bagi FLP agar dapat melakukan silaturahmi dengan Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia untuk menjajaki kemungkinan FLP dapat berhimpun sebagai salah satu entitas atau anggota di dalam MUI.
Hingga saat ini, ada 70 ormas Islam yang bergabung di MUI, yakni NU, Muhammadiyah, Syarikat Islam, PERTI, Al-Jami’atul Washliyah, Mathla’ul Anwar, GUPPI, PTDI, Dewan Masjid Indonesia, Al-Ittihadiyah, PUI, DDI, DDII, Al-Irsyad Al-Islamiyah, ICMI, IPHI, MDI, PARMUSI, PITI, Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah, BKPRMI, Rabithah Alawiyah, Al-Khairaat, IKADI, Majelis Pemuda Islam Indonesia, Wahdah Islamiyah, IPI, Satkar Ulama, Baitul Muslimin Indonesia, Al-Khoiriyah, IKA PMII, KAHMI, ISMI, BAKOMUBIN, JATMI, Muslimat NU, Aisyiyah, Wanita PUI, Muslimat Al-Washliyah, Wanita Al-Irsyad, Muslimat Hidayatullah, Wanita Syarikat Islam, Wanita Islam, Pengajian Al-Hidayah, BKMT, BMIWI, Muslimat Mathla’ul Anwar, Perwati Wanita PERTI, PERSISTRI, Wanita GUPPI, Muslimat DDII, BKSPPI, RMI, LPTNU, BAZNAS, MES, IAEI, BWI, ASBISINDO, AASI, KB PII, Muslimat Al-Ittihadiyah, Wanita ICMI, Daiyat PARMUSI, Persatuan Ulama Muslim Internasional, LAKMI, Asosiasi Dosen Indonesia, dan Majelis Alimat Indonesia.
Dari 70 ormas dan lembaga Islam tersebut, belum ada lembaga khusus kepenulisan Muslim yang bergabung di dalamnya. Saat ini, beberapa kader FLP telah bergabung sebagai pengurus, misalnya Habiburrahman El-Shirazy, Helvy Tiana Rosa, Irfan Hidayatullah, Rahmadiyanti Rusdi, dan Tiar Anwar Bachtiar. Buku “Ensiklopedia Budaya Islam Indonesia” sebanyak 7 jilid yang dibuat oleh Lembaga Seni Budaya dan Peradaban Islam (LSBPI) MUI di bawah ketua Habiburrahman El Shirazy patut menjadi bukti tentang pentingnya kerja-kerja penulis Muslim. Sejauh ini, kiprah kader FLP saya lihat signifikan pada komisi/badan/lembaga yang mereka emban, salah satunya melalui publikasi buku, selain kegiatan rutin.
Saat ini, MUI membutuhkan banyak skill penulis dalam produksi konten-konten keislaman yang bermanfaat untuk umat. Penulis dengan pengalaman kaderisasi di FLP dengan semangat ‘dakwah bilqalam’ akan sangat membantu dalam kerja-kerja MUI. Secara pribadi, saya merasakan bagaimana sebagai kader FLP, dapat berinisiatif dan mendukung berbagai program penulisan MUI khususnya pada komisi hubungan luar negeri dan kerja sama internasional. Selain buku “Diplomasi Wasathiyyatul Islam”, saya juga secara rutin menjadi ‘jurnalis’ untuk MUI Digital, termasuk menjadi editor beberapa buku karya MUI, termasuk “Free Palestine” dan “Diplomasi Palestina”. Pengalaman tersebut sangat bermakna bagi saya dan jika banyak kader FLP dengan skill menulis andal yang bisa bersinergi dengan MUI, tentu akan lebih bagus lagi.
Menurut saya, karya-karya MUI dapat diterjemahkan ke dalam bahasa asing yang lebih luas—tidak hanya Inggris dan Arab, tapi juga selainnya. Saat ini, wilayah dakwah kita semakin luas, dan seiring dengan ‘kebutuhan umat global’ akan konten-konten mencerahkan, maka kerja-kerja penulis Muslim sangat dibutuhkan di sini. Penulis Muslim punya peran signifikan untuk menyebarkan gagasan wasathiyyatul Islam untuk mencerahkan umat.
Kolaborasi global penulis Muslim juga saya lihat belum berkembang. Hal ini sebenarnya dapat diinisiasi oleh kolaborasi FLP dengan MUI. Artinya, FLP dengan jejaring penulis Muslim di berbagai daerah di Indonesia dapat bersinergi dengan jejaring penulis Muslim yang dimiliki MUI. MUI saat ini, sesuai amanat Munas 2020 telah membuka perwakilan MUI, salah satunya di Malaysia. Dengan demikian, kolaborasi antarpenulis Muslim sebenarnya sudah bisa dilakukan, apalagi jika dapat dilakukan melalui konferensi internasional penulis muslim di Indonesia. Saya lihat, saat ini ada beberapa organisasi kepenulisan global akan tetapi tidak banyak inisiatif yang dapat dilakukan misalnya untuk bersuara dan publikasi pada tema-tema global.
Satu hal yang penting dilakukan dalam konteks mencetak penulis Muslim adalah perlunya digelar pelatihan penulis Muslim secara berkala. Saat ini, untuk kegiatan dakwah seperti “sertifikasi da’i” telah berjalan dengan baik; khusus di luar negeri ada kegiatan “pelatihan diplomasi” beberapa angkatan. Pelatihan penulis Muslim cukup penting, yang dapat dibedakan dengan “pelatihan tashih buku”—walaupun keduanya memiliki kedekatan satu sama lainnya.
Islam hadir ke dunia sebagai rahmat bagi semesta alam. Maka, kehadiran penulis Muslim juga harus dapat memberikan manfaat bagi manusia secara luas. Allah SWT berfirman:
وَمَآ أَرْسَلْنَٰكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَٰلَمِينَ
Artinya: “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam” (QS. Al-Anbiya: 107)
Kita berharap akan lahir banyak penulis Muslim di Indonesia seperti Buya Hamka, M. Quraish Shihab, Emha Ainun Nadjib, dan lainnya. Syekh Nawawi al-Bantani (1812-1897), sang mahaguru ulama Hijaz dan Nusantara pada abad ke-19 juga telah melahirkan banyak sekali buku dan menjadi inspirasi bagi kita sebagai Muslim Nusantara untuk melahirkan karya tulis yang bernas dan berdampak lebih luas.
Dalam berbagai genre, kaderisasi penulis Muslim perlu terus dipersiapkan, sebab kelak para penulis itu akan memberikan makna pada wilayah kerjanya masing-masing. Pada prinsipnya, jika seorang Muslim memiliki skill menulis, itu tentu saja akan menjadikannya bernilai plus dan sangat dibutuhkan dalam konteks produksi pengetahuan keislaman pada masyarakat luas.
Yanuardi Syukur (Anggota Forum Lingkar Pena).